Chapter 8

1.4K 72 0
                                    

---

"I'm alive but you don't know, bitch."

---

Spring masih melangkah dan mengangkat salah satu dari kedua alis tebalnya begitu sudut matanya menangkap perubahan ekspresi yang begitu kentara di wajah Justin. Sambil tetap mempercepat langkahnya, Spring berusaha memusatkan perhatiannya pada wajah Justin, seakan hendak meneliti gejolak emosi apa yang tersimpan di dalam sana. Entahlah. Justin kelihatannya agak sedikit kesal sejak dia membaca pesan singkat yang baru saja masuk ke ponselnya. Spring terdiam dan mencoba menebak-nebak siapa yang baru saja mengirimkan pesan singkat pada Justin. Apakah Carl? Atau Jason? Mungkin Katrina? Spring berpikir sambil terus melangkah. Jane? Thea? Astaga. Begitu memikirkan dua nama wanita terakhir, ribuan kupu-kupu seakan beterbangan dalam rongga perut Spring dan membuatnya merasa mulas seketika. Tidak. Jane—si perempuan norak berbaju biru neon itu tidak akan bisa menyentuh Justin lagi sebelum melangkahi mayatnya—sementara Thea, err, gadis itu memang cantik—sangat malah. Tapi sepertinya Thea benar-benar jatuh cinta setengah mati pada Will yang pada kenyataannya juga pemuda yang sangat tampan.

Bruk. Spring merutuk habis-habisan begitu wajahnya menabrak tiang lampu yang berada di tepian trotoar. Hidungnya langsung terasa berdenyut seketika dan Spring mulai cemas bahwa hidungnya mungkin saja bisa tenggelam ke dalam hingga nyaris tidak bersisa seperti Voldemort, penyihir kejam yang jahat dan jelek dari film Harry Potter. Kepala Justin tersentak seketika begitu dia mendengar suara yang cukup keras disusul rintihan lirih dan langsung menoleh ke belakang tubuhnya. Mata cokelat madu pria itu langsung mendapati sesosok gadis berambut hitam yang kini tengah sibuk mengusap hidungnya yang memerah. Justin berdecak sambil berusaha menahan tawanya lantas berjalan mendekati Spring.

"Ada apa, hm?" Kening Justin berkerut begitu melihat ekspresi wajah gadis di hadapannya yang sudah tidak karuan. Pipi dan hidungnya merah. Pipi yang merah karena perasaan malu, tentu saja—sementara hidung yang merah, tentu kau tahu kenapa. Spring mendengus sambil sesekali mengerang dan menduga bahwa hidungnya memar.

"Aku menabrak tiang lampu sialan ini." gerutu Spring sembari melotot pada tiang lampu di hadapannya—yang sesungguhnya sama sekali tidak tahu apa-apa. Justin terkikik geli kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan sehelai sapu tangan putih dengan bordiran inisial namanya, JDB. Spring mengerjap begitu Justin mengeluarkan air mineral dingin dari dalam kantung belanjaannya kemudian membasahi sapu tangan itu sedikit sebelum akhirnya pria itu mengulurkan sapu tangan tersebut kepadanya.

"Pakai ini." kata Justin. Spring menjawab ucapan Justin dengan menerima sehelai sapu tangan itu untuk meringankan memar yang terasa berdenyut di hidungnya lantas kembali mengikuti langkah Justin sambil masih tetap memaki betapa bodohnya dia dalam hati.

"Ini sapu tangan yang dulu pernah kau pakai untuk membersihkan lukaku kan?" tanya Spring mendadak, yang membuat Justin menoleh dengan gerakan ringan pada gadis itu.

"Hm?" Justin mengangkat sebelah alisnya, pertanda dia sama sekali tidak ingat hal apa yang dimaksud Spring.

"Sapu tangan yang kau pakai untuk membersihkan memar di wajahku akibat tinjuan tangan Niall. Kau ingat waktu itu? Aku kerja part-time. Kita bertemu di jalanan setelah kau nyaris menabrakku dan kita baru saja akan makan bersama di restoran ketika Niall datang dan marah-marah."

Justin berhenti mengernyit karena dia ingat sekarang. "Kau masih mengingatnya?"

Spring tersenyum lebar. "Aku ingat segala hal tentangmu." ujarnya mengulang perkataan Justin tadi. Justin terkekeh kemudian tangannya terulur dan dia mengacak helaian rambut milik gadis yang berada di sampingnya. Mereka kembali berjalan karena sejujurnya gedung apartemen mereka masih cukup jauh.

Stardust (Sequel of The Dust) by Renita NozariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang