Chapter 18

962 58 0
                                    

---

Still Justin Bieber Point of View

Laki-laki itu menyebutkan namanya, dan untuk sejenak aku merasa tidak suka pada tatapan yang dia tujukan untuk kekasihku. Aku mendengus sambil menekan memarku lantas menoleh padanya begitu Leo membalas tingkahku dengan kerutan di keningnya.

"Ya, terimakasih atas pertolonganmu." Aku berucap dengan setengah hati karena sikutan lengan Spring di rusukku. Leonard tersenyum dan lesung pipi tercetak di pipinya saat dia tersenyum. Rasa tidak sukaku semakin bertambah kepada pria ini. Dia berlagak sok manis. Apakah dia pikir dia tampan dengan senyumnya itu? Hell, sayangnya jawabannya adalah TIDAK.

"Bukan apa-apa." Leonard mengangkat bahunya, seakan menghajar Eddie Young sampai lari terbirit-birit bukanlah masalah besar untuknya. Oh ya. Dia benar-benar arogan—menurutku. Padahal bisa saja dia hanya beruntung. Ya keberuntunganlah yang membuatnya bisa mengalahkan Eddie Young yang jelek itu.

"Aku senang kau datang. Seharusnya aku bisa menghajar bajingan itu, namun karena kondisi tubuhku sedang tidak pas untuk berkelahi, pacarku terpaksa meminta bantuanmu." Aku menyahut, berusaha menampilkan sosok arogan yang telah lama menghilang dari diriku. Tampaknya usahaku itu berhasil karena Spring menyikut rusukku untuk yang kedua kalinya dan melemparkan tatapan kau-sedang-tidak-sopan.

"Ya, aku juga senang bisa membantumu. Ngomong-ngomong, apakah kau keberatan jika aku mengetahui nama kalian?" Atau nama gadis yang berada di sampingku, lebih tepatnya? Jeez, tentu saja. Tidak mungkin seorang pria mengajak seorang laki-laki berkenalan. Yang dia maksud pasti Spring yang masih duduk dengan ekspresi super terperangah di sebelahku. Sial.

"Aku—kau bisa memanggilku Waverly. Sementara dia adalah Justin. Justin Bieber." Spring menyahut dengan cepat, yang membuat Leonard memicingkan mata kepadanya. Untuk sejenak aku harus menahan perasaanku untuk berteriak pada Leonard bahwa gadis yang sekarang sedang dipelototinya habis-habisan adalah pacarku.

"You got a lovely name." Leonard memuji. Jelas sekali dia tujukan untuk Spring.

"Sorry, Leo, bisakah kami pergi sekarang? Aku dan pacarku harus pulang sekarang." Aku memberikan penekanan yang jelas pada kata 'pacar'. Leonard tersentak namun sesaat kemudian ekspresinya berubah normal kembali.

"Kalian mau kuantar?"

"Dengan jalan kaki?" Aku menukas ucapannya sebelum Spring sempat membuka mulut. "Kurasa itu percuma. Lagipula, flat kami tidak terletak di distrik ini. Kupikir subway bisa mengantar kami pulang lebih cepat ketimbang sepasang kakimu itu." Ok, ini adalah sikap ketus seorang Justin Bieber yang lama tidak kutunjukkan pada siapapun. Spring mengernyit dan aku mendapatkan pandangan protes darinya, tapi aku sama sekali tidak peduli. Dan sama sekali tidak mencoba untuk peduli. Leonard tampak berpikir selama sejenak sebelum akhirnya menghembuskan napas dan tersenyum pada kami berdua—oh maksudku, hanya pada Spring.

"Baiklah, kalau begitu. Kuharap kalian berhati-hati."

"Tentu saja, kami bisa menjaga diri." Aku bangkit dari atas bangku yang kududuki dan diam sejenak saat aku merasakan serbuan rasa sakit yang melanda rusuk juga punggungku. Spring tampak khawatir, karena dia langsung menghambur mendekatiku dan menyandarkan sisi tubuhku diatas bahunya. Sial. Aku jadi tampak payah di depan Leonard yang sekarang menyipitkan mata mengamati gerak-gerikku dan pacarku. Mengabaikan rasa sakit yang menjalar, aku merangkul bahu Spring yang melambai dengan tergesa pada Leonard.

"Terimakasih atas pertolonganmu, Leo. Aku berhutang budi padamu. Sampai jumpa lagi." Katanya pada Leonard yang tersenyum tipis. Aku mendengus, lantas dengan sikap protektif aku merengkuh bahunya dan menariknya menjauh dari tempat itu, meninggalkan Leonard yang tentunya masih mengamati kami dengan pandangan aneh dari sepasang mata gelapnya.

Stardust (Sequel of The Dust) by Renita NozariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang