7. The Kitchen We Won't Share

11.4K 1.2K 83
                                    

"Kamu inget nggak, Tik? Dulu, kamu selalu bilang pengin banget kerja di dapur bareng aku. Kamu handle dessert and baking-nya, aku di makanannya." Kian tiba-tiba berkata. Mata itu berbinar namun terasa menusuk Kartika. Mengoyak kesadarannya sang puan juga membuat dirinya tertampar.

Kartika hanya bisa tersenyum seraya memasang mixer-nya. Ia bahkan tak sanggup menanggapi. Perandaian itu sudah lama sekali. Ketika Kartika akhirnya memutuskan untuk keluar dari Macquarie dan mengambil jurusan pastry di Le Cordon Bleu, ketika ia masih punya optimisme terhadap hubungannya dengan lelaki di hadapannya, ketika angan hanya angan, sebelum realita menamparnya keras-keras.

Dulu, dulu sekali. Sekarang? Untuk membangun sebuah toko kue dan kafe saja, Kartika sudah kelimpungan. Dan tamparan paling keras adalah, laki-laki di depannya sudah bertunangan dengan perempuan lain. Tak tanggung-tanggung, seorang aktris!

Perempuan yang sangat berbeda dengan Kartika. Perempuan yang begitu cantik, jauh dari gapaiannya. Semua orang waras juga akan lebih memilih perempuan bernama Adrianna itu daripada Kartika.

Dilihat dari manapun, Adrianna begitu cantik. Tubuhnya ramping dengna wajah kecil namun tegas khas blasteran karena ada campuran darah Skotlandia dari ayahnya. Kalau saja Kartika punya penampilan seperti Gayatri, mungkin, Kartika bisa percaya diri untuk bersaing dengan Adrianna. Kenyataannya, tidak demikian. 

Tubuh Kartika memang tinggi, tetapi juga besar dan atletis akibat hobi renang yang dulu ia tekuni ketika masih SMA. Dengan pundak yang tegap, ia jadi lebih mirip satpam daripada model. Walaupun rajin berolahraga, bentuk tubuhnya memang tidak bisa diubah. Yang ada malah semakin kekar.

Kulitnya juga gelap akibat sering aktif olahraga dulu ketika SMA. Apalagi, ditambah wajahnya yang sering disebut masyarakat masa kini sebagai resting bitch face by default semakin membuatnya jadi terlihat menyeramkan dan sombong.

"Yah, Mas, itu kan udah lama banget!" Kartika mengibaskan tangan. "Sekarang aku aja struggling mau buka toko kue."

Kian tertawa. "Kamu itu anaknya Adhyaksa, loh!" Ia berucap cepat.

Kartika menghembuskan napas hingga poni di dahinya ikut terbang. "Hidup tidak semudah itu, Mas!"

"Jangan bilang, kamu masih idealis dan nggak mau minta uang sama Papamu, ya?" goda Kian.

Skakmat! Kartika memutar bola mata. Kian paling tahu ceritanya dibanding orang-orang lain. Jadi, buat apa dia bertanya lagi.

"Habis Keiku yang ada di gedung Adhyaksa Foundation tutup, aku nggak tahu mau cari tempat mana yang bisa nyewain aku dengan harga murah tapi traffic-nya tinggi. Sebenarnya, cita-citaku bikin cake shop gitu, sih. Bukan bakery, lebih ke arah kafe, lounge, tea room kayak TWG, gitu. Atau tempat nongkrong deh, tapi yang di-highlight ya kuenya, bukan kopinya." Kartika mengembuskan napas. "Tapi, ya, susah, ya. Apalagi sekarang, branding Keiku turun banget."

"Turun?" Dahi Kian berkerut.

"Iya, end customers udah berkurang. Sisa acara dan corporate event aja kayak gini. Sekali gebuk banyak, tapi kan nggak bisa tiap hari." Kartika mengeluh. "Nggak mungkin ada event setiap hari, kan?"

"Tapi, main gebuk gede gitu juga nguntungin, kan?" Kian berucap cepat. "I mean, malah, jauh lebih menguntungkan."

"Ya, sih." Kartika menghela napas. "Tapi..."

"Idealisme dan cita-cita penginnya punya kafe, ya?" potong Kian sambil tertawa.

Wajah Kartika memerah. Sejak dulu, cita-citanya memang punya restoran sendiri. Atau restoran bersama—bersama Kian. Bodoh! Mimpi macam apa itu?

Kian terlihat memain-mainkan jari jemarinya di atas table top. Ia memiringkan kepala sejenak. "Mungkin, kita bisa kerjasama, Tik."

"Hah?" Kartika menganga. Kerja sama?

"Ya, mungkin, kita bisa bikin collab. Kamu bisa buka menu collab di tempatku. Let's say, buat sebulan atau dua bulan. Atau yah, terserah. Kamu bisa bikin french dessert, toh? Atau kamu bisa masukin dessert apapun yang kamu mau." Tiba-tiba, usulan itu keluar begitu saja dari mulut Kian. "Sepertinya keren! Bikin pop up dan special menu buat periode tertentu."

"Hah?" Untuk kedua kalinya, Kartika hanya bisa seperti orang bodoh. Ia mengerti maksud kolaborasi yang Kian maksud. Praktek itu memang sudah lumrah sejak lama. Tetapi, rasanya, mendengar usulan itu keluar dari mulut Kian seperti sebuah mimpi yang tiba-tiba berubah jadi nyata. Aneh! Kartika butuh waktu untuk menyerap dan mencerna semua omongan Kian.

"Namaku bisa bawa branding yang bagus, loh!" Kian malah mempromosikan dirinya.

Kartika tahu. Ia tahu itu. Akibat semalam menguntit Kian di dunia maya, Kartika sudah tahu reputasi Kian. Berkolaborasi dengan Kian akan membawa nama baik.

"Mas!" Kartika buru-buru menggeleng. "Nggak ah, Mas... aku—"

"—Apa? Nggak enak? Sungkan?" tebak Kian cepat. "Kamu tuh selalu deh, Tik."

Kartika membulatkan mata. Menunggu Kian melanjutkan omongannya.

"Kalau orang bantuin, cukup bilang terima kasih." Kian berkata cepat. "Aku yakin, Atri pasti mau bantuin kamu juga. Tapi, kamu langsung nolak mentah-mentah."

Kartika menelan ludah. Omongan Kian memang benar adanya. Sudah tak terhitung berapa kali baik Dikta dan Gayatri bahkan Darma ingin meminjamkan dana sampai mengatas namakan investasi. Bahkan, sejujurnya, Aditya, ayahnya malah menawarkan penawarn ekstrim untuk memasukan Keiku ke dalam salah satu lini merek orisinil Adhyaksa, seperti DigiPro dan Tell Tales yang saat ini tengah dibangun Wira. Tetapi, Kartika tidak mau menerimanya sama sekali.

"Kadang, kamu nggak bisa selamanya berjalan sendirian, Tik. You need someone to help you and you need to trust someone to move forward." Kian berucap lagi. Kalimat itu menusuk Kartika. "Turunin egomu. Kita hidup bersama, nggak bisa cuma jalan sendiri-sendiri."

Kian menatap Kartika tajam-tajam. Ia mendekat, memengang dua belah pundak Kartika.

"Kalau penawaran itu nggak merugikan kamu, ambil. Apalagi, penawaran itu datang dari orang-orang yang benar-benar peduli sama kamu." Kian berkata lagi.

Peduli. Sesaat, Kartika menahan napas.

"Bukan begitu." Kartika menggelengkan kepalanya keras.

"Terus?"

Kartika tak bisa melanjutkan. Ia kelu. Rasanya, ada hal berat yang menggelayut di dadanya.

"Lagipula, kita jadi bisa ngewujudin mimpi kita dulu, kan, Tik?" Kian berkata lagi.

Mimpi kita? Kartika tercenung.

"Kerja bareng di dapur yang sama, bikin restoran bareng, ya, kan? That's our dream, kan?" ucap Kian.

Our dream. Mimpi kita. Kartika mengerjapkan matanya. Bukankah itu mimpinya seorang? Kenapa Kian ikut-ikutan bilang bahwa itu mimpinya juga?

"Seenggaknya, kita jadi bisa ngerasain walaupun nggak permanen dan mungkin, untuk ngewujudin permanennya nanti bisa butuh waktu lama, seenggaknya, we've tried." Kian masih terus nyerocos. "Our dream. To create a restaurant together, where we can share the kitchen and work side by side."

Kartika menahan napas. Kian tak perlu mengulangnya. Kartika tahu. Kartika masih mengingat semuanya dengan jelas. Setiap perandaian, setiap kalimat, setiap detil, semuanya!

Tawaran itu begitu menggiurkan. Tawaran itu seperti mimpi yang jadi nyata. Masalahnya, mimpi akan selalu menjadi mimpi dan... Kartika takut untuk terbangun dari mimpi itu.

Kartika berencana membuka mulut untuk menolak, namun suara ramai yang terdengar mendekat menandakan bahwa ada beberapa orang yang Kartika yakini sebagai kru dari Kian sudah datang.

Kian mengulum bibir sebelum kembali menepuk pundak Kartika. "Pikirin ya, Tik," ucapnya cepat sebelum para krunya sampai ke dapur.

Flavors UnboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang