Chapter 12

1.1K 63 0
                                    

---

"I'm gonna kill you... on my bed."

Spring Rutherford Point of View

Aku mengernyit ketika melihat ekspresi Justin begitu dia selesai bercakap-cakap dengan Carl. Ada apa? Apakah ada misi dadakan yang harus dia jalani dalam waktu—erm, kencan—kami sekarang? Jeez. Jika iya, aku pasti akan makin merasa tidak suka pada Carl dan kelompoknya. Juga Katrina, pacar cantiknya yang berbakat jadi pembohong itu. Mereka menyebalkan, dan entah mengapa aku menangkap kesan bahwa mereka hendak mengeksploitasi pacarku untuk kepentingan mereka. Astaga, tahan pikiran itu, Rutherford! Sebuah suara dalam kepalaku menyentak, memperingatkan betapa tidak terpujinya isi pikiranku. Katrina Sheenan sudah menyelamatkanmu saat kau terpojok di gang gelap bersama laki-laki brengsek itu tempo hari, bagaimana bisa kau mengatainya pembohong?! Batinku berteriak lagi. Sialan. Aku mendengus dan menampar pemikiran itu untuk pergi dari kepalaku. Sial. Apa yang kupikirkan?

"Aku harus berada di Stargreen Casino, lima belas menit dari sekarang." Jawabnya. Oh, bukan sebuah jawaban yang aku harapkan. Aku tidak tahu apakah perubahan ekspresiku tampak jelas, namun sepertinya iya karena kini Justin memandangku. Matanya menatapku dengan pendar lembut yang mampu membuatku meleleh ke dalam jutaan partikel kecil. Dia benar-benar punya mata yang indah dan pandangan yang menghipnotis.

"Oh, jangan pasang rengutan itu. Kau tahu kau jadi tampak seribu kali lipat lebih lucu daripada biasanya."

"Beraninya Carl Bernstein mengganggu acara pribadi kita." Aku menimpali, dengan nada kesal yang tidak bisa kusembunyikan. Justin terkekeh, kemudian dia bangkit dan mengulurkan tangannya padaku. Selama beberapa detik, aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia lakukan atau apapun yang berada di dalam kepalanya.

Justin mendengus, "Keberatan ikut dalam misi bersamaku?" Baiklah, aku nyaris tersedak sekarang. Apa maksudnya? Misi? Dengan kelompok Carl dan Justin? Maksudku, bukankah kelompok mereka sering sekali terlibat misi yang berbahaya—upaya peledakkan gedung Kanya dan pembunuhan Annelise Denton hanyalah satu dari sekian banyak misi berbahaya mereka. Dan Justin mengajakku turut serta? Holy hell, dia pasti sudah gila. Aku curiga kegilaan Mr. Bernstein sudah mulai menular pada Mr. Bieber-ku.

"Kupikir kau akan membiarkanku pulang sendirian sementara kau akan beraksi bersama kawan-kawanmu di Stargreen Casino. Sebenarnya apa yang akan kalian lakukan?" aku baru saja menaruh tanda tanya di akhir kalimatku ketika aku mendengar bunyi 'bip' singkat dari ponsel Justin. Pria itu mendesis, dan sambil setengah mengomel dia membuka pesan singkat yang masuk. Dari Carl Bernstein, dan Justin bergumam selama beberapa saat. Membaca pesan itu, kurasa. Selesai dengan pesan dari Carl Sialan Bernstein, Justin mengangkat wajahnya, mata cokelat madunya menusuk mataku yang gelap.

"Kita membuang waktu. Ayolah. Kita masih harus pergi ke gedung kosong yang berada di sebelah Stargreen." Justin menyentakkan tangannya, pertanda aku harus segera menggenggam tangan itu. Aku bangkit dari atas bangku taman, dan sambil membuang napas aku menyambut uluran tangan Justin. Tangan besar itu terasa hangat, dan langsung menggenggam jemariku erat dengan sikap protektif. Aku tertunduk dan sesuatu yang hangat terasa menyebar di bawah kulit pipiku. Aku berani bertaruh pipiku pasti merona merah sekarang. Ya ampun, kenapa selalu begini efek yang kudapatkan dari setiap sentuhan, tatapan ataupun ciuman yang diberikan oleh laki-laki di sebelahku? Seakan-akan sekujur tubuhnya dipenuhi listrik statis yang mampu mengirimkan desiran aneh ke sekujur tubuhku—terutama hatiku. Pria ini jelas sempurna. Bahkan terlalu sempurna buatku.

Justin mengajakku berlari menembus gelap malam. Udara yang dingin menampar pipiku, namun sekali lagi, genggaman Justin di tangan kananku seolah ampuh menghalau semua perasaan dingin itu. Dia berlari dengan santai, menyesuaikan kecepatan larinya dengan kecepatan lariku. Benar-benar pria yang penuh pengertian. Sambil berlari, aku bisa mendengar detak jantungnya, dan deru napasnya. Sial. Dia jadi tampak seperti Adonis yang tengah berburu bersama Artemis. Meskipun aku ragu apakah aku cukup menawan untuk bisa disamakan dengan Artemis.

Stardust (Sequel of The Dust) by Renita NozariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang