---
"Your lipstick got me so out of breathe."
---
Aku disini dan itu artinya kau tidak perlu menangis lagi. Sebuah kata itu menghantam benak Spring dan tidak bisa membuatnya untuk tidak tersenyum diam-diam. Hanya senyuman samar yang tidak kentara dalam ekspresi wajahnya yang sangat muram. Gadis itu tengah bersandar di sofa besar yang berada di ruang tengah kediaman Carl dan kawan-kawannya setelah sebelumnya Katrina menenangkannya dan membalut luka di lengannya dengan perban. Kini Carl dan yang lainnya termasuk Justin tengah berdiskusi di ruangan sebelah mengenai misi mereka yang gagal. Astaga. Spring menggigit bibir bawahnya begitu dia teringat apa yang baru saja dialaminya selama tiga jam terakhir. Justin meledakkan gedung pencakar langit tempatnya bekerja—well, bukan Justin, tapi Spring punya firasat Justin terlibat dalam semua kekacauan ini. Spring tahu bahwa Justin sama sekali tidak punya kuasa di kota, di Las Vegas, dan diam-diam merasa takut kalau sesuatu yang buruk akan terjadi pada Justin.
Apa yang buruk yang mungkin terjadi pada Justin? Banyak, Spring berpikir sembari diam-diam berdecak. Pertama, dia mungkin bisa ditangkap oleh polisi, diadili lantas dimasukkan ke dalam penjara. Yang kedua, dia bisa saja terluka atau tewas dalam misi-misi bodoh yang dirancang oleh Katrina dan Carl—Spring bersumpah dia tidak bisa membayangkan kemungkinan yang terakhir akan benar-benar terjadi di kenyataan. Gadis itu memainkan jemari tangannya sambil diam-diam berpikir. Apa yang sebaiknya dilakukannya? Mengaku saja pada Justin kemudian mengajak pria itu kembali ke New York? Tapi jika dia melakukannya, apakah mereka berdua akan tetap aman? Spring mendesah lagi. Mengapa hidupnya seakan tidak memberikan pilihan yang lebih baik semenjak dia mengenal seorang Justin Bieber? Mengapa dia harus memilih satu diantara semua keputusan yang sama buruknya?
Pintu terkuak mendadak dan dengan sukses membuat lamunan Spring terpecah seketika. Gadis itu mengangkat wajah dan memperhatikan Justin, Carl dan kawan-kawannya memasuki ruangan tempatnya berada sekarang. Baru kali inilah Spring bisa melihat siapa saja anggota-anggota kelompok Carl dengan jelas dan bisa meneliti setiap inci permukaan wajah dan postur tubuh mereka. Spring baru tahu bahwa yang bersama Justin di gedung milik Kanya Goldsmith tadi adalah William Paper. Will, for short. Pemuda itu memiliki wajah yang menarik, dan tatapan jahil yang terus menerus dia tujukan pada Spring. Mata Spring bergerak pada sosok di sebelahnya. Theresa Grizzle. Thea. Untuk sejenak Spring merasa iri begitu dia menatap Thea. Thea cantik, dengan rambut warna hazelnut, bola mata hijau zamrud dan tubuh yang seksi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Apakah Justin sering bekerja dalam misi bersamanya? Spring merasa cemas—atau cemburu—namun begitu dia melihat lengan Will yang melingkar di pinggang Thea, Spring menghembuskan napas lega. Yang ketiga adalah Jason Baskerville. Masih muda, namun tampan. Pria yang mengajak Delta berkencan dalam beach party tempo hari. Wajahnya dingin, tapi pria itu kini tersenyum kepadanya dan menatap Spring seakan dia tengah menatap kakaknya. Sisanya adalah Katrina dan Carl. Mereka tidak mengucapkannya, tapi Spring menebak bahwa Katrina dan Carl adalah sepasang kekasih.
"Well, jadi dia adalah gadis yang kau bilang mirip mendiang gadismu itu?" Keheningan langsung lenyap begitu Will berucap seraya menyikut rusuk Justin dengan ekspresi jahil. "She's cute, you know."
"Ya, aku tahu." dengus Justin yang kelihatan tidak senang dengan ekspresi Will. Lelaki itu mengusap rusuknya yang kelihatannya memar akibat sikutan keras Will.
"Bagus. Aku akan mencoba mengenalnya lebih dekat." tukas Will. Justin melotot lantas menolehkan kepalanya dan menatap Will dengan tatapan membunuh, "—atau tidak sama sekali?" Will mengangkat bahunya dan dibalas tawa kecil dari bibir Thea.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stardust (Sequel of The Dust) by Renita Nozaria
Fanfictionthis story is NOT mine