Kartika melangkahkan kaki di hotel Fairmont sore ini. Dagunya sedikit terangkat saat sampai sebuah pintu kaca dengan tempelan Peacock Lounge di dinding sebelah pintu tersebut. Dari balik kaca itu, tampak ruangan dengan wallpaper yang didominasi warna hijau. Seorang pelayan wanita menyapa Kartika dengan ramah. Menanyakan jika Kartika sudah reservasi atau baru akan masuk.
"Tadi, teman saya sudah datang. Atas nama Vania," jawab Kartika cepat.
"Oh... Sebentar." Pelayan wanita itu melihat ke arah catatannya. Ia tersenyum kecil. "Oh, ya, mari Ibu, saya antar."
Kartika mengangguk sementara si pelayan wanita tersebut membawanya ke sebuah meja dengan wajah familiar yang sudah duduk di sana. Di mejanya tampak kue-kue cantik dan petite four yang begitu menggugah.
Sepanjang melangkah. Ia mendapati beberapa orang yang memandanginya. Apa ada yang salah dengan penampilannya? Ia meringis kecil meningkahi gugup.
Tubuhnya terbalut gaun bodycon off shoulder hitam dengan sepatu hak tinggi warna merah menyala, sangat sesuai dengan wajahnya yang terlihat dingin dan angkuh. Gaya rambut sleek wet look ponytail menampilkan tato di leher hingga pundaknya membuat auranya makin mencekam.
Mungkin seharusnya, ia mengenakan pakaian yang biasa saja. Tidak usah seheboh ini. Tetapi, Gayatri—kakaknya—dan Salsa—kakak ipar sekaligus personal publicist-nya—sudah mewanti-wanti mengenai penampilan yang harus ia kenakan. Buat mereka, sebagai seorang 'Adhyaksa', Kartika harus bisa berpenampilan yang layak.
Layak dalam artian bukan hanya lengkap dan bersih, tetapi juga memukau, menunjukan nilai-nilai dirinya. Layak. Bahkan kelayakan itu bukan standar bagi kebanyakan orang.
Berpenampilan 'layak' begini bukan hal baru untuk Kartika. Ia sudah melakoninya nyaris seumur hidup. Namun, timpang dengan kakak perempuannya yang menyukai fesyen, Kartika benci dengan semua keribetan ini. Buatnya, kenyamanan jauh lebih penting.
"Hai, Tik," sapa Vania ringan.
Kartika mengulum senyum. Ia meletakan tasnya.
"Makin hari, makin sosialita aja gaya lo," celetuk Vania lagi.
Kartika mendesis. Ia mengambil menu sesaat sebelum mendongak ke arah pelayan yang menungguinya. "One Silver Moon, thank you."
Pelayan itu mengangguk lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Kartika dan Vania di meja.
Sesaat setelahnya, perangai Kartika berubah. Wajah dingin itu hilang, berganti menjadi kerutan di dahi ketika melihat kue-kue yang ada di meja lalu menatap Vania dengan heran. "You order all of this?" Nada Kartika terdengar panik dengan suara berbisik. Ia menengok ke arah peti kecil yang berisikan aneka macam kue.
"Why?"
"Lo nggak lagi berencana bikin gue bangkrut, kan?" Kartika memutar bola mata sebal.
"Oh, come on! Lo Adhyaksa! Lo nggak akan bangkrut cuma karena pesen Afternoon Tea Set setengah juta, ya!" Vania menggeleng sambil terkekeh.
Kartika mendecih mendengar ucapan Vania. Kalau dia adalah Gayatri, kakaknya, mungkin, ia akan memesan menu yang sama. Tetapi, Kartika adalah Kartika. Setinggi apapun gajinya, ia sudah bersumpah untuk tidak meminta uang pada ayahnya. Itu berarti, akan ada banyak kebutuhan yang perlu dipenuhi. Mulai dari kebutuhan sehari-harinya sampai tabungan yang akan ia gunakan untuk membangun Keiku.
"Lagian, ini on me kok. Karena thanks to you and your sis, sekarang, banyak banget klien gue yang jedar-jeder!" ucap Vania kemudian.
Kepala Kartika menggeleng seraya tertawa kecil. Vania adalah pemilik event and wedding organizer serta teman semasa kuliahnya di Macquarie University dulu. Walaupun akhirnya Kartika memilih untuk banting setir dan masuk ke Le Cordon Bleu, Kartika tetap berteman dengan Vania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flavors Unbound
RomansaFLAVORS UNBOUND is noun phrase refer to an exploration of diverse tastes, free from conventional limits, embodying creativity and the unrestricted potential for unique experiences. ADHYAKSA SERIES NO. 3 * Biarpun terlihat menyerah karena akhirnya...