Chapter 28

819 51 1
                                    

---

Still Justin Bieber Point of View

Suasana yang tadinya cerah dan menyenangkan berubah mencekam ketika ledakan itu memicu benda-benda di sekitarnya untuk ikut meledak. Sebuah mobil pengangkut barang dan sebuah pesawat yang kelihatannya sedang menjalani masa perawatan meledak berkeping-keping akibat ledakan yang beruntun itu. Asap hitam membumbung tinggi di udara sementara bunyi sirene tanda darurat yang berdering nyaring turut memperburuk suasana. Para petugas bandara dengan sigap menutup pintu kedatangan dan keberangkatan agar tidak ada lagi penumpang atau pengantar yang nekat masuk ke area landasan. Aku melompat menghindar ketika pecahan-pecahan kecil hasil ledakan tersebut berterbangan ke arahku sambil berteriak pada Hirufumi untuk merunduk dan mencari perlindungan. Pecahan-pecahan itu tidak akan berbahaya jika saja benda tersebut tidak dalam keadaan panas membara bekas terkena ledakan. Aku merunduk, menghindari pecahan yang menghujaniku dan meneriakkan nama itu keras-keras.

"SPRING?!!" Aku berteriak ke arah gumpalan asap hitam yang kelihatan buruk dengan api yang membakar di sekitarnya. Dadaku terasa sakit ketika aku berlari sekuat yang aku bisa mendekati asap hitam yang meliuk bagaikan awan yang muncul di langit ketika badai besar akan tiba. Mataku berair, dan ada sebuah titik dalam ulu hatiku yang terasa sakit seiring dengan semakin lamanya aku berlari. Tidak. Dia tidak mungkin terkena ledakan itu. Dia pasti masih baik-baik saja. Aku menggigit bibirku keras-keras, merasakan sesuatu yang asin disana lalu perih.

"SPRING?!!" Aku memekik lagi. Jika menghela napas saja rasanya sakit, maka berteriak rasanya sangat menyiksa. Ulu hatiku yang berdenyut kesakitan menjerit protes namun aku tidak peduli. "SPRING?!!" Sial. Tidak ada satupun sahutan dari dalam gumpalan asap itu. Aku meneguk ludahku, merasakan adrenalin mengalir semakin deras dalam pembuluh darahku. Ya ampun, apa yang terjadi? Apakah ada sepasukan teroris yang meledakkan bom di bandara? Tapi kenapa? Memikirkan bom, tak urung benakku tertuju pada Christine Denton. Ah, tapi bagaimana mungkin dia meledakkan bom di bandara sementara puteri tersayangnya ada disini? Aku masih sibuk berspekulasi sambil melangkah tak tentu arah mendekati pusat sumber ledakan ketika aku mendengar sebuah suara parau yang setengah terbatuk membalas teriakanku.

"Justin?" Lalu dia melangkah tersaruk keluar dari gumpalan asap hitam bersama Leonard. Leonard tampak berkeringat. Wajahnya yang terkena luka memar dan lebam dibanjiri peluh sementara ada bagian lengannya yang terobek hingga meneteskan darah. Dia menuntun lengan Spring yang nyaris tidak bisa berjalan. Meskipun wajah gadis itu pucat dan hanya sedikit terluka, tapi dia lemas luar biasa. Untuk kali ini, aku memberi toleransi terhadap sentuhan tangan Leonard di lengannya, dan ketika jarak Spring denganku kurang dari semeter, aku meraih tubuh gadis itu. Mendekapnya dalam pelukanku sementara aku bisa mendengarnya bernapas perlahan di bahuku. Dia tampak terkejut, lelah dan pucat.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyaku sambil mengubur hidungku di helaian rambut cokelat gelapnya. Dia mengangguk dengan gerakan yang tidak kentara sementara aku menghirup dalam-dalam aroma rambutnya yang manis bercampur baur dengan aroma sisa kekacauan di landasan bandara ini. Spring mengernyit, dan aku baru melepaskan dekapan tanganku pada tubuhnya ketika kami mendengar suara peluru yang diletuskan berulang-ulang. Secara refleks, aku dan Leonard menoleh ke arah pusat ledakan dan aku melihatnya.

Aku melihat Michael Saviano.

Matanya menatap kami dengan tatapan datar, namun di tangannya tergenggam sebuah pistol yang moncongnya diarahkan pada kami. Selain dia, ada banyak orang berpakaian hitam dengan senapan laras panjang yang bersiap membidik kami. Saviano mengerjap. Dia kemudian melambai pada sekumpulan orang berpakaian hitam di belakangnya dan dalam hitungan detik, puluhan peluru langsung dimuntahkan ke arah kami.

Stardust (Sequel of The Dust) by Renita NozariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang