Chapter 22

771 58 0
                                    

---

Hangat. Kehangatan terasa menyelubunginya. Ada aroma kayu manis bercampur aroma kayu cheddar yang menenangkan menyapa indera penciumannya. Spring sibuk berpikir dalam ketidaksadarannya, berusaha menemukan kepingan ingatan dari segala peristiwa yang terjadi sebelum kesadaran terbang pergi meninggalkannya, namun hasilnya nihil. Satu-satunya hal yang dia ingat adalah suara yang memanggil namanya dan pemandangan jalanan kota Las Vegas yang berputar. Hanya itu. Itu Justin, sesuatu tercetus dalam benak Spring, membuatnya diliputi rasa aman yang menyenangkan. Itu pasti Justin, batin Spring berbisik lagi. Dia bertanya-tanya apakah dia tengah berada di apartemen Justin sekarang? Spring mencoba bangun, mencoba keluar dari kegelapan yang mengurungnya, namun tubuhnya terlampau lemas untuk melakukan hal itu. Samar-samar, Spring merasa mual ketika dia teringat akan tubuh Mike yang teronggok di lantai, diatas genangan cairan merah yang merupakan darahnya sendiri. Juga darah Mike yang menempel di lehernya ketika pria itu mencekiknya. Sisa darah Mike di pakaiannya...

Apakah dia telah membunuh orang?

Pemikiran itu membuat Spring menggigil dan gemetar. Apakah dia telah membunuh orang? Apakah dia telah membunuh Michael Mallette? Seumur hidupnya, Spring tidak pernah berpikir dia akan membunuh orang—atau bahkan menembakkan peluru pada orang lain. Dia benci pistol. Dia selalu menjauh pistol. Dia bahkan tidak tahu bagaimana caranya menyetel pistol agar magasin-nya siap melontarkan peluru. Ketika dia menembak Mike, dia bahkan hanya menjiplak cara agen-agen rahasia menembak dalam film-film aksi keluaran Hollywood. Ini mustahil. Dia tidak mungkin membunuh orang. Tidak. Tidak mungkin...

Tapi Mike memang pantas mati.

Sebuah bisikan lain bergema dalam sudut paling gelap di benaknya. Ya, Mike memang pantas mati. Laki-laki itu membuatnya harus rela mengubah seluruh identitasnya. Laki-laki itu membuatnya dengan sangat terpaksa harus berpisah dari keluarga yang baru saja ditemuinya, dari teman-teman dan sahabatnya, dan yang terpenting adalah, Mike memisahkannya dari... Justin.

Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ada 1461 hari di dalamnya. Puluhan ribu jam yang menyiksa. Spring mengernyit masih dengan mata yang terpejam begitu dia membayangkan keadaan Justin. Pria itu muram, tidak bersemangat dan menyedihkan. Dan itu semua karena Mike.

Dia memang pantas mati.

Sudut paling gelap itu berbisik lagi ketika seseorang mengulurkan tangannya, menangkup pipi Spring. Spring mengernyit begitu merasakan telapak tangan besar yang merambatkan kehangatan di pipinya, membuat kabut dalam kepalanya perlahan-lahan lenyap. Membuat kekuatannya seakan terkumpul kembali.

"Spring?"

Keterkejutan. Itu yang pertama kali dirasakan Spring begitu dia mendengar suara tersebut. Itu bukan suara Justin. Warna suaranya berbeda. Untuk sejenak, Spring merasa takut bahwa mungkin saja yang menyentuhnya sekarang adalah orang jahat atau orang suruhan Mike. Tapi tidak. Pikiran itu terasa konyol begitu Spring mengingat kelakuan kasar Mike yang membuat perutnya bergejolak. Laki-laki itu membantingnya ke lantai, membuat lekukan sikunya jadi terasa benar-benar sakit. Membuat bahunya seakan mau patah dan membuatnya nyaris muntah karena cekikan tangannya yang berlumuran darah. Darah Mike sendiri. Darah dari kakinya yang terkoyak ujung tajam pisau.

"Spring, kau bisa dengar aku?"

Itu bukan suara Leonard. Bukan juga Justin. Atau Freddie, secret admirer Julia yang tinggal di sebelah flat mereka. Bukan juga Eddie Young. Bukan Carl, Jason ataupun Will. Suaranya terasa familiar, tapi Spring tidak bisa menduga siapa sosok yang tengah menyentuh pipinya sekarang. Gadis itu berusaha menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan untuk membuka kedua matanya dan meloloskan diri dari kepungan gelap yang mengurungnya. Ada kelegaan ketika Spring merasakan oksigen masuk ke dalam paru-parunya meskipun lehernya terasa sakit karena cengkeraman telapak tangan Mike. Gelap itu perlahan memudar, dan sebuah keterkejutan yang lain menghantam Spring ketika matanya mengedip terbuka. Ada sepasang mata biru kehijauan yang menatapnya dalam-dalam.

Stardust (Sequel of The Dust) by Renita NozariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang