Chapter 25

927 56 0
                                    

---

Justin mengernyit begitu dia mendengar perkataan Spring. Gadis itu tampak memejamkan mata selama beberapa detik, lalu menghela napas dengan berat dan dalam, seolah paru-parunya disesaki oleh sesuatu seberat ribuan ton. Justin mengamati seisi ruangan, dan mendapati Leonard hanya mengangkat alis sementara Julia menampilkan ekspresi heran yang sama seperti dirinya. Tentu saja, gadis itu pasti heran dengan jawaban Spring karena selama ini, bisa dikatakan kembali ke New York adalah hal paling besar yang Spring inginkan setelah keinginannya agar Justin tetap di sisinya. Namun mengapa ketika mereka berencana kembali ke New York, Spring justin menampilkan penolakan yang begitu keras. Justin masih mengerutkan kening dengan dalam sehingga kedua alisnya nyaris bertaut, lantas matanya terarah sepenuhnya pada sosok Spring yang kini balik menatapnya. Mata cokelat gelap gadis itu berpendar penuh kekhawatiran.

"Apa yang kau maksud dengan 'tidak bisa'?" Justin berucap tanpa menutupi keheranannya. "Bukankah kau selalu memaksaku kembali ke New York dan meninggalkan Vegas yang penuh bahaya ini?"

Spring menggigit bibir. "Bukan begitu maksudnya. Aku... maksudku aku tidak bisa kembali ke New York dengan pesawat jet pribadi keluargamu atau sejenisnya. Aku..." Spring menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. "...aku sama sekali tidak siap untuk bertemu dengan keluargamu. Dengan ibumu, ayahmu. Aku tahu mereka tidak menyalahkanku, namun rasanya aku tidak akan sanggup menghadapi ekspresi mereka. Terutama Mike. Aku berani bertaruh bahwa Mike akan pulang bersama mereka ke New York. Setelah semua yang terjadi, butuh lebih dari satu hari buatku untuk bisa tampil di hadapan mereka tanpa ekspresi yang campur aduk atau bahkan tanpa merasa malu pada kedua orang tuamu." Justin terdiam begitu dia mendengar ucapan Spring, lalu pria itu meletakkan apel yang sudah tergigit di tangannya ke atas meja konter dapur sebelum akhirnya dia menghampiri Spring. Tangannya terulur menyentuh kepala gadis itu, mengusap helaian rambut cokelat gelapnya yang nyaris hitam sambil menghujani Spring dengan pandangan lembutnya.

"Kau tidak perlu merasa seperti itu. Mom dan Dad bahkan sangat menyesal dengan segala yang terjadi dan ingin meminta maaf padamu. Sementara Mike, well dia tidak akan menyentuhmu lagi. Atau teman-teman dan keluargamu. Jika dia berani melakukannya, aku akan memastikan dia akan menyesal pernah dilahirkan."

Spring menatap Justin, matanya terlihat begitu memohon. "Tapi Justin, aku sama sekali tidak siap. Aku... butuh beberapa hari untuk menenangkan diri sebelum bisa bertemu dengan keluargamu lagi. Bisakah kita kembali ke New York dengan penerbangan komersil biasa, please?" Pinta gadis itu. Justin menatap mata Spring, menelaah segala emosi yang berkelebat di dalamnya kemudian mengangguk.

"Itu sama sekali bukan masalah." bisik Justin penuh perhatian. "Aku akan mendapatkan tiket penerbangan biasa untuk kita. Besok pagi." Laki-laki itu mencium sisi kiri kepala Spring lalu mulutnya berbisik tepat di telinga gadis itu. "Aku ingin kau berkemas-kemas malam ini, baby."

Pipi Spring merona begitu mendengar suara Justin, sementara Julia berdehem keras dan Leonard memberikan reaksi dengan memutar bola matanya. Julia berbalik, kembali menghadapi cucian piring yang tidak seberapa lagi di bak cuci piring, dan sambil membasuh gelas, mulutnya berujar menanggapi apa yang baru saja dilakukan Justin pada Spring. "Kalian sebaiknya mencari tempat yang lebih personal untuk bermesraan atau berduaan atau semacam itulah." Julia mengerang. "Aku tidak suka melihat pasangan romantis di hadapanku." keluh Julia, kali ini dengan ekspresi sedikit muram.

"Tempat yang lebih personal?" Kening Justin berkerut lalu dia menyeringai. "Oh please, Julia, dapur apartemenmu sendiri sudah merupakan tempat yang sangat personal. Aku bahkan pernah memperlakukan Spring jauh lebih dari ini di tempat umum seperti jalan atau taman, benar kan Mrs. Montague?" pria itu melanjutkan ucapannya sembari mengerling pada Spring. Spring hanya tersipu dan menyembunyikan ekspresi wajahnya dalam mug di tangannya ketika dia meneguk teh-nya yang tinggal tersisa sedikit.

Stardust (Sequel of The Dust) by Renita NozariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang