Chapter 24

847 56 0
                                    

---

Ada perasaan sesak yang menghimpit paru-parunya, seolah saat-saat yang membuat dadanya perih itu kembali terulang di depan matanya. Spring menghela napas dalam-dalam begitu dia melihat sepasang mata cokelat madu yang membeku menatapnya sebelum akhirnya laki-laki itu berbalik dan menutup pintu tanpa menoleh sedikitpun padanya. Spring menggigit bibir, berusaha menahan jerit yang hendak terlontar keluar dari mulutnya, namun sesuatu yang lebih menyakitkan justru terjadi. Jeritan itu seakan turun melewati rongga tenggorokannya, mengalir melewati bahunya kemudian menggumpal dan membeku di sudut hatinya. Membekukan luka yang sempat tergores disana, namun sama sekali tidak mengurangi sakitnya. Lalu Spring mendengar suara itu. Bergema dengan sejuk dan dalam. Ya, aku disini sweetheart. Aku berada di dekatmu, dan aku tidak akan pergi kemanapun. Aku berjanji. Oh ya Tuhan, jangan katakan padanya kalau ini mimpi. Dan kalaupun memang benar ini semua mimpi... dia berharap dia tidak perlu bangun lagi. Namun akan sangat menyakitkan jika ini semua hanya mimpi. Spring menghela napas dalam-dalam sekali lagi, dan saat oksigen terasa melukai paru-parunya, mata gadis itu mengedip terbuka.

Hal yang pertama dia lihat langit-langit kamarnya yang berpendar terang bagaikan kondisi langit di jagat raya maha luas. Spring mendesah. Mengapa segala hal yang berada di sekitarnya selalu mengingatkannya pada Justin? Spring menyadari segalanya sudah masa lalu sekarang. Benar-benar sebuah masa lalu secara penuh, karena lelaki itu tidak akan pernah kembali lagi padanya. Ya, tentu saja. Untuk apa laki-laki itu kembali lagi padanya? Justin sudah memandangnya berbeda, dan entah bagaimana Spring percaya bahwa Justin pasti menyayangi Mike. Justin pasti jauh lebih memilih Mike daripada dirinya sendiri. Spring mendesis ketika nyeri itu kembali merambati persendian yang ada di sekujur tubuhnya. Itu benar. Pria itu pasti sudah pergi, karena pria itu tidak lagi punya alasan yang cukup bagus untuk tetap tinggal...

"Spring? You awake?" Suara lembut itu terasa seperti gada yang menghantam kesadaran Spring dengan kencang. Gadis itu tersentak, lantas dia menarik kedua tangannya lepas dari genggaman Justin. Menekuk lututnya, Spring menarik tubuhnya ke belakang, memeluk dirinya sendiri dan meringkuk layaknya pupa dalam kempompong.

"Wow, pelan-pelan Spring." Justin berkomentar begitu melihat reaksi Spring, dan entah mengapa merasakan ada sesuatu yang meleleh di dadanya saat dia melihat Spring tampak tidak percaya dengan apa yang dilihat oleh gadis itu sekarang.

"Kau kembali?" Spring mendesis, penuh tanya dan keterkejutan.

"Well, kupikir aku tidak punya alasan yang cukup bagus untuk tidak kembali." Justin mengangkat bahunya, lalu pandangan matanya berubah sendu. "Maafkan aku, Spring. Maafkan aku."

Spring terperangah selama sejenak, lantas gadis itu mulai bersikap rileks dan tidak sekaku tadi. Dia menggeser posisi duduknya jauh lebih ke depan, sehingga nampak jelas bahwa dia tidak seterkejut ataupun setegang semula. Justin menghela napas sambil duduk di sisi ranjang, hanya berjarak setengah meter dari tempat Spring terduduk. Mereka diam selama sesaat.

"Maafkan aku sudah membuatmu menangis." Justin berbisik. "Aku hanya—aku hanya terlalu marah pada segala yang terjadi. Pada Mike. Mom dan Dad sudah mengetahui segalanya, dan mereka tidak akan menyalahkanmu. Segala sesuatu yang berkaitan dengan polisi atau media telah kubereskan, jadi kau tidak perlu khawatir." Justin menghela napas dalam, lalu memejamkan matanya selama sejenak dan menampilkan ekspresi terluka. "Tapi kuharap, kau juga memaafkanku. Jadi aku tidak perlu merasa tersiksa atau tidak lagi memiliki alasan untuk tetap berada di dekatmu."

Spring mengerjapkan bulu matanya yang lentik. Lensa matanya yang cokelat gelap terarah sepenuhnya pada Justin. "Dengan satu syarat." ujar gadis itu penuh penekanan. Justin mengangkat wajahnya, dan menatap Spring dalam-dalam.

Stardust (Sequel of The Dust) by Renita NozariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang