Chapter 33

870 49 0
                                    

===

Carl Bernstein Point of View

Pada kenyataannya aku memang harus menghadapinya. Pada kenyataannya aku harus menerima fakta bahwa dia memang sudah pergi. Dia, satu-satunya gadis yang mampu membuat hatiku berdesir telah pergi begitu saja. Tanpa isyarat. Tanpa tanda. Dia pergi begitu saja, seperti hembusan angin yang datang tiba-tiba di musim dingin. Berlalu dengan cepat, namun meninggalkan kebekuan yang bertahan lama setelahnya. Aku mendesah. Apakah hidup harus selalu sesakit ini?

Aku telah mencoba merelakan semua yang terjadi. Mencoba menahan sesak yang menghimpit dan melatih diriku sendiri agar tampak tegar. Agar aku tidak perlu meneteskan air mata di pemakaman. Agar aku bisa menahan diriku untuk tidak merangsek maju menerjang Michael Saviano dan mengacaukan acara funeral Katrina. Aku ingin mencekik pria itu, sungguh. Aku ingin menghabisinya, membuat jantungnya berhenti berdetak, namun setiap kali aku memikirkan gagasan itu aku tahu bahwa Katrina yang berada di atas sana akan kecewa. Karena bagaimanapun juga, Michael adalah ayah biologis Katrina.

Karena bagaimanapun juga, aku menyadari bahwa perasaan Michael pasti sama hancurnya dengan perasaanku sekarang. Bahkan mungkin dia jauh lebih hancur...

Kehilangan. Tidak pernah ada seorangpun yang siap dengan sebuah kehilangan. Entah bagaimana, kehilangan selalu terasa pahit, terasa menyakitkan, terasa merambat seperti racun yang membuat sekujur tubuhmu terasa nyeri. Hal yang sama terjadi padaku sekarang. Disinilah aku. Carl Bernstein, berlutut diatas permukaan rumput hijau, menatap batu persegi kelabu yang berada di depanku. Satu-satunya hal yang tertinggal dari Katrina. Kini aku tidak akan pernah melihat lagi mata biru kehijauannya yang indah, suara tawanya, dan senyumannya. Helaian rambut cokelatnya..

Satu-satunya yang bisa kulihat dari dia hanyalah potret usang wajahnya yang tengah tersenyum dan batu persegi kelabu nan dingin ini. Semua yang kusukai pada dirinya, mata birunya, tawanya, senyumnya, rambutnya, kerjapan matanya, semuanya telah terkubur jauh di dalam sana, di dalam peti mati yang telah terkunci rapat untuk selamanya.

Tidak pernah ada seorangpun yang siap untuk sebuah kehilangan. Namun aku tidak pernah menyangka kehilangan akan sesakit ini. Aku mendesah, menatap permukaan persegi kelabu di hadapanku dan menyentuhnya perlahan dengan sepenuh rasa. Kupikir aku tidak punya harapan apa-apa lagi untuk dipikirkan dalam hidup kecuali dia. Aku menunduk, menangkup batu persegi bertuliskan namanya dengan kedua tanganku dan setetes air mataku jatuh disana.

Disinilah tempat dia terbaring dalam istirahat panjang. Dan mungkin, disini jugalah aku akan menghabiskan sepanjang umurku hingga ajal menjelang.

Aku mendesis ketika semilir angin menghembus, membuatku menatap ke gumpalan cumulus di langit biru seolah dengan begitu aku bisa menatap langsung matanya. Aku mengernyit, merasakan perih itu masih menjalar di hatiku meskipun berjam-jam telah berlalu. Meskipun nyaris semua orang telah meninggalkan pemakaman. Ya, nyaris semua orang terkecuali aku. Aku mendesah, merasakan mataku kabur oleh air mata ketika mendadak pandanganku tertuju pada satu arah; kumpulan pepohonan pinus di sisi paling utara area pemakaman ini.

Tidak. Aku bukan tengah melihat pada kumpulan pepohonan pinus. Aku tengah melihat pada sebuah siluet yang begitu kukenal disana. Rambut cokelatnya berkibar ditiup angin yang berhembus, dan matanya yang biru kehijauan menatapku. Dia menarik sebuah senyuman sedingin es ketika aku menggumamkan namanya.

"Katrina.."

Lalu secepat hujan di musim panas, siluet itu menghilang disapu oleh angin yang berlalu. Namun sebelum siluet tipis itu tersapu sepenuhnya oleh angin, aku masih mengingat apa yang terakhir kulihat darinya.

Stardust (Sequel of The Dust) by Renita NozariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang