"Ayah, Tuan Flamel ingin menjenguk." Zester mengetuk pintu dan membukanya hingga berbunyi derit yang nyaring.
Sosok Ignatius hanya bergeming di kursi kulitnya. Dia mungkin sudah berdiam diri di tempat yang sama selama sebulan penuh. Tepat di saat jendela-jendela di kastil Scarlette mulai membeku.
Ignatius menanti dalam hening. Berharap pada bulan yang bisu.
Tak ada satupun yang berani berucap. Bahkan Geraldine saja memilih untuk mengerjakan tugas Ignatius yang menumpuk.
Sejak kehilangan budaknya dan pulang dengan tangan hampa, Ignatius sudah bukan dirinya lagi.
"Saya tidak yakin Ayahanda siap bertemu Anda, Tuan Flamel." Zester menggeleng sedih.
Matthias mengintip melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Dia mulai memperbaiki posisi kaca matanya dan memasang senyum ramah pada Zester.
"Jangan cemas. Saya hanya akan mengobrol dengan santai dengan Tuan Scarlette."
Meski tampak enggan, Zester tetap menuruti keinginan Matthias. Sudah sebulan berlalu sejak salju pertama turun di Scarlette. Selama itu pula, Ignatius memilih menghabiskan waktunya di kamar.
Tak berbicara dengan siapapun.
Tak melakukan apapun.Hanya duduk merenung memperhatikan bagaimana tanah Scarlette tertutupi oleh salju sepenuhnya.
***
Tanpa mengucapkan salam, Matthias melengok masuk begitu saja di kamar Ignatius.
Perlahan dia menghampiri kursi sang Tuan Vampir yang sudah menghadap jendela begitu lama.
Hingga akhirnya dia melihat wajah Ignatius di balik kursi, barulah Matthias mulai tersenyum. "Wajah Anda masih sama seperti malam itu. Sudah saya duga, tidak mungkin seorang Tuan Ignatius Scarlette berubah pria gila setelah ditinggal wanita."
Ignatius melirik Matthias sesaat dan mengangkat satu kakinya ke kursi. Tak peduli jika hal itu bukanlah tindakan yang sopan di depan seorang bangsawan terhormat. "Aku dengar Raja memecatmu dari ajudan Putra Mahkota."
Matthias terkekeh dan menarik kursi yang lebih kecil agar lebih dekat mengobrol dengan Ignatius. "Saya senang sekarang punya banyak waktu. Tapi racun yang saya tanam di taman Istana juga jadi tidak punya tujuan."
Ignatius memutar bola mata. "Aku juga bisa membuat racun sendiri."
Matthias mengangguk dan menyandarkan punggungnya ke kursi. "Kerajaan Aurum sudah tidak punya harapan. Saya kira pertemuan reuni antara Raja dan Tuan Putri akan menjadi solusi yang tepat. Namun, saya juga salah perhitungan.
Raja menjadi lebih emosional mengenai apapun tentang Nyonya Natalia Curtis. Yah, di masa mudanya beliau adalah cinta pertama raja. Melihat wajah Tuan Putri yang begitu mirip dengan Nyonya, ternyata akan membuka luka lama yang seharusnya tidak saya ganggu."
Ignatius menyisir rambut silvernya ke belakang kepala. "Aku juga bersalah. Aku kira, hati ini sudah mati dan tak mungkin merasakan apapun pada makhluk hidup manapun. Namun kehadiran Tuan Putri juga membuatku mengambil keputusan emosional.
Sejak Ratu mengancam hidupnya, Verona harus hidup sendiri. Baginda Raja adalah satu-satunya keluarga yang mungkin menyayangi Verona dengan tulus. Aku kira, Verona akan bahagia jika bertemu dengannya."
Matthias kemudian melanjutkan, "Dari berita saat ini, Tuan Putri sudah dibawa ke kuil untuk membuktikan darah kerajaannya. Meski tampak dari luar, Keluarga Kerajaan serta para bangsawan menyambut gembira."
"Bagaimana dengan pertunangan si tolol itu dengan Cordellia?" Ignatius balas bertanya.
Matthias memejamkan mata. "Berakhir dengan damai. Namun, Cordellia tahu pertunangan itu batal karena Putra Mahkota ingin menguasai kekuatan si Mata Emas. Adikku saat ini kesal setengah mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlette Lips (TAMAT)
Roman d'amour21+ Tuan Ignatius adalah pembunuh yang bertransmigrasi menjadi vampir di negara yang membenci ras vampir. Verona adalah budak bisu yang Ignatius beli saat dia bosan dan lapar. Bukannya merasa kenyang, Verona justru membawa badai kepada bangsa vampir...