Chapter 26

731 55 0
                                    

---

Justin Bieber Point Of View

Hari ini mungkin saja aku kehilangan gadis itu. Aku menghela napas dalam-dalam sambil menekan tubuhku lebih keras hingga punggungku tenggelam dalam sandaran kursi pesawat jet yang tengah kutumpangi. Lewat kaca di sisi kursi pesawat jet-ku, aku melihat langit yang biru—oh tidak, sama sekali tidak biru melainkan kelabu. Ada sekawanan burung yang terbang melintas di kejauhan, membentuk formasi V seperti biasa yang kulihat ketika terjadi migrasi angsa besar-besaran di gugur. Aku menghela napas lagi sambil berusaha tidak mempedulikan Matt atau Hugo—orang-orangku—yang sibuk mengobrol atau setidaknya menawariku makanan atau minuman.

Mengapa bernapas rasanya jadi sesakit ini?

Aku menghela napas lagi, meskipun aku tahu itu akan menyakitkan. Aku butuh udara untuk bertahan hidup. Mungkin itulah sebabnya. Kesadaran akan segala hal yang baru saja terjadi membuat dadaku terasa sesak dan kian sakit. Aku tahu aku memang salah karena aku memutuskan segalanya dalam keadaan marah, bahkan ketika pesawat ini lepas landas aku juga masih marah dan merutuk dalam hati. Merutuk habis-habisan karena gadisku lebih memilih berada disana, bersama orang yang baru kami kenal selama beberapa hari. Namun semenit yang lalu aku baru menyadari bahwa apa yang kulakukan memang sangat salah. Tepat ketika aku menyadarinya, memar di bawah tulang belikatku, yang disebabkan oleh tendangan dari Eddie Young terasa berdenyut. Memar itu sudah mulai membaik karena warnanya yang ungu gelap sudah mulai pucat dan memudar, namun denyutnya kembali memberikan fakta keras yang tak terbantahkan dalam pemikiranku.

Jika Leonard tidak berada disana ketika itu, aku pasti sudah mati.

Atau setidaknya terbaring di rumah sakit dengan lilitan perban dan gips di sekujur tubuhku hingga penampilanku mirip dengan mumi. Aku menghela napas panjang untuk yang kesekian kalinya. Mungkin semuanya memang salah. Apa salahnya jika aku menekan ego-ku dan menunggu disana selama beberapa saat sampai ibu Leonard datang? Seharusnya aku tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa memaksa Spring untuk menurutiku, karena begitulah dia. Karena dia memang begitu. Dia adalah gadis yang sama yang melompat ke dalam semak belukar hanya untuk menolong Caitlin dariku dan Zayn, dia adalah gadis yang sama yang menyarankanku untuk pergi ke dokter ketika justru aku mengancamnya dengan pistol di kereta, dia adalah gadis yang sama yang memaafkanku bahkan ketika aku meninggalkan bekas luka dan trauma psikologis padanya. Dia memang gadis itu. Gadis yang membuatku menyadari bahwa hidupku masih punya arti. Gadis yang kadang terlalu baik pada orang lain sehingga aku menganggapnya bodoh. Aku menghembuskan napas dengan berat.

Mungkin aku memang bersalah.

Aku memejamkan mataku, berharap kegelapan dapat menghalau semua rasa bersalahku, namun semua itu tidak berguna, karena dalam kegelapan, gema suara Spring justru terasa makin nyata. Aku bahkan ragu kalau kau memberikan kepercayaan padaku. Jika kau percaya padaku, kau tidak akan semarah tadi, apalagi kau sudah membentakku tanpa sadar. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mencoba melupakan segalanya, menciptakan sebuah jeda diantara kami selama sesaat. Ya, mungkin segalanya akan lebih baik seiring dengan berjalannya waktu. Aku menghela napas sambil merogoh sakuku, mencari Ipod. Setelah menemukan gadget tersebut, aku langsung menusukkan tangkai perangkat headset pada port yang tersedia lantas menyumpal kedua lubang telingaku dengan earphone. Lagu apa yang akan kudengar? Paramore? Avril Lavigne? Bon Jovi? Marron 5? Aku memutuskan menggunakan fitur shuffle dan mendengar intro sebuah lagu.

Aku mulai lupa dengan judul lagu ini, namun begitu aku menyadarinya, itu sudah terlalu terlambat. Si penyanyi telah bernyanyi, suara yang lirih dan sarat dengan kesedihan. Aku menghela napas ketika aku merasakan kerikil tajam berkumpul dan menggores selaput pleura pada paru-paruku. Ini adalah salah satu lagu dari Coldplay yang sering kuputar beberapa bulan setelah aku mendapat kabar bahwa Spring Rutherford 'tewas'.

Stardust (Sequel of The Dust) by Renita NozariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang