Rapat teknis itu ditutup setelah semua menyetujui hal-hal yang mereka anggap penting. Perjanjian kerjasama dengan Kian akan dikirimkan ke kantor Kreasa selaku perusahaan yang menaungi Kartika.
"Kalau ini sudah selesai, aku kayaknya udah harus pamitan dulu. Masih ada urusan sama anak-anak dan Darma." Salsa berucap sambil membereskan barang-barangnya.
Stefani tersenyum tipis. "Gue juga. Tuh, udah ada yang nungguin dari setadi." Ia menunjuk Wira dengan ujung dagunya.
Kelima orang itu berdiri dari meja. Salsa yang paling pertama melambaikan tangan untuk buru-buru pergi. Diera menyusul kemudian dengan menyatakan bahwa taksi online-nya sudah sampai. Sementara, Stefani langsung dihampiri Wira setelahnya.
Kian berdeham. Ia melihat Kartika yang sedikit kikuk. "Kamu habis ini, ke mana?" Sebelum Kartika sempat berpamitan, lelaki itu langsung menyela.
Kartika memiringkan kepala sebelum menggeleng pelan. "Ke apartemen, mungkin? Atau cari kafe lain? Atau ngetem di sini. Yah, di mana aja, deh. Mau kerjain kerjaan."
"Kerjaan?" Alis Kian bertaut. "Kerjaan apa?"
"Yah, banyak!" Tangan Kartika terkibas. "Mas Janu tahu sendiri kakak-kakakku sesinting apa, kan?"
Kian mengangguk-anggukan kepala. Ia terlihat masih kikuk.
"Mas Janu sendiri? Ke mana? Ke restoran?" tanya Kartika lagi.
Kian melirik ke arah arloji di pergelangan tangan kirinya lalu menggeleng. "Restoranku cuma buka satu sesi di dinner. Sekarang masih prep, tapi ada Eja."
"Kebiasaan deh apa-apa dititip Eja!" Kartika menggeleng tak percaya.
Kian mendesis. "Bedain antara titip karena nggak tanggung jawab dan titip karena aku percaya sama dia."
Lidah Kartika berdecak. "Bukannya Mas Janu di pernyataan pertama?"
Kian diam sejenak. Kalimat Kartika bernada biasa saja. Tetapi, terasa seperti tamparan yang tiba-tiba hadir dengan begitu keras. Ia berdengung kecil. Perasaan bersalah itu hadir lagi. Sebagai seorang koki yang masih muda, mencari pengalaman dengan berkeliling dan merantau adalah sebuah kesempatan yang harus diambil.
Tetapi, di sisi lain, kegiatan ini memberatkan hubungan mereka, juga membuat Kian tidak bisa melangkah. Ia khawatir akan hubungan jarak jauh apalagi untuk hubungan yang belum ada seumur jagung. Ia takut kalau malah mengekang Kartika semisalnya perempuan itu punya pilihan yang lebih baik.
Kini, Kian bertanya-tanya: Apa seharusnya ia tidak pergi? Apa seharusnya ia menolak tawaran pekerjaan di Paris saat itu? Apa seharusnya ia menemui Kartika dan menyatakan perasaannya serta memutuskan untuk settle dengannya tanpa pergi lagi?
Ia menepis pikiran itu jauh-jauh. "Ngomong-ngomong, aku belum nentuin menu yang terakhir karena, aku mau kamu yang nentuin."
"Hah?"
"As I said, the theme is walk down to memory lane. Jadi, gue butuh lo yang menentukan." Kian tersenyum yakin. "How about we go to my apartment right now and I'll cook for you to judge and for our lunch as well?"
Dahi Kartika berkerut. Ia tampak penasaran dan kebingungan.
Sementara, jantung Kian bertalu-talu. Ia menunggu dengan cemas. Dari sekian ribu hari yang pernah dilewati, untuk pertama kalinya, Kian memberanikan diri mengajak Kartika untuk ke sebuah hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
Dan Kian nyaris kehabisan napas, saat melihat Kartika mengangguk dengan senyum malu-malu.
"Kamu bawa mobil?" tanya Kian lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flavors Unbound
RomanceFLAVORS UNBOUND is noun phrase refer to an exploration of diverse tastes, free from conventional limits, embodying creativity and the unrestricted potential for unique experiences. ADHYAKSA SERIES NO. 3 * Biarpun terlihat menyerah karena akhirnya...