Chapter 4

1.3K 80 0
                                    

---

"Your name, forever the name on my lips."

---

Mata cokelat madu milik pria itu masih menatapnya dan berhasil membuat sekujur tubuh Spring dialiri sebuah perasaan berdesir yang luar biasa. Gila. Sudah empat tahun berlalu dan tubuhnya masih memberikan reaksi seperti ini pada tatapan Justin? Spring menelan ludahnya lantas menoleh pada Delta yang kini telah menerima uluran tangan yang diberikan oleh pria berambut hitam yang lebih muda itu. Ya ampun. Apakah ada pilihan yang tersisa buatnya selain menerima ajakan Justin? Dia ingin langsung berkata 'ya', tapi jauh dalam hatinya Spring merasa bahwa ini semua sangat salah. Ini sangat salah. Semuanya tidak boleh berjalan seperti ini. Namun mendadak perkataan Caitlin terlintas dalam benaknya. Jangan menghindar. Tapi jika dia tidak menghindar, semuanya kesalahan ini akan terus berjalan, dan sejujurnya Spring tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Dia baru saja akan menolak permintaan Justin ketika mata pria itu terarah dalam pada lensanya dan dalam sekejap membuat Spring ragu untuk menolak permintaan pria itu.

"Wave? Kau mau kan?"

Spring mencoba menemukan kemampuannya untuk kembali bernapas.

"Nah. Kuanggap itu jawaban iya. Ayo!" Tanpa menunggu ucapan Spring, Justin meraih lengan gadis itu dan membuat sekujur tubuh Spring bagaikan tersengat oleh aliran listrik. Ini... ini adalah kali pertama Justin kembali meraih lengannya dan menggandengnya setelah empat tahun berlalu. Spring menggigit bibirnya begitu Justin membawanya melintasi pintu masuk area pesta dan dalam sekejap mereka berdua telah berada diantara lautan manusia dalam cahaya lampu disko yang berwarna-warni dan membuat kepala Spring terasa pusing. Dia memang telah lama tinggal di Las Vegas, dan pesta adalah sesuatu yang umum di kota itu. Namun masalahnya adalah Spring bukanlah seorang peserta pesta yang aktif. Dia pernah ikut pesta semacam ini bersama Julia. Berbeda dengan Julia yang seakan menjadi The Queen of The Party, Spring hanyalah berperan sebagai The Girl at The Corner. Dia tidak pernah bisa menikmati pesta.

"Astaga, dimana sih Kath dan Jazz?" Kening Justin berkerut begitu dia tidak menemukan sosok Katrina dan Jason maupun Will dan Thea. Laki-laki itu tampak mengedarkan pandang ke sekelilingnya dan kelihatan menyerah untuk menemukan sosok teman-temannya. Spring bertanya-tanya apakah teman-teman yang dicari Justin itu berasal dari Vegas dan merekalah yang membujuk Justin untuk datang kemari? Well, siapa yang tahu?

"Mungkin lebih baik jika kita mencari sesuatu yang bisa... diminum?" Sebelah alis Justin terangkat dan mata pria itu terarah pada Spring. Spring mengernyit. Minuman? Oh yang benar saja. Di pesta semacam ini, minuman yang tersedia hanyalah scotch, cors, margarita, whiski ataupun vodka. Gadis itu menggigit bibir. Dia tidak pernah mengkonsumsi alkohol sebelumnya. Dan Spring bertekad tidak akan pernah mengkonsumsi minuman semacam itu.

"Mungkin aku bisa menemanimu kesana."

"Kau tidak ingin minum sesuatu yang mungkin bisa menghangatkan tubuhmu? Kau tahu, malam ini cukup dingin. Ditambah lagi kita berada di tepi pantai."

Spring membasahi bibirnya. "Maaf, tapi aku tidak minum-minuman beralkohol."

"Oh begitu." Justin menyahut diiringi dengan ringisan. "Maaf."

"Kenapa harus minta maaf?"

"Kau pasti tidak terbiasa dengan suasana pesta ini." Gee. Kemana sosok Justin Bieber yang sesungguhnya? Kenapa Justin jadi bersikap begini manis? Apakah waktu empat tahun telah berhasil merubahnya? Spring mendesah dalam hati. Dia merindukan Justinnya yang lama, namun sejujurnya dia juga merasa senang bahwa Justin bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Stardust (Sequel of The Dust) by Renita NozariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang