40 - Verona dan Ciuman Tuan Scarlette Di Tanah Keabadian

131 15 5
                                    

"Kan ada prajurit! Membawa pedang pusaka! Hancurlah satu kota, oh lei oh lai oh Lord!" Seorang penyanyi bard entah dari mana sudah duduk di atas batu bersama teman-temannya.

Memetik gitar dan meniup suling. Aku dan Ibuku berputar dan berdendang dengan irama hingga rambut kamu mengibaskan angin.

Ya benar, aku dan Ibunda.

Almarhum Natalia Curtis.

"Oh lei oh lai oh Lord ~...." Ibunda bernyanyi dan menatapku penuh harap.

Aku tertawa dan menyahut nyaring dari paru-paruku. "Hancurlah satu kota! Oh lei oh lai oh Lord!!!"

Di tempat ini, aku bukan lagi Putri Eloise yang bisu. Aku bukan pula si Mata Emas yang diagungkan.

Di tempat ini ... aku kembali menjadi putri ibuku.

"Nona Eloise, Anda hebat!!!" Para gadis pelayan bersorak mengelilingi kami.

Para gadis pelayan yang kuingat tewas disabet dan tergeletak di lantai yang banjir darah. Di tempat ini justru mereka tertawa lepas dan ikut bernyanyi.

"Kan ada Penyair! Bersenjata kata-kata!" Si penyanyi kembali menyair. "Lidahnya membunuh kita, oh lei oh lai oh Lord!"

Pelayan kami pun menjawab, "Oh lei oh lai oh Lord! Lidahnya membunuh kita, oh lei oh lai oh Lord!"

Di tempat ini, aku tertawa. Aku berbicara. Aku merasa bahagia. Seolah tak pernah ada kejadian buruk di masa lalu.

Hanya ada Ibunda dan kami menari di taman. Lalu para pelayan kami yang setia menghibur pelipur lara.

Seolah dunia ini hanya milik kami. Seolah hanya ini kebahagiaan yang nyata.

Aku ... aku bahkan sudah lupa betapa menderitanya diriku setelah  tersesat di kota sebagai anak yatim setelah Ibunda meninggal dunia.

Ibunda memang berhasil menyelamatkanku dari para bandit bayaran Ratu. Namun, aku kesepian dan kelaparan.

Aku masih anak-anak. Umurku hanya delapan tahun dan aku mengeruk roti basi dari tempat sampah. Bekerja di kedai minuman alkohol sampai kakiku terkilir.

Lalu diculik oleh pedagang budak dan lidahku pun terpotong saat mencoba kabur.

Itu hidup yang penuh derita dan sekarang ... mungkin aku sudah berada di surga.

Tempat di mana segala kesedihan sirna dan aku bisa menari bebas bersama keluargaku yang telah meninggal dunia.

Ngomong-ngomong mengapa aku bisa secepat ini ke surga ya? Apa pedagang budak sudah cukup muak padaku dan lantas membunuhku?

Yah itu masuk akal.

Aku akhirnya mengerti apa masa depan yang ditunjukkan dewa-dewi. Saat aku berdiri di padang bunga. Tersenyum bahagia seperti sekarang.

Sesungguhnya itu adalah surga yang kuimpikan. Kematian yang indah. Tidak sakit. Dan pula melegakan.

Aku masih menggerakkan kaki dan berputar layaknya balerina handal. Mataku tertuju pada kelompok bard yang sungguh ahli memainkan musik. Tepat seperti yang kuingat dulu, di hari pesta rakyat. Langitnya gelap berbintang. Rumah-rumah dipasangi kelap-kelip sihir cahaya.

Lalu ada seseorang yang tak pernah melepas tanganku.

"Apa maksudnya lagu ini?" Seseorang berbisik di dalam kepalaku. "Mengapa mereka semua justru senang karena dibunuh?"

Sekujur tubuhku seketika berhenti. Tanpa sadar aku menyentuh dada sendiri dan merasakan nyeri tak tertahan di jantung ini. Mataku mengedar dan mencari wajah di antara semua orang yang kukenal.

Scarlette Lips (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang