Chapter 27

820 53 0
                                    

---

Ruangan yang dindingnya dilapisi wallpaper warna merah cherry itu tampak tenang dan sunyi. Tidak ada satupun suara disana kecuali suara detik jam yang terus berbunyi, walaupun nampak sesosok perempuan paruh baya tengah duduk di sebuah kursi tepat membelakangi meja dalam ruangan tersebut. Christine Denton menghembuskan napas perlahan sambil mengedarkan mata melewati bingkai pigura demi pigura yang terpampang di dinding ruangan pribadinya yang indah. Pigura pertama adalah foto close up Leonard dan Annelise yang tersenyum lebar ketika mereka berdua masih balita. Pigura-pigura yang lainnya, kebanyakan juga menampilkan sosok yang sama. Sosok Leonard dan Annelise yang nampak semakin mendewasa dalam tiap fotonya. Lalu pandangan matanya tertumbuk pada foto di bingkai pigura yang terakhir. Foto mendiang suaminya. Foto sosok yang tewas dalam baku tembak bertahun-tahun lalu. Christine mengernyit ketika dia merasakan hunjaman rasa ngeri dalam dadanya. Sial. Dia tidak boleh menangis. Namun mengapa mengingat suaminya selalu membiaskan rasa perih dalam benaknya?

Lalu pintu ruangan itu terketuk dengan pelan. Christine mendengus, memutuskan membuka kotak rokoknya dan menyalakan benda itu tepat di celah bibirnya. Dia tidak mau kelihatan muram dan lemah ketika menemui siapa saja orang yang berada di balik pintu tersebut, meskipun dia tahu bahwa semua orang-orangnya menyaksikan bagaimana ekspresinya ketika dia mengetahui terjadi sesuatu yang buruk pada anak lelakinya, Leonard. Laki-laki itu mungkin nyaris mati tertimpa mobil mereka karena dongkrak yang selip jika saja dia tidak sempat menghindar. Jika saja dia tidak sempat menghindar...

Apa yang aku pikirkan?! Christine membatin dengan kasar.

Lalu ketukan terdengar kembali dari pintu. Christine menghembuskan asap rokok dari mulut dan hidungnya, kemudian dengan suaranya yang biasa—suara yang angkuh dan dingin—perempuan itu membentak siapapun yang ada di balik pintu untuk masuk ke dalam. Pintu terkuak dalam waktu sepersekian detik setelah Christine memberi izin untuk orang tersebut. Seorang pemuda berjaket hitam dengan kumis dan cambang yang tidak dicukur dengan rapi masuk ke dalam ruangan. Ada aroma vodka dalam napasnya, tapi intonasi bicara laki-laki itu cukup terjaga. Sepertinya dia tidak terlalu mabuk. Hal yang bagus, menurut Christine Denton. Dia tidak sudi berbicara dengan orang mabuk. Mereka seringkali mengucapkan kata-kata sinting.

"Jika kau datang kemari, itu artinya kau punya sesuatu untuk diberitahu kepadaku." Kata Christine. Suaranya dingin dan menusuk. "Apa itu? Kuharap itu adalah berita yang bagus." ujar perempuan itu setengah membentak.

Laki-laki itu menatap Christine dengan mata keabuannya dalam-dalam, lalu dia merogoh sakunya, mengeluarkan sekeping disket. "Aku sudah tahu mengenai sejarah masa lalu Saviano... Well, aku tidak mengira kalau dulu kau dan dia—"

"Kau mulai lancang." kata Christine. Bibirnya menekan ke dalam sebuah garis keras. Laki-laki itu menghentikan ucapannya dan mendorong sekeping disket itu diatas meja, mendekati siku Christine Denton.

"Aku menemukan siapa sesungguhnya puteri Michael Saviano yang hilang bertahun-tahun lalu. Aku tidak menyangka bahwa selama ini dia dekat. Sangat dekat malahan. Dia ada di kota ini, tinggal, beraktifitas dan hidup layaknya orang kebanyakan. Sepertinya insiden itu sama sekali tidak berbekas dalam memorinya." Pria itu bicara sementara Christine Denton menatapnya tanpa berkedip. "Dia memiliki rambut sewarna dengan rambutmu dan mata yang persis sama dengan mata Saviano."

Christine tercekat. "Apa. Maksudmu." Christine bicara, tapi ini bukan pertanyaan.

"Aku tahu siapa sesungguhnya puteri Michael Saviano yang hilang dalam insiden Roswell bertahun-tahun yang lalu." ujar laki-laki itu. "Tapi kau tidak bisa menyakitinya, karena selain dia adalah puteri Michael Saviano... dia juga adalah..." Laki-laki itu menghela napas panjang.

Stardust (Sequel of The Dust) by Renita NozariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang