---
"Its too cold outside."
---
Justin menggigit bibir bawahnya bersamaan dengan setetes keringat yang menetes perlahan dari keningnya. Oh shit. Kenapa dia harus bersikap layaknya pencuri di dalam kamar apartemennya sendiri? Lagipula, sejak kapan seorang Justin Bieber jadi harus mengendap-endap seperti sekarang? Karena dia khawatir Spring akan melarangnya pergi? Karena dia khawatir Zayn akan memaksa ikut? Hell, dia adalah seorang Justin Bieber—dan itu artinya Spring tidak akan bisa melarangnya pergi juga Zayn tidak akan bisa ikut jika dia tidak mengizinkan pria itu untuk ikut. Jadi Justin melepaskan pegangan tangan dari sepatunya hingga sepatu itu jatuh menghantam lantai. Justin tahu Spring diam-diam mengernyit, namun pria itu hanya mengangkat sebelah alis sembari menjejalkan kedua tangan ke saku celana panjangnya.
"Aku mau pergi ke tempat Carl." jawab Justin sambil membuang napas, kemudian menukar posisi berdirinya dengan posisi duduk untuk memasang sepatunya. Dia mendengar Spring berdecak.
"Dan melakukan hal-hal yang berbahaya lagi?" Gadis itu menjulingkan sepasang mata cokelat gelapnya yang indah.
"Sejujurnya, itu bukan urusanmu." Justin mengangkat bahu begitu dia selesai memasang simpul tali di kedua sepatunya lantas bangkit berdiri dan berjalan untuk meraih mantel. Laki-laki berambut cokelat gelap itu baru saja akan meraih kenop pintu dengan salah satu tangannya ketika dia mendengar Spring bicara lagi.
"Lantas kau anggap apa aku? Kau anggap aku sama seperti Casey, atau Amanda, atau gadis-gadis murahan dari masa lalumu? Jika kau benar-benar menganggap aku sebagai kekasihmu, kau akan berbalik dan kembali tidur, bukannya membahayakan dirimu sendiri." Justin menggigit bibirnya selama beberapa saat sebelum akhirnya pemuda itu membuang napas berat dan kembali berbalik hingga kini dia bisa bertatap muka dengan Spring yang memandangnya lurus dengan tangan yang terlipat.
"Aku. Harus. Pergi." jawab Justin, "Dan ya, kau memang pacarku. Aku mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini, namun bisakah kau mengerti, Miss Rutherford? Teman-temanku menungguku sekarang."
"Teman?" Spring tersenyum miring, kemudian matanya beralih pada Zayn dan Caitlin yang masih berdiri dengan wajah yang benar-benar menampakkan ketidakmengertian mereka atas situasi ini, "Lihat. Teman-temanmu ada disini. Zayn dan Caitlin ada disini. AKU ada disini. Kau tidak boleh pergi, Justin. Tidak boleh."
"Kau tidak bisa berbicara seperti itu padaku." Justin menukas dingin. "Aku harus pergi, dan aku mau pergi. Kembalilah ke tempat tidurmu, Spring. Sekarang."
"Bagaimana bisa aku tidur sementara kau berada di luar rumah. Dalam udara yang begitu dingin—dan nyaris mati. Well, setidaknya apa yang terjadi di kantor Kanya kemarin sudah cukup sebagai peringatan bukan? Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu? Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk? Kau mau membuatku jadi janda bahkan sebelum aku menikah?"
Justin terkekeh. "Kau tidak akan jadi janda. Aku berjanji."
"Kata-katamu itu tidak membuatku tenang. Kembali ke tempat tidur sekarang, Justin."
"Kau tidak bisa memerintahku." Justin mengangkat bahu kemudian meraih kenop pintu dan berjalan keluar. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi begitu dia masuk ke dalam kubikel lift Justin mendengar suara ribut. Seperti suara langkah kaki yang berasal dari beberapa orang. Oh geez. Itu pasti Zayn, Caitlin dan tentu saja Spring. Zayn pasti sedang bertanya-tanya sekarang. Sementara Caitlin, Justin berani bertaruh bahwa gadis itu tengah sibuk berspekulasi. Dan Spring... dia sudah pasti akan berusaha menghalangi Justin untuk pergi. Well, itu tidak akan berhasil. Pintu lift berangsur-angsur semakin menutup, dan ketika yang tersisa hanyalah sebuah celah selebar kurang dari tujuh sentimeter, Justin melihatnya. Justin melihat mata Spring yang menatapnya—menyiratkan permohonan yang amat sangat agar dia tidak pergi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stardust (Sequel of The Dust) by Renita Nozaria
Fanfictionthis story is NOT mine