9 - Verona dan Kerajaan Aurum

252 17 0
                                    

Aku berdiri di atas karpet merah. Dinding putih-emas dan dipenuhi banyak lukisan. Tempat yang berbeda jauh dari Kastil Scarlette yang lebih kelabu.

Tidak ada Ignatius atau para vampir. Aku berada di tempat lain.

Aku menengok kaki dan tanganku yang tampak tembus pandang. Dewa-Dewi ingin aku mengubah sesuatu lagi. Sejujurnya aku mulai memahami bagaimana cara kerja kekuatanku dan masa depan yang muncul secara acak.

Sama halnya kala aku mengerti Dewa-Dewi ingin Ignatius memiliki umur panjang, sepertinya kali ini hal buruk akan terjadi lagi.

Aku pun mulai mencoba mendekati salah seorang pengawal di dekat pintu dan melambai-lambai.

Tidak ada respon.

"Ibunda ada di dalam?" Suara langkah kaki mendekat.

Aku menoleh ke belakang dan muncul seorang pria rambut pirang emas bermata biru. Garis wajahnya tampan dan memberi kesan sosok yang ramah.

Aku tidak mungkin tidak mengenalnya. Aku mungkin hanya pernah bertemu dengannya sekali saat kecil. Namun, wajah dewasanya tidak jauh berbeda.

Dia kakakku. Putra Mahkota Kerajaan Aurum. Altair William Aurum. Satu-satunya pewaris tahta yang diakui.

"Baginda Ratu tengah meminum teh dengan Tuan Putri Duke Flamel," ujar si pengawal.

Altair mendecak. "Wanita itu lagi-lagi." Pria itu menggeleng. "Biarkan aku masuk."

Tentu saja aku ikut mengekor di belakang Altair. Baik pengawal atau siapa pun tidak akan bisa menyadari keberadaanku.

Di dalam sudah ada dua wanita yang tengah menikmati waktu bersama cangkir teh dan beberapa biskuit.

Satu wanita yang lebih muda, membelalak saat melihat Altair muncul. Wanita itu berpaling dan menyembunyikan wajahnya dengan beberapa helai rambut coklatnya.

"Saya memberi salam kepada Baginda Ratu Aurum yang jelita." Altair hanya memberi salam kepada satu wanita lain yang lebih tua.

"Astaga, Altairku. Jangan menyanjungku lebih tinggi. Ibunda tidak ingin menjadi sosok ratu yang angkuh."

Melihat dari penampilannya, rambut pirang dan mata biru yang sama. Pastilah wanita itu Ibunda Altair. Baginda Ratu Aurum saat ini.

Camilla Estefa Aurum.

Seandainya aku bisa tertawa sekarang, melihat wanita yang selama ini menghantui mimpi buruk. Ternyata adalah sosok yang bisa menyayangi putranya sedemikian rupa.

Altair melirik wanita yang duduk di seberang Camilla. "Saya lihat Ibunda dan tunangan saya sibuk mengobrol. Apa saya boleh bergabung?"

Camilla mengangguk semangat dan mulai memberi isyarat pada pelayan di belakangnya. "Ah tentu saja. Altair bergabung di saat yang tepat. Tunanganmu, Cordellia baru saja menceritakan bagaimana keluh kesahnya saat melihat Altair memiliki hubungan spesial dengan Putri dari Count Evaness."

Wanita yang dipanggil Cordellia itu hanya mampu mengigit bibir.

Altair tertawa dan menggeleng. "Astaga, Cordellia. Bukankah kita sudah mendiskusikan hal ini berkali-kali? Statusku masih seorang Putra Mahkota. Aku diwajibkan memiliki hubungan baik dengan semua keluarga bangsawan tanpa terkecuali."

Kedua mata hijau Cordellia melotot. "Apa hubungan baik Yang Mulia maksud adalah dengan membawa wanita itu bercumbu di taman istana? Tepat di depan mataku? Di depan semua teman-temanku?"

Tangan Altair terkepal dan menggebrak meja. Camilla dengan sigap menahan tangan di dada putranya. Kali ini wanita itu yang berbicara, "Nona Cordellia Flamel, saya selaku Baginda Ratu meminta maaf atas perlakuan Putra Mahkota."

"Ibunda!!!" Altair menyahut tak setuju.

Camilla menarik napas dan memejamkan mata sebentar. "Namun, seperti yang kau tahu, Putra Mahkota masih belum bersikap dewasa kerana dia belum menikah secara resmi. Maka dari itu, akan lebih baik Nona Cordellia tutup mata dan mulut untuk saat ini. Putraku kan sudah berjanji akan setia sepenuhnya pada Nona Cordellia setelah kalian menikah."

"Anda juga memberitahu Baginda Ratu?" Cordellia menatap nanar pada sosok Altair yang sibuk sendiri menyesap cangkir tehnya.

Camilla mengangkat bahu dan berkata, "Aku tidak melihat ada yang salah. Sudah sepatutnya seorang anak lebih terbuka kepada orangtuanya sendiri. Yah, mungkin Putra Mahkota harus lebih memperhatikan privasi di istana."

"Privasi?!" Cordellia ternganga. "Yang Mulia, alih-alih privasi, moral Putra Mahkota lah yang harus diperbaiki!"

"Cordellia." Satu panggilan dingin itu seketika membungkam mulut semua orang. "Apa maksudmu Putraku tidak sempurna menjadi calon suamimu, begitu?"

"Bu-bukan begitu, Baginda. Saya ... saya hanya ...." Wanita itu mulai kebingungan dan kehabisan kata-kata.

"Apa?" Camilla memiringkan kepala. "Ayo, katakan lagi, Tuan Putri Cordellia."

Wanita menyebalkan ini ingin rasanya kutusuk bibirnya dengan garpu. Bisa-bisanya dia membela anaknya sendiri yang berselingkuh.

Sungguh malang, Cordellia.

Cordellia terpaksa menggeleng kemudian. Menahan kekesalannya dan berlindung dengan rasa takut.

Camilla mengetuk meja dengan telunjuk dan berkata, "Pada akhirnya Altair akan menjadi Raja dan Cordellia akan menjadi istri Putraku. Hal itu sudah pasti. Itu takdir. Tak ada seorangpun di Kerajaan ini yang bisa mengubah masa depan itu, Cordellia.

Lalu kenapa dengan Putri Count Evaness? Dia cantik. Keluarganya juga baik. Tentu saja Altairku tergoda, tetapi tidak mungkin dia akan menikahi gadis itu. Semua itu hanya hiburan sementara. Altair akan menjadi suami yang setia paadamu akhirnya. Apa penjelasanku salah?"

Kedua mata Cordellia berkaca-kaca. Pastilah hatinya sakit setelah ditusuk oleh calon ibu mertuanya sendiri. Namun, dia bisa apa? Cordellia sudah terlanjur menjadi tunangan Putra Mahkota.

"Saya mengerti, Baginda Ratu." Cordellia bersuara serak.

Altair yang dari tadi tak ikut andil dalam pembicaraan, akhirnya membuka suara. "Ibunda, orang itu mengirimkan surat. Baru saja sampai."

Wajah Camilla kembali cerah, tetapi dia kembali melirik sinis pada Cordellia yang masih duduk dengan tenang. "Tuan Putri, bisakah engkau memberi kami waktu berdua? Ada hal penting yang harus kubicarakan dengan anakku. Apa kau keberatan?"

Rahang Cordellia mengeras, tetapi dia memilih tersenyum. "Baik, Yang Mulia."

Wanita itu berdiri dan memberi salam hormat terakhir. Kala pintu ditutup, sosok Cordellia sudah menghilang.

"Ibunda." Altair mengeluarkan surat dari balik saku mantel putihnya.

Camilla mengambil surat tersebut dan membacanya dengan seksama. Mula-mula wajah beliau masih terjaga dengan senyum. Namun, perlahan-lahan dia mulai menahan kesal.

Hingga kemudian dia membaca lembar kedua, Baginda Ratu Camilla sudah kehilangan tali kekang kesabarannya. Amarahnya melewati pagar dan mengamukkan segala asa.

PRANGGGGG BRAKKKKK!!!!

Camilla mendorong segala peralatan minum teh jatuh dari meja.

Altair terperanjat dan heran melihat kali pertama sang ibunda menunjukkan warna aslinya. Camilla menggeram dan melempar cangkir tehnya ke lantai sampai hancur berkeping.

"Tidak mungkin ...." Camilla menggeleng.

Camilla meluncur menuju perapian, dia sudah meremas kertas yang ia baca sampai tak lagi berbentuk. Tangan kanannya sudah siap membuang kertas tersebut ke bara api.

"I-ibunda tolong hentikan!!!" Altair mencegah Ratu Camilla berbuat lebih jauh. "Kita sudah menduga kalau vampir kotor itu bisa saja lolos, ta-tapi---"

"APA KAU SUNGGUH SEBODOH ITU?!!" Camilla mendorong putranya hingga dia terjungkal ke lantai.

***

To be Continued

Langsung update 2 bab aja deh ya, karena lagi mood weekend ehehe

Scarlette Lips (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang