CHAPTER 28

474 24 4
                                    

Disisi lain Alifah juga sedang berhadapan dengan keluarga nya. Lebih tepatnya sedang berhadapan dengan Khaliq, karena laki-laki itu berdiri di hadapan Alifah yang sedang menunduk. "Jadi? Bisa ceritakan cerita lengkap nya ke Abang?" tanya Khaliq dengan nada yang tidak bersahabat.

Alifah yang merasakan aura mencekam dari sang kakak dengan tidak sadar mencengkram gamisnya sendiri. "Gini ... Adek ceritakan ya." Khaliq hanya diam menunggu adiknya melanjutkan penjelasan nya.

"Saat itu, Adek sama yang lain lagi jalan, terus kedengeran obrolan mereka, awalnya kami diam aja, tapi makin di diamkan makin kurang ajar mulutnya. Makanya langsung aja tuh di labrak sama Hazia, mereka tuh langsung adu mulut, tapi tiba-tiba si cewek nya itu dorong Hazia, ya dibales dong sama Hazia, kita sebagai temen nya juga masa ngga bantu, ya kita bantu lah. Begitu ceritanya," jelas Alifah dengan panjang lebar.

Khaliq menghela nafas, Ia memijat kepalanya yang pusing. "Terus, kamu bangga sudah berantem begitu?" Alifah sontak menatap Khaliq.

"Maksudnya? Adek ngga ada bangga ya. Tapi emang nya salah kalau Adek bela temen adek?" tanya Alifah.

"Salah, karena kamu membela teman kamu sampai bertengkar. Memang nya apa yang mereka bilang kepada kalian?" Alifah diam, mulutnya keluh untuk menjawab, menurutnya semua perkataan dari para gadis itu tidak patut untuk di katakan.

Khaliq yang melihat adiknya diam mengerutkan dahi nya. "Kenapa diam?" Pertanyaan dari Khaliq sedikit membuat Alifah tersentak, karena sendari tadi Ia bertarung dengan pikiran nya sendiri.

"Kata-kata mereka tidak pantas di katakan, Bang," lirih Alifah. Khaliq menghela nafas, Aldan yang melihat Khaliq mulai panas langsung berdiri dan mendekati Alifah. "Dedek ikut Mas aja yuk? Kita keluar bentar"

"Aldan—"

"Ajak aja si Dedek keluar, Al. Abang disini aja, biarin dulu mereka pergi," potong Aksan saat Khaliq ingin mencegah Aldan.

Aldan mengangguk dan membawa Alifah keluar dari rumah. Meninggalkan, Khaliq, Aksan, dan kedua orang tua mereka. Khaliq duduk di sofa dan bersandar, Aksan yang melihat itu mendekati Khaliq. "Dinginkan kepala dulu, Bang. Kalau bicara sama Adek ngga bisa pakai emosi, kalau Abang emosi, si Dedek juga bisa emosi, dan akhirnya malah ngebuat masalah ini jadi besar," nasihat Aksan.

Khaliq hanya mengangguk. "Yang Abah dengar, para santriwati itu menyinggung soal Abah dan Umma, Abah baru dapat kabar dari Ayahnya Kenza," kata Adzam sebari menyimpan ponselnya.

"Mungkin itu juga yang membuat Dedek susah mengatakan apa saja yang dikatakan oleh santriwati itu," sambung Arsyila. Khaliq menghela nafas lagi, kemudian ia mengangguk pelan. "Baik, Abang paham," lirih Khaliq.

Di tempat lain, Alifah sedang berjalan bersama Aldan. Meskipun tertutupi cadar, bisa Aldan lihat mata Alifah yang memancarkan kekhawatiran. "Tenang aja Dedek. Nanti kalau bicara sama Abang lagi, Dedek tinggal kasih tahu yang jujur saja. Bilang apa yang di katakan oleh mereka, mengerti?"

"Mengerti, Mas. Tapi susah buat bilang nya, kayak ngga pantas aja gitu kata-katanya," kata Alifah pelan. "Iya, tapi bilang saja nanti ya? Biar Abang tahu juga apa yang para santriwati itu bilang ke Dedek."

Dengan lesu, Alifah menganggukkan kepalanya. Tidak lama dari itu, Aldan mendapatkan pesan dari sang Ayah yang menyuruh nya untuk pulang. Aldan memastikan apakah Khaliq sudah tenang atau belum kepada sang Ayah. Saat sudah diberitahu jika Khaliq sudah tenang, Aldan langsung menyimpan kembali ponselnya dan menggenggam tangan Alifah.

"Ayo kita pulang, nanti kamu bilang aja apa yang mereka bilang, mengerti?"

"Mengerti, Mas."

Di rumah, Khaliq dan yang lain menunggu kehadiran Aldan dan Alifah. Didalam hatinya, Khaliq bersyukur karena Aldan dengan sigap membawa Alifah pergi sebelum dirinya semakin panas. Mungkin karena hal ini juga Alifah lebih dekat dengan Aldan. Aldan lebih peka, dan memiliki kesabaran yang lebih dari dirinya.

"Assalamu'alaikum." Setelah menunggu cukup lama akhirnya Aldan datang dengan Alifah di sampingnya. Semua orang yang berada dirumah membalas salam tersebut.

Saat Alifah sudah duduk, mereka kembali mengobrol. Alifah menceritakan semuanya termasuk apa saja yang dikatakan oleh para santriwati tersebut. Khaliq mendengarkan tanpa menyela penjelasan dari Alifah sama sekali, sedangkan Aldan duduk disebelah Alifah untuk berjaga-jaga jikalau Khaliq mulai panas lagi, Ia akan menjaga Alifah.

"Begitu cerita lengkapnya, Bang. Aku emang salah karena sampe berantem gitu, tapi kan mereka yang mulai duluan." Aldan menggenggam tangan Alifah, jika tadi Khaliq yang mulai panas, sekarang Alifah.

Khaliq, Aksan, dan kedua orang tua mereka sudah tahu jika Alifah juga sudah mulai panas setelah menceritakan semua dengan lengkap. Khaliq berdiri, mendekati Alifah. Saat Aldan ingin meminta Khaliq menjauh, Khaliq lebih dulu duduk disamping lain Alifah dan memeluk adiknya tersebut. "Iya, Abang mengerti. Dikemudian hari jangan sampai bertengkar seperti itu lagi ya?" Alifah mengangguk saja tanpa mengeluarkan suara.

Aldan sendiri menjadi lega karena semua terselesaikan dengan damai. Memang cara melawan perempuan saat mereka sedang emosi adalah, dengan pelukan dan kata-kata lembut.

12 Mei, 2024
©PALEMBANG.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perjalanan Hijrah Cinta [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang