Ada yang salah. Ketika Kian melihat Kartika menutup telinga sambil memejamkan mata dengan wajah takut, Kian tahu, ada yang salah. Perempuan itu seperti orang ketakutan dengan panik luar biasa lalu setelahnya ia jadi tantrum dan emosional.
Mata Kian membelalak ketika Kartika sudah berjalan menjauh. Serangan panik. Ia berjalan cepat ke arah Kartika. Apa tadi Kartika terkena serangan panik?
"Kamu ngapain ke sini?" Suara ketus Kartika terdengar lagi.
Kian mengerutkan dahi, pura-pura bodoh. "Aku kan juga ikut acaranya. Kalau kamu lupa, ini acaraku."
"Oh.. ya..." Kartika berucap dengan nada ketus sambil berjalan ke dalam ruangan.
Kian memerhatikan perempuan itu dari belakang. Lelaki itu tak melepaskan pandangannya barang sedetik pun. Gelagat Kartika aneh, ia terlihat khawatir.
Stefani menyambut mereka dengan senyum miring. Seolah-olah, perempuan satu itu tengah berasumsi yang tidak-tidak.
Kian memutar bola mata jengah. Ia melirik ke arah Diera. "Sudah mau mulai?"
"Ya, Chef."
Kian mengangguk tepat ketika seorang pembawa acara membuka sebelum memanggil Kian, Stefani dan Kartika ke atas panggung.
Lampu sorot dan kilat terus menerus menyoroti mereka. di sebelah kanannya, Kian bisa melihat Stefani dengan luwesnya menjelaskan terkait proyek yang akan berjalan. Sementeara, di sebelah kirinya, Kian menyaksikan Kartika yang tampak tidak tenang. Ia begitu gelisah. Duduk di ujung sebelah Kian dengan wajah pucat dan tangan yang bermain-main ketakutan.
Pemandangan itu begitu kontras. Tetapi, tak ada yang bisa dilakukan. Kian hanya bisa memastikan Kartika tak tiba-tiba sesak napas seperti tadi.
"Pertanyaan untuk Chef Kian, boleh dong Chef ceritain kenapa akhirnya setelah dua tahun baru ada acara seperti ini? Sebelumnya, Chef lain dari Royal Chef sudah lebih dulu melakukannya."
Sebuah pertanyaan muncul dari seorang wartawan.
Kian berdeham kaget. Ia berusaha menjaga sikapnya saat Stefani menyodorkan mikrofon untuk menjawab pertanyaan.
"Ya, itu..." Ia diam sejenak. "Itu karena saya dua tahun ini sedang fokus untuk pengembangan restoran saya sendiri. Jadi, saya belum ada waktu untuk pop up event ini. Kebetulan sekarang, Eclat jauh lebih firm. Jadi, saat ini, saya bisa untuk mengerjakan hal-hal semacam ini."
Wartawan-wartawan itu terlihat mengangguk-angguk. Seorang wartawan lain mengangkat tangan. "Saya mau bertanya, ini menjadi kejutan yang tidak terduga bahwa Chef Kian ternyata berteman baik dengan Mbak Tika yang merupakan anggota keluarga Adhyaksa. Kira-kira, bisa diceritakan bagaimana awal mula perkenalan Chef dan Mbak Tika juga perjalanan di sekolah masak?"
Kian melirik ke arah Kartika yang masih kikuk dan tersenyum lembut. "Kami teman sejak kecil, keluarga kami sudah mengenal satu sama lain," ceritanya. "Masakan-masakan yang nanti akan ada di acara adalah masakan yang saya dan Tika masak dan bagikan selama berkuliah di Australia. Kebanyakan lebih ke kenangan-kenangan kami. Ya, kan, Tik?"
Kartika tergagap. Ia buru-buru mengangguk kecil.
"Jadi, saya harap, teman-teman yang merasakan nanti bisa menikmati cerita perjalanan hidup kami sehingga jadi seperti sekarang ini." Kian berucap tenang.
Wartawan kembali kasak-kusuk. Sekilas, Kian melihat ke arah Kartika yang sedikit tidak nyaman.
"Jadi, hubungannya Chef dan Mbak Tika cuma teman saja?" tanya seorang wartawan lainnya. Dari penampilannya, ia tampak seperti wartawan infotainment.
Kian mengulum senyum. "Masih teman untuk sementara ini," ucap Kian begitu ambigu.
Kartika nyaris melotot. Ia menatap Kian dengan kaget.
"Pertanyaan untuk Mbak Kartika, saya kira-kira boleh tahu waktu itu Mbak Kartika mengambil jurusan apa di Sydney dan pengalaman di Australia terutama dunia kulinernya? Katanya, sama-sama mengenyam pendidikan di Le Cordon Bleu barang Chef Kian, ya?" Sebuah pertanyaan tiba-tiba terdengar.
Kian menengok ke arah Kartika yang tiba-tiba gugup. Perempuan itu mengangkat mikrofonnya, "Itu..." Ia terdiam sejenak. Pandangannya tiba-tiba kosong. Tangannya kaku di depan dada namun terlihat bergetar sementara lampu kilat memenuhi pandangannya. "Saya... Saya..."
"Kartika dulu ambil Diploma untuk pattiserie di Sydney." Kian menyelak. "Kalau saya ambil manajemen perhotelan dan Le Grande Diploma di bagian cuisine. Jadi, kami ini saling melengkapi gitu. Kebetulan kami juga satu tempat kerja yang sama, sama-sama di Aria."
"Lalu, kenapa sampai saat ini, Mbak Tika baru muncul lagi di dunia kuliner? Selama ini, kami mengenal Mbak Tika sebagai Brand Director di perusahaan Adhyaksa." Wartawan itu melanjutkan.
Napas Kartika terdengar semakin memburu dan Kian sadar akan hal itu. Lelaki itu diam-diam mengulurkan tangan. Ia mengambil tangan Kartika yang berada di bawah meja.
Ketika menyentuh tangan Kartika, Kian bisa merasakan tangan sang puan begitu dingin dan bergetar. Apa yang sebenarnya ada di dalam kepala Kartika? Rasanya, Kian ingin mengetahuinya.
Tetapi, tidak sekarang. Jadi, yang Kian bisa lakukan hanya menenangkan perempuan itu. Jari jemarinya menyusup ke antara sela jari Kartika dan menggenggamnya erat-erat.
"Tika selama ini punya bisnis kue bernama Keiku. Mungkin, tidak terlalu terdengar gaungnya karena bisnisnya masih UMKM dan Tika ngelakuinnya buat hobi. Makanya, dalam acara kali ini, saya pengin banget memperkenalkan bisnis Tika biar teman-teman bisa cobain. Saya yakin, kuenya enak banget!" Kian berucap dengan luwes, mempromosikan Keiku dengan begitu lancar.
"Apakah ada kemungkinan nantinya kue itu akan diproduksi di bawah naungan F&B group milik Adhyaksa?"
Kini, Kian menengok ke arah Kartika. Untuk pertanyaan satu ini, Kian tidak tahu jawabannya.
"Itu..." Kartika menggeleng pelan.
"Sepertinya tidak, ya, Tik?" Kian tersenyum kecil. Ibu jarinya masih membelai punggung tangan Kartika. Memberikan ketenangan.
Pertanyaan-pertanyaan kembali bergulir. Stefani dan Kian berusaha menjawab pertanyaan itu satu demi satu sementara Kartika hanya bisa mematung seperti orang bodoh di atas panggung.
"Terima kasih atas waktunya, sekarang sepertinya, semua sudah lapar, ya? Kalau begitu, kita bisa mencicipi nih, masakan yang telah dibuat langsung oleh Chef Kian dan Mbak Tika ya untuk acara nanti." Suara pembawa acara membuat Kian menghela napas.
Kian tersenyum kecil. Ia masih memegangi tangan Kartika erat-erat.
"Mas..." bisik Kartika.
Kian mengulum bibir. Dengan canggung, ia melepas pegangan tangannya sebelum Kartika berjalan melewatinya dengan gugup.
Sesi tanya jawab itu selesai dan dilanjutkan dengan makan malam yang menghadirkan menu-menu yang akan dihidangkan pada acara pop-up nanti. Kian dengan luwes berjalan ke setiap meja, menanyakan feedback dan masukan dari para wartawan yang mencoba, sementara, Kartika berdiri di belakang dengan gugup.
Kian melirik ke arah Kartika. Sesaat, pandangan mereka beradu. Wajah khawatir dan ketakutan itu masih terlihat jelas pada Kartika. Rasanya, menyedihkan. Apapun yang terjadi, Kian harus tahu penyebabnya. Apa yang menyebabkan perempuan yang ia sukai sejak kecil itu jadi ketakutan begitu? Kenapa ia bisa bertindak seperti itu?
Tetapi, tidak sekarang. Ia masih punya pekerjaan yang harus diurus. Pekerjaan yang membuat wajahnya kram karena harus tersenyum sepanjang malam dengan ramah ketika yang ingin Kian lakukan sekarang adalah menghambur ke arah Kartika dan meminta penjelasannya.
Kian hanya bisa menunggu. Menunggu sampai semuanya selesai. Dan Kian harap, Kartika mau untuk bercerita setelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flavors Unbound
RomanceFLAVORS UNBOUND is noun phrase refer to an exploration of diverse tastes, free from conventional limits, embodying creativity and the unrestricted potential for unique experiences. ADHYAKSA SERIES NO. 3 * Biarpun terlihat menyerah karena akhirnya...