Chapter 30

911 45 0
                                    

---

Author's Point of View "Apa salahnya jika kami membantumu?" Carl langsung menyela ucapan Justin sesaat setelah pria itu bersikeras untuk melakukan segala misi berbahaya ini sendirian. Mata birunya menatap pada Justin dengan tajam, sementara Justin sendiri masih berdiri di tempatnya dengan teguh, "Tujuh gedung itu tidak sedikit, Justin. Aku tidak yakin kau bisa menyelesaikannya tepat waktu." "Tepat waktu?" mata Justin memicing, menatap Carl dengan sebuah kerutan yang tiba-tiba saja muncul di keningnya. "Apa maksudmu dengan tepat waktu?" Carl berdehem. "Saviano biasanya akan berlaku seperti itu setiap kali dia memberikan misi pada seseorang. Dia adalah orang yang sangat perhitungan, dan dia baru akan puas jika misinya berhasil terselesaikan tepat waktu. Dan sekarang, apa yang kau harapkan darinya, Justin? Tentu saja dia tidak akan repot-repot menunggumu selesai. Dia akan memasang target waktu yang harus bisa kau manfaatkan sebaik mungkin, dan jika tidak, ada banyak variasi yang dia lakukan." "Variasi apa?" Justin terdiam, matanya tampak khawatir dan mendadak dia merasa sekujur tubuhnya baru saja disiram oleh aliran dingin tak kasat mata. "Variasi apa, Carl Bernstein?" katanya kembali mengulangi pertanyaannya. "Dia bisa saja meledakkan gedung tempat Spring berada. Membunuhnya. Membunuhmu. Apa saja." bisik Carl parau, sementara mata orang-orang yang berada di ruangan itu ikut menggelap oleh kabut kekhawatiran. Mereka bahkan tidak menyadari ekspresi Katrina yang terus menerus menunduk, tanpa berani menatap salah satu dari mereka. Katrina menarik napas, perlahan hingga nyaris tidak terdengar sementara bisikan itu terus berkelebat dalam otaknya. Pengkhianat. Pengkhianat. Pengkhianat. Tidak ada gunanya menyangkal. Katrina menarik napas. Faktanya dia memang berkhianat pada mereka. Dia memang berkhianat pada Justin, sahabat lamanya. Dia telah membohongi teman-temannya yang bahkan telah begitu dekat padanya seperti pembuluh nadi pada leher. Tapi apakah salah jika dia berkhianat demi ayahnya... dan demi ibunya? Oh tidak. Katrina tercekat ketika kesadaran yang terlambat itu menghantamnya. Tidak. Dia baru saja berbuat sebuah kesalahan. Dia baru saja memberikan kesempatan pada kedua orang tuanya untuk saling menghancurkan. Katrina merasa sungguh-sungguh cemas sekarang. Gadis itu terdiam dengan kaki yang mulai gemetar. Segala apa yang telah dia lakukan salah. Semuanya salah. Sebuah kesalahan besar. Astaga. Apa yang telah dia lakukan? Katrina tidak bisa menahan diri untuk tidak menggigiti kuku jarinya yang tersapu kuteks. Kekasih sahabatnya tengah jadi tawanan sekarang. Ayah ibunya sedang akan bertengkar dan bisa saja salah satu atau keduanya terbunuh. Ini adalah sebuah kesalahan besar. Katrina memejamkan mata, berpikir dan mendadak ide itu mampir di otaknya. "Kami bisa membantumu, Justin." bisik Katrina tiba-tiba, membuat semua pasang mata yang ada di ruangan itu beralih padanya. "Kami bisa membantumu." "Aku tidak yakin, Kath." Justin berbisik ragu, "Ini semua terlalu berbahaya. Aku tidak ingin membawa kalian ke dalam masalah ini." "Tidak." Katrina menggeleng. "Jika kau benar-benar mencintainya, jika kau ingin dia selamat, kau harus menuruti aku. Sebenarnya aku..." Katrina menelan ludah. Haruskah dia mengatakan ini semua? Dia menatapi satu persatu teman-temannya yang tampak menunggu jawaban darinya. Mata Carl yang biru itu tertuju padanya, seolah tidak mengerti dengan tingkah laku yang ditunjukkan oleh Katrina. "... selama ini, secara diam-diam aku telah membajak system ketujuh gedung milik Christine Denton. Oh ya, dan Michael Saviano." "Dan itu artinya?" Jason mengangkat sebelah alis. "Kalian semua akan menyebar ke seluruh penjuru kota untuk meledakkan satu demi satu gedung itu. Aku akan berada disini, mengontrol dari balik layar dan memberitahu kalian mengenai arah mana saja yang harus kalian ambil." "Tapi—" "Aku tidak akan mau mendengarkan alasan apapun." balas Will yang sedari tadi sejak diam. "Terimalah keadaan ini, Justin. Kau benar-benar membutuhkan bantuan. Apa salahnya mengakui bahwa kau tidak bisa melakukannya sendiri?" "Aku hanya tidak ingin membawa masalah pribadi ini kepada kalian. Kalian tahu, ini semua berbahaya." "Hanya ada satu hal yang mesti diingat," kata Thea menyela. Justin menekan bibirnya ke dalam sebuah garis keras ketika mata hijau Thea itu menatapnya. "Bukankah selama ini kami juga selalu melakukan misi, dan selama itu pula kami selalu berada dalam bahaya yang sama? Lantas, apa yang membedakan misi-misi terdahulu kita dengan misi yang sekarang, Justin?" "Aku tidak tahu," Bukan, bukan Justin menjawab, namun justru Jason. "Tapi aku merasa bahwa misi ini akan menjadi misi terakhir kita." Seisi ruangan langsung terdiam begitu mereka mendengar kata-kata Jason. Katrina tertunduk, lantas gadis berambut cokelat itu kembali menghela napas dalam-dalam. Kau benar, Jazz. Dia berbisik dalam hati. ***Justin Bieber Point of View Hari ini suram. Langit gelap, suram tanpa bintang dan hanya berselimutkan awan-awan kelabu yang membuatnya makin kelihatan suram. Well, mungkin tidak. Mungkin diatas sana bintang-bintang justru bersinar terang, namun cahaya kota yang terlampau terang ini membuatnya sama sekali tidak terlihat. Tidak tertangkap oleh pandangan mata. Aku menghela napas, memantapkan kakiku di atas gedung pencakar langit yang begitu tinggi ini. Ini adalah mansion Christine Denton, dan aku berada tepat di atapnya setelah melalui sedikit perjuangan yang tidak mudah karena yea, mansion Denton berada di pusat kota dengan penjagaan berlapis. Namun tentu saja, tidak ada yang tidak bisa diselesaikan oleh tangan yang telah bertahun-tahun menggenggam pistol. Kendaraan dan manusia berlarian seperti semut di bawah sana. Sebagian dilingkupi ketakutan. Sebagian lagi adalah polisi yang berpatroli. Aku menghela napas, mencoba tidak memikirkan Carl dan teman-temannya yang menggadaikan nyawa untuk bisa mendapatkan kunci-kunci itu dari tujuh gedung yang merupakan aset milik keluarga Denton. Carl akan menerobos penjagaan mansion ini dan bertemu di tempat yang telah ditentukan untuk memberikan kunci-kunci tersebut padaku. Ini adalah kali kedua aku merutuki diriku sendiri, merasa bodoh dan tidak bisa berbuat apa-apa. Segalanya seakan kembali terulang di depan mataku, seperti déjà vu yang membuat hatiku berdenyut karena nyeri. Well, aku pernah mengalami perasaan ini di hari ketika tim dokter mengumumkan bahwa dia tidak lagi ada disini, tidak lagi menghirup udara dan napas kehidupan telah berlalu pergi meninggalkannya. Aku merutuki diri sendiri, merasa amat bodoh karena justru ketika kekuasaan seisi kota berada dalam genggaman tanganku, disaat aku bisa memiliki apa yang kuinginkan, aku justru kehilangan sesuatu yang paling berarti yang pernah kupunya. Dan malam ini kebodohanku itu kembali terulang. Aku menghela napas lagi, mencoba menahan sesak yang membuat dadaku serasa ingin meledak. Malam ini akan jadi malam yang buruk, aku berpikir sambil menghela napas. Aku tidak pernah berdoa. Aku tidak pernah pergi ke gereja atau sekedar mengingat Tuhan dan segala firmanNya, tapi kali ini aku berharap Dia mau mendengar doaku. Aku berharap Dia melihatku, mengetahui bagaimana dalamnya perasaanku pada Spring. Aku... aku hanya tidak bisa kehilangan dia lagi. "Justin." suara Katrina terdengar di telingaku, dari alat pendengar yang kupakai. Untuk yang kesekian kalinya aku kembali menarik napas panjang. "Ya." aku menjawab panggilannya. "Sekarang giliranmu." ujar Katrina dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Ada apa dengannya? Biasanya dia selalu bersemangat—yeah, dia memang selalu bersemangat dalam setiap misi yang ditanganinya. "Baik." Aku menjawab tanpa berminat bertanya padanya. "Kau berada di atap gedung itu sekarang kan?" "Katrina, kau punya pelacak GPS. Tentu kau bisa memastikan dimana lokasiku sekarang," aku menyahut, agak kesal karena sepertinya ia terlalu membuang-buang waktu dengan segala pertanyaannya yang terdengar begitu konyol. "Baiklah." Katrina agak tergugu. "Turun lewat sudut gedung. Arah jam dua. Ada tiga penjaga disana, habisi mereka dalam lima detik dengan M-45 yang kau bawa." Aku mengikuti instruksinya ke arah jam dua, lantas merayapi lekukan tembok dan turun di balkon lantai tertinggi gedung ini. Dua penjaga itu tampak terkesiap ketika melihatku, namun mereka tidak lagi punya kesempatan untuk meraih senapan mereka karena peluruku langsung menembus mereka tepat di bagian dada. Satu diantara mereka mendapat hadiah peluru tepat di bagian kepala. Ketiganya langsung tumbang berurutan dan tergeletak di lantai seperti kantung sampah yang mengucurkan darah. Aku melangkah setengah berlari melewati mereka sambil menunggu perintah Katrina selanjutnya. "Kath?" Aku bertanya, heran mengapa ia tidak kunjung memberikan perintah. Lalu mendadak ada suara lain yang terdengar dalam telingaku. Suara lainnya yang tentu saja bukan suara Katrina karena aku tahu benar warna suara Katrina yang khas. "Err, ya Justin?" katanya yang membuatku memperlambat langkahku. "Dimana Katrina?" tanyaku sambil memastikan bahwa aku tidak salah dengar. "Ermm, ini aku." dia kembali berbicara, yang membuatku makin ragu. "Ini bukan Katrina." ujarku dengan tegas, dan suara di seberang sana langsung lenyap. Hanya ada keheningan selama beberapa saat. "Dimana Katrina?" Aku bertanya lagi, kali ini penuh penekanan. "Baiklah, ini memang bukan Katrina Sheenan!" serunya agak jengkel. "Aku adalah Angela Johnson. Aku teman Kath, dan demi Tuhan Justin Bieber, kau membuang waktu! Kau harus segera menyelesaikan misinya sebelum mansion itu diledakkan!" "Apa maksudmu?" keningku berkerut dan sikap tubuhku langsung berubah waspada. Apa maksudnya ini? Apakah ada seseorang disana yang telah menyekap Katrina dan menggantinya dengan si Angela ini? "Katrina, dia memiliki sebuah urusan." kata Angela dengan lemah. "Aku diminta Katrina untuk menggantikannya, jadi—" suara Angela terhenti seketika saat seseorang dengan alat pendengar lainnya menekan tombol 'speak'. Itu pasti Carl. "Angela adalah teman Katrina." kata Carl. "Dengarkan dia, Justin. Dengarkan dia. Dia akan membimbingmu menuju arah yang benar. Aku akan mencari tahu keberadaan Katrina sekarang." Lalu semuanya hening sesaat sebelum aku sempat menjawab. Suara Angela kembali menggema di telingaku. "Lewati koridor 22C, kemudian habisi penjaga yang ada disana. Terus lurus hingga kau menemukan persimpangan. Ambil arah jam tiga, Jason akan menemuimu disana dan memberimu semua kuncinya." kata Angela kemudian. Aku menarik napas, kemudian memulai langkahnya. Ini masih mudah, bisikku dalam hati. Yea, kuharap semuanya akan semudah yang kupikirkan.***Katrina Sheenan Point of View Aku melangkah memasuki mansion Michael Saviano yang nyaman, dan para pegawai itu membiarkanku lewat begitu saja. Ini bagus. Aku tidak perlu membuat keributan, dan baik Carl maupun Justin tidak perlu tahu bahwa aku berada disini. Hanya akan ada kemarahan jika mereka tahu. Mereka mungkin marah karena telah menaruh kepercayaan pada seorang pengkhianat seperti diriku, namun mungkin mereka juga bisa marah karena aku telah membahayakan keselamatanku sendiri dengan memutuskan meninggalkan van yang terparkir di jalanan dan menyerahkan segalanya pada sahabatku, Angela. Namun aku benar-benar harus kemari. Aku harus menemui Saviano. Aku harus menemui Ayahku. Oh hentikan ini, Katrina. Aku berpikir dengan jengkel sambil merutuki diriku sendiri. Berhenti memikirkan mengenai ayahmu. Ibumu atau hal persetan apapun tentang itu. Kalau tidak kau akan menangis lagi. Dan kau tidak boleh menangis disini. Kau sama sekali tidak boleh. Aku menarik napas, mencoba melegakan pernapasanku yang terasa sesak kemudian melangkahkan kaki melewat koridor yang akan menghubungkanku dengan ruang kerja Michael Saviano—atau ayahku. Aku tahu bahwa meskipun para pegawai itu mengizinkanku masuk begitu saja, mereka tidak langsung percaya padaku. Setidaknya aku bisa merasakan bahwa sedikitnya ada dua orang yang berada di belakangku, mengikutiku sambil menggenggam pistol di tangan mereka. Bah, biar saja. Aku datang kesini tidak untuk membunuhnya. Aku menghela napas lagi begitu tanpa sengaja pandangan mataku tertuju pada pigura-pigura yang memuat foto di dinding. Ada foto Michael Saviano ketika dia masih remaja, dan ketika dia baru berusia awal tiga puluhan. Ada sosok cantik berambut pirang yang kupikir adalah istrinya dulu. Ibu tiriku. Lalu ada foto gadis kecil berambut cokelat gelap dengan bola mata biru kehijauan yang sama persis dengan bola mata Michael Saviano. Dengan segera, aku langsung mengenali siapa sosok yang berada dalam pigura foto itu. Sosok itu adalah aku di masa lalu. Jangan menangis! Jangan menangis! Aku berseru dalam hati sambil menggigit bibir. Aku harus tampak kuat karena ruang kerja Saviano hanya tinggal beberapa langkah lagi di depanku. Aku menambah kecepatan jalanku, dan dalam sekejap aku telah berada di muka pintunya. Aku mengulurkan tangan, memutar kenopnya dan pintu itu langsung terbuka. Michael tengah duduk di belakang mejanya, bersandar pada kursi besar kulitnya yang berwarna hitam. "Sheenan?" matanya menyipit dan memandangku. "Ada apa? Mengapa kau datang kesini?" "Aku..." Aku diam, menarik napas. Mencoba mengingat-ingat kalimat yang telah kususun sedemikian rupa. "Kumohon, bebaskan gadis itu." Michael mengernyit, tampak tidak mengerti namun sesaat kemudian dia tersenyum lebar. "Aaa, kau sedang bicara tentang kekasih Justin Bieber rupanya." Dia menyeringai, membuatku menahan diriku untuk berlari ke arahnya, dan memanggilnya dengan sebuah sebutan. Sebuah sebutan untuk seorang figure orang tua yang tidak pernah kumiliki saat aku masih kecil. Dad. Tapi aku tidak akan melakukannya. Tidak. Tidak sekarang. Jadi aku memutuskan menggigit bibirku. "Kumohon. Kumohon." bisikku padanya. "Tidak, sweety." "Setidaknya biarkan Justin dan kekasihnya pergi." "Dan membiarkan laki-laki itu membalaskan dendam padaku suatu hari nanti?" Michael Saviano bertanya dengan nada sarkastik. "Tentu saja tidak. Ini bagus menurutku. Dia meledakkan semua yang dimiliki oleh Denton sialan itu, dan kemudian dia mati karena ledakan dalam Mansion Denton saat dia mencoba menyelamatkan gadisnya. Betapa kasihan," ujar Michael Saviano mengejek. "Kau tidak tahu betapa dia mencintai gadis itu." Aku mencoba menahan air matanya, "Kau tidak tahu mengenai apa yang telah mereka rencanakan untuk sesuatu yang bernama masa depan." "Peduli setan." Michael berucap acuh. "Aku akan tetap meledakkan gedung itu dalam... well, sesaat lagi. Dia dan kekasihnya akan mati terpanggang di dalam sana." "Kalau begitu, kau memaksaku melakukan ini." Aku berbisik sambil mengeluarkan pistol yang tersembunyi di balik mantelku. Aku berusaha memegangnya dengan satu tangan, namun akhirnya aku hanya mampu menggenggam pistol tersebut dengan kedua tangan, mengarahkan moncongnya pada Michael Saviano dengan tangan bergetar. Aku menatapnya. Menatap matanya yang sewarna dengan mataku dan menyadari sesuatu. Aku tidak akan pernah punya kekuatan untuk menembak Ayahku sendiri. Tidak akan pernah. Michael Saviano terperangah selama beberapa saat, lantas sebelah alisnya terangkat. "Oh ya, tembak saja aku, sweety. Jikapun aku mati, aku sudah cukup puas karena aku telah berhasil menghancurkan Christine Denton sialan itu." Aku menatapnya dengan pandangan berkaca-kaca. Tanganku masih mengarahkan pistol itu pada Michael Saviano meskipun sekujur tubuhku gemetar dengan hebat. Aku menggigit bibirku, ada sakit dalam dadaku ketika setetes dua tetes air mata berjatuhan ke pipiku. Aku tidak akan pernah sanggup melakukannya. "Tembak aku. Sekarang." katanya. Matanya memandang mataku dengan tatapan menyelidik. Secara logika, seharusnya aku mengambil kesempatan ini. Seharusnya aku menarik pelatuk, menembaknya, namun pada kenyataannya aku sama sekali tidak punya kekuatan untuk itu. Karena dia adalah Ayahku. Dia mungkin jahat, tidak berperikemanusiaan dan seperti manusia yang tidak punya jiwa, namun sampai kapanpun dia adalah ayahku. Dia adalah ayahku. Hal itu yang menjadi satu-satunya alasan mengapa aku tidak menarik pelatuk sekarang. "Kau seperti Christine Denton." katanya mengejek. "Pernahkah aku bercerita padamu bahwa bertahun-tahun lalu, lebih dari empat belas tahun yang lalu Christine Denton pernah datang padaku, menyergapku di kamar tidur dan berniat menembakku? Tapi dia hanyalah seekor tikus kecil pengecut. Dia justru menangis dan pergi begitu saja tanpa menembakku." Mom. Aku berucap dalam hati. "Dia bukan pengecut." "Lantas namanya apa?" Michael mencibir. "Apalagi kalau bukan pengecut namanya? Jika aku jadi dia, aku akan dengan mudah menarik pelatuk untuk meledakkan kepala sialannya." "Kenapa?" aku bisa merasakan setetes air mata lainnya jatuh meluncur di pipiku. "Mengapa kau begitu membencinya?" "Karena dia telah memisahkan aku dan anakku. Aku tidak akan pernah bisa memaafkannya." Michael Saviano berucap sungguh-sungguh, membuatku tersentak dan baru saja akan membuka mulut ketika dia menarik laci mejanya dan menarik sepucuk senjata api. Moncongnya tertuju padaku. "—dan aku juga tidak akan pernah memaafkanmu, Sheenan kecilku. Kau pikir siapa kau hingga kau bisa mencoba membunuhku? Well, sampai jumpa di...neraka." dia menyeringai, lantas segalanya terasa begitu cepat ketika dia menarik pelatuk. Aku tidak merasakan apapun. Aku hanya merasakan ada sesuatu yang baru saja menghantamku dengan kuat, membuat sesuatu mengalir keluar dari tubuhku. Aku menunduk, dan ada tetes-tetes darah merah yang terpercik ke karpet putih tepat ketika pistol itu terlepas dari genggaman tanganku. ***Author Point of View Tubuh gadis itu terhuyung selama sesaat sebelum terjatuh ke lantai. Darah masih mengalir lewat bagian tubuhnya yang terkoyak. Lantai yang terlapisi oleh karpet putih itu berubah merah karena aliran darah gadis tersebut, sementara pria paruh baya yang baru saja menembaknya bangkit dengan perlahan dari kursi besarnya. Dia menyipitkan mata, menatap aadis yang terbaring itu denagn mata biru kehijauannya. Tidak. Gadis itu belum mati. Gadis itu belum mati, meskipun napasnya makin lama makin pendek dan lemah. Gadis itu belum mati. "Sangat menyesal aku terpaksa menembakmu. Tapi kau bukan Christine Denton. Kau hanyalah seorang gadis jalanan yang berani-beraninya mengacungkan pistol padaku. Kau lihat. Kau beruntung karena aku membuat kematianmu jadi begitu mudah." Michael Saviano berbisik. "Aku mengakui keberanianmu, sungguh. Tapi kau adalah Katrina Sheenan, dan selamanya akan tetap begitu. Sampai kiamatpun seorang Katrina Sheenan tidak akan pernah pantas menodongkan pistolnya padaku." Michael masih menatap gadis itu. Gadis berambut cokelat gelap yang kini memandangnya dengan pandangan penuh air mata. Gadis itu menekan luka tembaknya, membuat jari-jarinya seketika berlumuran darah. Dia membisikkan kata-kata yang tidak Michael Saviano dengar dengan jelas. Kening Michael berkerut, matanya yang biru kehijauan itu masih menatap Katrina ketika mendadak jendela terpecah karena tiga peluru yang menembusnya. Michael Saviano merunduk, menghindar dengan cepat dan peluru itu meluncur menembus tembok. Membuatnya jadi berlubang. Sedetik kemudian sesosok perempuan melompat masuk lewat jendela yang telah pecah. Dia mendarat tanpa suara, seperti kucing, namun sama mematikannya seperti singa ketika tangannya dengan tangkas langsung mengarahkan moncong senjata kepada Michael Saviano. "Apakah kau juga teman si Sheenan kecil ini?" tanya Michael Saviano sambil menatap sosok bertopeng itu. Disaat yang bersamaan, sosok itu mengernyit. Katrina Sheenan? Sebuah kesadaran menghantamnya, dan matanya langsung membelalak begitu dia melihat sosok gadis yang terbaring diatas karpet dengan darah yang mengalir dari bagian tubuhnya yang tertembus peluru. "Christine Denton?" Michael tersentak kaget begitu sosok itu membuka topengnya. Rambut wanita itu tergerai. Matanya menatap Saviano, lantas setetes air mata meluncur di pipinya begitu dia melihat Katrina yang terbaring. "Apa yang kau lakukan disini?!!" tanya pria paruh baya itu sambil membidikkan pistolnya pada Christine. Christine tercekat, lantas dia memejamkan matanya. Dua tetes air mata lainnya menyusul tepat ketika dia menjatuhkan pistol di tangannya. Michael Saviano tercengang begitu melihat tindakan yang diambil oleh Christine. "Apa yang kau lakukan?!!" Mata Christine menggelap, dan untuk sesaat dia menatap Katrina dan Michael bergantian. "Apa yang kau lakukan? Apa kau baru saja menembaknya?" "Siapa? Katrina? Well, dia bersikap kurang ajar padaku." "Kau menembaknya hanya karena dia bersikap kurang ajar?!!" Christine tampak tidak percaya, kemudian dia melangkah dengan cepat ke arah Katrina, namun Michael kembali menarik pelatuk. Sebuah peluru menembus tembok hingga Christine menghentikan langkahnya. "Memangnya kenapa? Aku bisa dengan mudah menembak mati seorang mafia kelas kakap seperti dirimu, lantas mengapa aku harus ragu untuk menghabisi anak jalanan seperti dia?" Christine menghela napas, air mata berjatuhan di pipinya. "Apakah kau tahu bahwa sesungguhnya anak yang kau sebut anak jalanan ini... Anak yang baru saja kau tembak hanya karena dia berlaku kurang ajar... adalah sosok yang telah lama kau rindukan dalam enam belas tahun belakangan?" Michael tercekat. "Ap—apa maksudmu? Tidak—tidak mungkin. Jangan katakan bahwa dia ad—" "Ya, Michael." Christine menyahut penuh kepedihan. "Katrina adalah puterimu. Puterimu yang telah lama hilang." *** Justin melangkah melewati tumpukan para penjaga yang telah terbaring tak bernyawa di lantai dengan darah mengucur melalui kepala mereka. Pria itu memejamkan matanya, sama sekali tidak peduli ketika mata orang mati yang terbuka itu menatapnya. Yang ada di pikirannya hanya Spring. Gadis itu. Begitu dia teringat ekspresi sedih gadis itu, atau kemungkinan gadis itu tengah berada dalam bahaya, Justin langsung mempercepat langkahnya. Dia berlari melewati koridor 22C, terus melangkah hingga dia tiba di persimpangan. Justin mengambil arah jam tiga, sesuai dengan instruksi Angela dan disana dia langsung bertemu dengan Jason yang tampak lelah. "Kami mendapatan semuanya." "Thanks, Jazz." bisik Justin sambil menerima kantung berisi kunci-kunci itu. Dia mengangguk sekilas pada Jason sambil mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Angela. Gadis itu masih terus berbicara padanya, memberitahukannya mengenai jumlah penjaga yang harus dihadapi dan jalan mana saja yang harus dia ambil. Setelah sepuluh menit yang terasa sangat panjang berlalu, Justin akhirnya tiba di sebuah pintu itu. Pintu tanpa penjaga, namun sudah pasti dia akan memerlukan kunci-kunci yang telah dikumpulkan oleh Carl dan teman-teman mereka. Ada tiga lapis pintu yang harus dibuka dengan tiga kunci pertama, dan satu pintu yang harus dibuka dengan kunci berbentuk flat card . Sinar infrared memindai flat card tersebut, lantas beberapa detik kemudian pintu berdetak terbuka. Justin langsung menghambur masuk ke dalamnya, mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan dan matanya terhenti pada gadis itu. Pada gadis yang terbaring lemah dan pucat itu. Spring terikat di lantai dengan satu rantai yang mengunci kedua tangannya, dan satu rantai lainnya mengunci kakinya. Gadis itu nyaris terpejam, nyaris tidak sadar ketika Justin menghambur mendekatinya. Pria itu menarik kepala Spring mendekat padanya, berusaha menepuk pipi gadis itu dan menyadarkannya. "Spring? Spring? Kau bisa dengar aku?" Mata gadis itu mengerjap, kemudian terbuka dengan perlahan. "Justin... aku... rasanya... sakit..." dia berbisik, nyaris seperti merintih dan membuat Justin merasakan ulu hatinya nyeri begitu dia melihat kondisi gadis ini. Dengan cepat dia meraih dua kunci lainnya, membuka rantai yang membelenggu Spring kemudian mencoba membawanya keluar dari tempat itu. Pergi dari mansion itu. Pergi ke tempat yang aman. Namun jangankan untuk pergi dari sana, bahkan untuk menegakkan tubuhnya sendiri pun Spring benar-benar tidak sanggup. Gadis itu benar-benar lemah. Napasnya pendek, dan samar-samar Justin khawatir bahwa gadis itu akan meninggalkan. "Spring... Aku mohon, buka matamu. Spring! Bisakah kau membuka matamu!? Aku mohon..." Justin berbisik sambil menahan kepala gadis itu agar tetap bersandar di bahunya, namun tidak ada kemajuan yang berarti. Gadis itu masih terpejam, lemah dan pucat. Justin mengerutkan kening, berusaha berpikir akan apa yang harus dia lakukan, ketika pandangannya tertuju pada sebuah kotak yang tersegel tepat diatas satu-satunya meja yang berada di ruangan itu. Lalu pikirannya tertuju pada satu-satunya kunci yang tersisa padanya. Justin menarik napas, "Kau tidak akan pernah meninggalkanku. Kau tidak akan pernah merasakan sakit lagi, Spring. Aku berjanji." bisiknya sambil mengubur hidungnya dalam helaian rambut gadis itu. Lantas dia bangkit, menggesekkan satu-satunya flat card yang tersisa di tangannya. Kotak itu berdetak, lalu kuncinya terbuka. Tangan Justin terulur meraih apa yang berada dalam kotak itu dan menyadari bahwa isi dari jarum suntik itu adalah cairan Amfetamin. Amfetamin adalah stimulan yang bisa menghilangkan kantuk dan mengembalikan tenaga—dan bahkan rasa lapar. Efeknya tidak lama, namun cukup untuk beberapa jam. Justin mengernyit, kemudian melangkah mendekati Spring dan menyuntik gadis itu dengan cairan tersebut. Jemari Spring mencengkeram kemeja Justin erat-erat ketika rasa nyeri melanda tubuhnya saat cairan itu menekan masuk. Justin memejamkan mata, seakan dia ikut merasakan sakit yang dirasakan gadis itu, lantas tangannya menelusup ke dalam jemari Spring yang mencengkeram pakaiannya. Laki-laki itu menggenggam tangan Spring erat hingga seluruh cairan terinjeksikan dengan sempurna ke dalam tubuhnya. "Kau akan baik-baik saja. Aku berjanji." Justin berbisik, mengangkat dagu gadis tersebut agar Spring menatapnya. "Bagaimana jika aku... tidak bisa melakukannya?" Spring balik bertanya dengan suara parau. Cairan itu mulai bereaksi dalam tubuhnya. "Kau bisa melakukannya. Kau pasti bisa. Kau ingat, kau adalah gadis yang kuat. Gadis yang terlalu kuat hingga kau bahkan bisa mengalahkan aku. Kau bisa mengambil hati Zayn. Semua ini tidak ada artinya, Spring. Kita akan keluar dari sini, segera." "Bagaimana bila aku mati? Bagaimana bila kita tidak—" Mengikuti dorongan hati, Justin membungkuk, membungkam ucapan gadis itu dengan sebuah ciuman lantas menyudahinya dengan cepat dan mengecup pipinya dengan perlahan. Pipinya yang pucat dan sembab karena air mata. "Kau tidak akan mati, karena aku melarangnya." Justin menarik napas. "Bukankah itu terlalu cepat bila kau mati? Bagaimana dengan janji yang kau bilang akan kau tagih padaku? Kau tidak akan mati, karena aku melarangnya. Sekarang, bangunlah. Kita akan keluar dari tempat ini." Justin menyambung perkataannya, lantas pria itu membantu Spring bangkit dari lantai. Amfetamin itu benar-benar berhasil bekerja dengan baik karena sekarang Spring telah bisa berjalan sendiri. Mereka berdua saling menautkan tangan mereka, baru akan beranjak keluar dari ruangan itu ketika seseorang menjegal langkah mereka. Seseorang yang membuat Spring tersentak dan Justin terpana. Seseorang dengan rambut pirang yang kini menyeringai pada mereka. "Well, lama tidak bertemu, eh Justin?" tanya orang itu.

Stardust (Sequel of The Dust) by Renita NozariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang