---
Justin Bieber menatap ke cakrawala yang sekarang tengah diliputi oleh warna merah-oranye yang indah. Mereka semua tersebar, bergulung-gulung diatas permukaan langit yang menggelap seperti pemandangan nebula di angkasa raya. Mata pria itu menelusuri setiap jengkal langit, berpikir apakah dia dan gadisnya bisa meloloskan diri sepenuhnya dari kejaran orang-orang itu. Lolos dari kejaran Michael Saviano, atau bahkan Christine Denton. Justin tahu bahwa Saviano tidak akan membiarkannya lepas begitu saja. Tidak setelah dia menghancurkan lebih dari satu batalion anak buah laki-laki paruh baya itu. Tidak setelah dia memuntahkan dua timah panas yang dengan sukses menembus dua lengan Michael Saviano. Dan bahkan, sekarang, dia masih harus memastikan apakah kondisi bandar udara Las Vegas cukup aman agar pesawatnya bisa mendarat disana dan bisa membawanya kembali ke New York. Segera.
Angin dingin bertiup, membuat tubuh gadis di sampingnya bergetar diserang hawa dingin. Oh tunggu. Justin menghela napas. Dia melepas mantelnya, dan menyampirkannya di bahu Spring yang hingga kini masih tetap tertunduk, memandangi buku-buku jarinya yang kotor dan lecet bekas terguling di aspal landasan pacu bandara. Spring mengangkat wajah, tersenyum sedikit lalu kembali menampilkan senyum muram. Yeah, Justin paham kenapa gadis itu begitu muram. Segala hal yang terjadi pasti berat buat Spring—dan untuk dirinya sendiri. Kemarahannya yang tidak beralasan pada Leonard, kondisi keamanan Las Vegas yang mendadak tidak stabil, peledakkan landasan pacu oleh orang-orang Michael Saviano, dan hingga kematian Leonard juga wajah penuh duka Christine Denton saat mereka bertemu di pemakaman. Semua ini terlampau berat untuk mereka semua. Justin membuang napas, matanya menatap pada gadis di depannya. Spring masih tertunduk dengan pandangan mata terarah ke bawah, hingga sekilas gadis itu tampak seperti sedang memejamkan matanya. Bulu matanya yang lentik ikut rebah, turun dan nyaris menyentuh permukaan kulit di bawah matanya. Justin benci ketika melihat Spring seperti ini. Gadis itu tampak muram. Tapi mengatakan bahwa keadaan akan tetap baik-baik saja juga sama sekali tidak membantu. Nyatanya, mereka bahkan sedang mencari kesempatan untuk bisa mempergunakan bandara tanpa ketahuan oleh orang-orang Michael Saviano.
Mendadak Justin menyadari sesuatu. Suatu fakta keras yang tak terbantahkan, bahwa dirinyalah yang menyebabkan ini semua terjadi pada Spring. Dirinyalah yang menyebabkan Spring terancam oleh banyak bahaya, membawanya masuk dan terseret dalam dunia gelapnya yang berkutat di seputar asap rokok dan botol mungil tabung ekstasi. Parahnya, sekarang dunia gelap itu bukan hanya sebatas pada rokok ataupun narkoba. Secara tidak langsung, semua situasi yang menekannya telah membuat dua gembong mafia kelas berat Las Vegas ikut campur dalam hidupnya. Turut campur dalam membuat hidup Spring makin tercerai berantakan.
Justin mendesah. Dia ingat bagaimana keadaan Spring ketika dia baru pertama kali bertemu gadis itu. Angannya seketika membawanya pada sosok gadis berambut cokelat gelap, dengan penampilan yang membosankan, menghambur masuk ke balik semak-semak. Menghardiknya agar dia melepaskan Caitlin tanpa tahu bahwa dirinya sendiri terancam bahaya. Justin mengerjap. Saat itu Spring benar-benar gadis berusia delapan belas tahun yang manis, menakjubkan, jauh dari ketakutan. Dia gadis baik hati yang tiap sore membacakan dongeng untuk adik-adiknya di panti asuhan, menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama Niall dan bermain musik bersama Citrus. Sekarang, apa yang telah dia lakukan?
Dia telah menghancurkan hidup gadis yang dicintainya.
"Maafkan aku membawamu ke dalam situasi ini." Dia punya banyak hal untuk dikatakan. Untuk membuat gadis itu merasa baik-baik saja, namun yang keluar dari mulutnya hanyalah sepotong kalimat sederhana itu.
"Justin..." Spring mengangkat wajahnya. Sebelah alisnya terangkat.
"Aku baru menyadari bahwa hidupmu jadi teramat berantakan semenjak kau mengenalku." Justin tertawa hampa. "Kau ingat apa saja yang terjadi padamu setelah kau mengenalku? Luka itu. Teror Edward. Kelakuan Mike. Kau harus merubah identitasmu. Memisahkanmu dari keluargamu, dari Niall. Maafkan aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stardust (Sequel of The Dust) by Renita Nozaria
Fanfictionthis story is NOT mine