Di masa depan yang jauh.
"Pulang." Sosok itu bersuara serak. "Verona, mari pulang bersamaku."
Setetes air mata jatuh di pipi Verona.
Hati Verona luluh lantak setelah mendengar suara itu kembali.
Dan mendengar suara Ignatius yang memanggilnya penuh kasih, bagai dirahmati air hujan setelah sekian lama padang pasir ini kering kerontang.
"Mereka mengancammu dengan apa sampai kau tidak berusaha kabur sama sekali? Bahkan saat aku bertemu denganmu dari pedagang budak, kau juga berusaha kabur.
Bahkan saat kau dibawa mereka, aku berusaha masuk ke istana berkali-kali meski tempat ini sudah dipasang sihir anti vampir. Aku berteriak memanggilmu seperti orang gila di depan Istana Palais.
Jadi kenapa ... kenapa sekarang kau memilih diam saat mereka menyiksamu, Verona? Aku mohon, kali ini saja .... Aku tidak akan meminta apapun lagi darimu. Aku sungguh tidak sanggup!"
Verona menggeleng dan menutup matanya yang basah dengan telapak tangan. Giginya bergemeretak kesal dan hanya dapat mengerang kesakitan tak berdaya.
"Aku mohon pulang bersamaku. Aku mohon. Aku mohon padamu, sayang. Pulang bersamaku ...." Ignatius kehabisan napas dan merangkul Verona yang menangis sesenggukan
Demi keabadian.
Untuk menjadi matahari di langit yang tak berwarna.
***
Pada mulanya ....Budak yang kuinginkan itu harus bersih. Bersih dari penyakit. Bersih dari segala kotoran.
Logikanya memangnya kau mau makan daging yang dipungut dari tanah?
Aku juga vampir yang memiliki harga diri.
"Budak ini kekurangannya hanyalah bisu, Tuanku. Kami terpaksa memotong lidahnya karena dia berusaha kabur." Si pedagang budak memasang senyum bisnis demi mencekik uang dari sang pelanggan seperti diriku.
"Bisu lebih bagus," jawabku tak acuh.
Memangnya siapa pula yang masih bernafsu makan jika daging di atas piring masih bisa berbicara?
"Ah, baiklah Tuanku." Si pedagang kali ini memasang wajah puas.
Aku mengikuti si pedagang budak menuju ruang tunggu di ujung lorong. Aku menguap menerima pasrah rasa kebosanan ini.
Tidak banyak hiburan di dunia ini untuk seorang vampir.
Seandainya ini adalah dunia yang kukenal, aku akan memutar lagu Taylor Swift dan menghabisi korbanku dengan rasa puas tak terhingga. Darah. Jeritan. Serta suara merdu penyanyi favoritku.
Kadang aku merindukan masa-masa saat aku masih manusia.
Seandainya aku tak mengalami kecelakaan.
Seandainya truk sialan itu tidak menabrak.Entah apa alasannya Tuhan di dunia ini memilih jiwa seorang pembunuh berantai untuk bereinkarnasi. Bukankah jiwa berdosa sepertiku tidak pantas?
Yah, pembunuh berantai hidup kembali menjadi vampir tidaklah buruk.
BUKKKK!!!
Sesosok jubah hitam menabrak bahu dan menghancurkan segala khayalan. Dari balik rambutku yang seputih bulan, tak tampak wajah orang tak tahu sopan santun ini.
Namun, sekujur tubuhku bergidik saat menangkap sekilat nyala mata kuningnya.
Mata merahku mulai menyala merasakan bahaya.
Lalu seketika padam saat aroma manis itu hinggap ke hidung.
Sensasi aneh yang menggelitik.
Aroma darah yang baru dan unik.
Seolah aku baru saja menemukan santapan paling nikmat.
"HEY!!!" Pedagang Budak berteriak. "Cepat minta maaf!!! Apa kau tidak kenal Tuan Ignatius Scarlette!!!"
Namun, alih-alih memohon ampun sosok jubah hitam itu justru berlari terbirit-birit. Meski si pedagang budak terus menjerit agar dia kembali.
Tak lama kemudian datanglah salah seorang pria berlari terengah-engah dari arah yang sama. Tepat di mana sosok jubah hitam sebelumnya muncul.
"Seorang budak telah kabur!!! Budak sialan itu kabur lagi!!!" ujarnya.
Aku menyeringai hingga deretan gigiku menampakkan taringnya.
Ah, dia ternyata budak.
Langkahku menyatu bersama angin. Aku tak lagi mengindahkan suara si pedagang budak yang panik.
Dalam sekejap, aku langsung keluar dari tempat perdagangan budak yang adalah kastil gelap di tengah hutan.
Aroma manis itu masih tertinggal. Aku menunduk dan jelas tampak tetesan darahnya.
Untunglah budak itu tengah terluka. Menemukannya pastilah mudah.
"Javier." Kusebut sebuah nama, dan dari balik pohon anak buahku yang setia itu menyeret seorang manusia yang sudah tak sadarkan diri.
(*Javier dibaca: Havier)
Senyum lebarku mekar saat mengenali aroma manis yang semakin mendekat.
Tak pernah rasanya sesenang ini membeli mainan baru.
Dengan wajah datar, Javier melempar sosok tersebut tepat di hadapanku.
Aku membungkuk dan mengibas tudung jubah hitam yang menutup wajah.
Siapa gerangan pemilik aroma darah yang memabukkan ini?
Bagaimana bisa sosok ini terjebak menjadi dagangan budak?
Aku ... ingin tahu.
"Tuan Scarlette?" Javier membuyarkan lamunan.
Tentu saja, siapapun akan tercengang melihat wajah budak ini. Seorang wanita. Raut wajahnya jelita. Garis wajahnya halus tak tercela. Tetapi ketakutan yang dia tunjukkan begitu nyata.
Takut dan berang di saat yang sama. Seakan dia bisa membakarku dalam api hanya dengan tatapannya.
Aku langsung merenggut dagu dan mencengkramnya hingga kuku hitamku menusuk. Si budak mengerang kesakitan.
Kedua mata hazelnya melotot.
Namun, bukan seperti kilat mata emas yang kusadari sebelumnya.
Di mana itu? Di mana tatapan membunuh yang sesaat dia perlihatkan?
Sialan, dia telah menjadi ombak yang mengamuk di dalam pikiranku.
Sungguh, budak sialan ini.
Dia bahkan belum melihat malaikat kematian dan sudah selancang ini.
Aku yakin pasti akan sulit menjinakkannya.
"Tu-Tuan Scarlette!!!" Pedagang Budak akhirnya keluar dan menghampiri.
Si pedagang tersentak saat melihat situasi. "Sa-saya minta ampun, Tuanku!!!" Dahinya jatuh ke tanah.
Aku sekarang senang sekali.
"Aku ingin membeli budak ini." Kulepas dagu si budak.
Berapapun harganya. Seberapa susah pun aku harus menjinakkannya.
Aku ... ingin memakan segala harapan, sifat kekanakkan, kepolosan atau kesucian yang dia miliki.
Aku menginginkan segala dirinya. Hingga akhirnya dia tahu betapa keji dunia ini saat dia hanya mampu mendesah di bawah kurunganku.
Budak ini harus menghiburku sampai mati.
***
To Be Continued
Selamat datang di karya baru Black December 🥰
11 April 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlette Lips (TAMAT)
Romance21+ Tuan Ignatius adalah pembunuh yang bertransmigrasi menjadi vampir di negara yang membenci ras vampir. Verona adalah budak bisu yang Ignatius beli saat dia bosan dan lapar. Bukannya merasa kenyang, Verona justru membawa badai kepada bangsa vampir...