---
"You found me."
---
Justin Bieber terhenyak begitu melihat sosok gadis yang ada di hadapannya. Gadis itu juga masih terdiam dengan ekspresi terkejut yang sama, namun kemudian mereka berdua sama-sama tersadar begitu pintu lift bergerak hendak menutup. Gadis itu langsung mengulurkan tangannya menekan tombol pada panel dalam lift untuk mencegah pintu itu tertutup sementara disaat bersamaan Justin menelusupkan jari-jarinya pada kedua sisi pintu lift yang hendak tertutup menjadi satu. Lift batal tertutup dan gadis itu melangkah keluar dari lift tanpa memperhatikan Justin lagi. Justin mengernyit dan walaupun pintu lift mulai tertutup kembali, tidak ada satu pikiran-pun dalam benaknya yang membuat ingin menghentikan lift—meskipun bahu dan lututnya benar-benar sakit sekarang.
"Hei." Justin memanggil gadis yang baru berlalu sekitar lima langkah darinya, dan gadis itu langsung menghentikan langkah seraya memutar badannya hingga kini dia berhadapan dengan Justin.
"Ya?" Gadis itu mengangkat sebelah alisnya yang tebal. Justin mengernyit, mencoba meneliti ekspresi gadis di hadapannya, namun ekspresinya benar-benar sulit dibaca. Gadis itu... tampak tidak mengenalnya. Apakah gadis itu bukan Spring?
"Mmm..." Justin tampak berpikir selama beberapa saat, "Apakah kau penghuni apartemen ini? Perkenalkan aku Justin. Justin Bieber." Sumpah segalanya terdengar begitu salah! Justin Bieber memperkenalkan diri layaknya anak sekolah dasar yang menghadapi jam pertama di kelasnya? Ini benar-benar salah. Tapi Justin tidakmemiliki cara lain untuk bicara dengan gadis itu selain dengan mengucapkan kata-kata konyol seperti tadi. Sekali lagi, mata Justin tetap awas memperhatikan ekspresi gadis berambut hitam di depannya. Gadis yang lekuk wajahnya, lengkung rahangnya, gurat alisnya dan lensa matanya benar-benar mengingatkan Justin pada Spring. Gadis itu benar-benar duplikat dari kekasihnya yang telah meninggal empat tahun lalu. Justin tidak yakin, tapi dia rasa dia melihat gadis itu meringis.
"Ya. Aku tinggal di lantai dua puluh."
"Sayang sekali." Justin menarik sebuah senyuman muram. Basa-basi yang buruk. Tapi sekali lagi, suara gadis itu... entah kenapa benar-benar membuatnya merasa nyaman dan ingin tahu lebih banyak. Bagaimana bisa ada dua orang di dunia ini yang memiliki rupa sama persis juga suara yang... nyaris sama? Apakah gadis ini adalah kekasihnya? Justin menggeleng. Tidak mungkin. Pertama, dokumen kematian Spring Rutherford telah keluar dari pihak rumah sakit sekitar empat tahun yang lalu. Spring telah dinyatakan meninggal secara nasional. Dalam daftar kependudukan, gadis itu telah tewas. Telah mati, dan tidak lagi bernapas di dunia. Yang kedua, Justin tidak menemukan alasan mengapa Spring harus meninggalkan New York, lantas hidup di Las Vegas dan tinggal di apartemen mewah sementara keluarga Swift dan teman-temannya berada di New York. "Kamarku berada di lantai sembilan belas."
Gadis itu berdehem satu kali. "Ya, sayang sekali." katanya seraya menarik sebuah senyuman tipis. "Anyway, Mr. Bieber—"
"Panggil saja aku Justin." sela Justin cepat. Gadis itu meringis lagi—lebih terlihat seperti orang yang tengah menahan perasaan sakit. Justin ingat dia pernah berekspresi seperti itu. Meringis canggung, setiap kali dia teringat pada sosok Spring.
"Baiklah Justin, kupikir kita bisa mengobrol lain kali. Aku harus segera membeli makan malam untukku dan sahabatku di bistro seberang apartemen. Aku mungkin kedengaran tidak sopan, tapi kau juga tampak lelah. Bukankah lebih baik jika kau kembali ke kamar apartemen-mu sekarang sementara aku menyelesaikan urusanku?"
Kening Justin mengernyit dan begitu mendengar ucapan gadis itu, "Ah ya, kebetulan. Aku juga merasa lapar. Mungkin kita bisa membeli makan malam bersama? Lagipula karena aku orang baru di tempat ini, aku belum begitu mengenal lingkungan ini. Aku baru pindah dari New York."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stardust (Sequel of The Dust) by Renita Nozaria
Fanfictionthis story is NOT mine