Chapter 11

1.3K 67 0
                                    

---

"He's crazy. Yea, Carl Crazy Bernstein."

"Ya." bisik Justin sambil tersenyum. "Tapi mungkin segalanya akan lebih baik jika kita melewatkan sepanjang malam nanti bersama." Laki-laki itu berucap dengan senyum penuh misteri. Senyum penuh misteri khas seorang pervert itulah yang membuat Spring mengernyit, namun sesaat kemudian pipinya menyemburatkan warna merah muda pucat. Justin mengangkat sebelah alis, lantas beranjak pergi begitu saja dari hadapan Spring. Gadis itu memutar bola matanya. Benar-benar khas seorang Justin Bieber. Spring menduga laki-laki itu punya kepribadian ganda—bipolar, untuk istilahnya. Lihat saja. Orang macam apa yang bisa tersenyum mesum namun sesaat kemudian memasang tatapan dingin seperti itu? Gadis berambut gelap itu memutuskan bangkit dari ranjang dan mengekori Justin. Ternyata pria itu melangkah menuju dapur. Dapur kelihatan rapi, seperti belum disentuh sama sekali, dan ketika Spring melihat jam di dinding, dia terkejut saat menyadari bahwa sekarang sudah jam delapan pagi.

"Dimana Caitlin dan Zayn?" tanya Spring, menatap Justin yang kini membuka lemari es kemudian meraih sebotol soda dari dalamnya. Dengan sebelah tangannya, Justin membuka kaleng soda itu dan meneguk isinya. Spring mengernyit. Soda di pagi hari? Bukan sesuatu yang baik, menurutnya? Spring tahu bahwa soda mengandung banyak gula, dan terlampau banyak mengkonsumsi gula dapat membuat seseorang terkena diabetes. Jadi gadis itu melangkah mendekati Justin, merebut kaleng soda dari tangannya kemudian membuangnya di tempat sampah sebelum Justin bisa merebutnya.

"Soda sama sekali bukan hal yang baik di pagi hari, Justin." kata Spring sungguh-sungguh, yang dibalas Justin dengan dengusan. Pria berambut cokelat terang itu menjalankan kelima jemarinya membelah rambutnya yang berantakan—dan entah kenapa membuatnya terlihat semakin... well, apapun yang jelas lebih dari tampan—matanya menatap mata cokelat gelap gadis di hadapannya.

"Kau bertingkah seperti ibuku. Entahlah, jika mereka belum membuat keributan, berarti mereka masih tidur. Meskipun aku ragu mereka bisa tahan tidur sampai jam delapan pagi. Caitlin adalah seseorang yang sangat perfeksionis, dia tidak pernah bangun lewat dari jam enam pagi walaupun menghabiskan waktu hingga larut malam untuk mengoleskan minyak zaitun ke sekujur tubuhnya. Dan kurasa, empat tahun berdekatan dengan Caitlin membuat Zayn tertular. Lihat saja bagaimana dia sekarang." Justin menjawab, nyaris terdengar seperti keluhan, yang membuat Spring menekan bibirnya ke dalam sebuah senyuman tipis.

"Zayn jauh lebih menakjubkan sekarang. Maksudku, dia jadi terlihat seperti pria yang sesungguhnya. Oh jangan salah paham, Justin. Aku tidak beralih pada Zayn, dan memujinya dengan berlebihan, jika itu yang membuatmu memasang ekspresi menggelikan itu." Spring terkikik geli. "Maksudku, siapa sih yang bisa tahan melihat ketampanan Zayn—ya ampun, dia stylish. Jantan. Persis seperti model-model Calvin Klein ataupun cowok-cowok berotot seksi dalam majalah Vogue, Cosmo, atau semacamnya lah."

"Model-model Calvin Klein yang mencari uang dengan hanya memakai pakaian dalam?" Justin mengernyit, ada nada menyindir dalam suaranya. "Kupikir aku seribu kali lipat lebih baik. Kau mau lihat lekukan ototku?" Justin mendesis lantas membungkuk untuk meraih gelas dan mengisinya dengan air dari keran. Dia meneguknya cepat-cepat, seolah-olah tengah kehausan setengah mati. "Lagipula, jika kau ingin mendapatkan Zayn, kau akan harus melangkahi mayat Caitlin."

"Oh tentu saja tidak." Spring terkekeh. "Mereka sangat pantas bersama. Model dari rumah mode Calvin Klein bersanding dengan gadis yang layak menjadi satu dari sekian banyak Victoria Secret's Angels. Mereka cute. Lagipula..." Spring mengerling pada Justin. "—tentu saja kau benar. Kau seribu kali lipat lebih baik dari Zayn dan lekukan ototnya."

Stardust (Sequel of The Dust) by Renita NozariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang