--
"But this aint a fairytale. There's no forever happy ending in real life."
---
Langit biru adalah satu-satunya hal yang terlihat oleh Spring ketika dia mengerjapkan matanya. Apa yang terjadi? Seingatnya, dia tengah berada dalam dekapan lengan Justin, bukannya berada di tengah taman dengan langit biru dan siraman cahaya matahari. Gadis itu mengerjapkan matanya dan langsung merasakan napasnya yang berubah berat. Apakah dia bermimpi? Mungkin saja iya, karena ini semua terasa sangat janggal baginya. Spring menghela napas sepanjang yang dia bisa, dan tersentak begitu ada hembusan angin yang bertiup dengan demikian kencang ke arahnya. Lantas suara-suara yang tidak dia ketahui asalnya terdengar menggema di sekitarnya. Ada suara tawa seorang gadis. Lalu delikan mata yang dia kenali sebagai mata Casey. Lalu lensa mata biru Niall yang untuk sejenak membuatnya ingin menangis. Lalu ada mata itu. Sepasang mata cokelat madu yang menatap ke arahnya. Spring melangkah mendekati pria itu, dan baru mengulurkan satu jemari untuk menyentuhnya ketika mendadak Justin lenyap menjadi jutaan kepingan cahaya. Dia menghilang, dan langit biru di sekitarnya dengan cepat berubah jadi kelabu.
Ini adalah sesuatu yang buruk. Pikiran itu menelusup ke dalam benak Spring dan jika ini mimpi, dia berharap dia dapat segera terbangun. Gadis itu menengadahkan kepalanya ke langit, menatapi langit yang sepi yang perlahan namun pasti berganti warna menjadi cokelat gelap. Lalu kembali berubah jadi kelabu. Gradasi warnanya mengingatkan Spring pada Kitten Club tempat Justin pernah membawanya dulu. Lalu pemandangan di hadapannya berputar-putar tanpa alasan yang rasional dan menampilkan ruangan sebuah bar yang dia kenali. Itu adalah ruang café Burgundy tempatnya bernyanyi dengan Justin dulu. Dia melihat refleksi dirinya disana, namun tanpa Justin. Dia ada disana, di tengah keramaian café Burgundy, namun merasa sepi tanpa adanya Justin di dekatnya. Spring terperangah, kemudian telinganya menangkap suara tawa seorang perempuan dan samar suara gitar yang dipetik. Spring menjerit dan disaat itulah dia terbangun.
Gadis itu menggeliat dan merasakan keringat kini membanjiri sekujur tubuhnya. Matanya bergerak menelusuri ruangan tempatnya berbaring sekarang dan menyadari bahwa dia masih berada disini, di kamar Justin. Jadi semua itu hanya mimpi. Spring menghembuskan napas lega sambil menjulurkan tangan ke sisi ranjang untuk menyalakan lampu besar dan dalam sekejap suasana jadi terang benderang. Lamat-lamat suara petikan gitar itu masih terdengar dan mendadak Spring merasa haus. Semua mimpi itu—yang tampaknya hanyalah mimpi yang singkat—nyatanya membuatnya merasa lelah. Gadis itu bangkit dari ranjang dan berjalan keluar kamar.
Justin sedang duduk diatas sofa ruang tengah ketika dia keluar dari kamar. Pria itu duduk bersandar pada sofa, dengan gitar di pelukannya. Dia mengangkat wajah begitu melihat Spring dan tersenyum lebar. Jauh di dalam hatinya, Spring merasa lebih lega saat dia melihat Justin tersenyum padanya. Nah, satu bukti yang kuat kalau itu semua hanyalah mimpi yang tidak punya makna. Justin masih ada disini. Pria itu masih ada di dekatnya.
"Terbangun karena aku, sugar?" ujar pria itu. Spring menghela napas dalam dan mengusap keringatnya.
"Bad dream." gadis itu mengangkat bahu. "Aku hanya perlu segelas air."
Justin berhenti memetik gitar, dan kini menatap sepenuhnya pada Spring. "Mungkin segelas air tidak akan cukup. Kau bisa duduk sebentar disini sementara aku membuatkan sesuatu untukmu." Pria itu bangkit dari sofa dan melangkah mendahului Spring menuju dapur. Spring melenguh kemudian menuruti kata-kata Justin. Dia melangkah menuju sofa dan duduk diatasnya, kemudian menyalakan televisi yang ada di ruangan itu. Tapi percuma saja. Sekarang tengah malam. Satu-satunya acara televisi jam segini hanyalah saluran tv belanja dan opera sabun dengan adegan porno yang murahan. Jika saja manusia tidak perlu tidur sangat lama di malam hari, mungkin saja akan ada acara yang bagus. Spring mengeluh. Mungkin sebaiknya mereka mengganti opera sabun jelek itu dengan siaran ulang acara Grammy tahun ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stardust (Sequel of The Dust) by Renita Nozaria
Fiksi Penggemarthis story is NOT mine