32. I Quit

7K 854 35
                                    

Siang ini, Kian masih sendirian di restoran. Absennya Kian selama beberapa hari membuat beberapa urusan administrasi atau tetek bengek lainnya seperti pemesanan bahan baku dan rekapitulasi penjualan terbengkalai.

Kian menesah pelan. Urusan-urusan ini seharusnya ditangani Adrianna yang memang menangani sisi bisnis sementara Kian mengerjakan sisi operasional. Tetapi, entah sejak kapan Adrianna lepas tangan dan Kian menangani seutuhnya. Kalau seperti ini, sebenarnya, restoran ini sudah seperti dikelola oleh Kian seorang diri, bukan?

Tangan Kian memijat pelipis saat ide untuk mendirikan restoran sendiri hinggap lagi. Semakin lama, ide yang dicetuskan Stefani itu semakin sering bercokol di benaknya. Ia merasa lelah dengan semua ini. Bekerja sama dengan Erick Frasser tidak lagi menguntungkan. Apalagi, Kian juga ikut mengerjakan pekerjaan Adrianna begini.

Kian menarik napas panjang. Diam-diam, ia membuka dokumen lain di laptopnya. Beberapa minggu terakhir ini, ia sudah membuat rencana bisnis untuk restorannya yang baru. Penghasilannya sebagai juri Royal Chef dan koki selebriti yang meliputi endorsement, brand ambassador, dan talent iklan sudah lebih dari cukup untuk memodali bisnisnya. Ia juga sempat berbicara terkait lokasi-lokasi strategis dengan Dikta dalam obrolan santai ketika kemarin mengajak Gayatri mencari gaun untuk Kartika.

Perlu Kian akui, Dikta is a genius. He is such a good  business plan-maker. Wajar kalau Kartika meminta bantuan lelaki tersebut dan Dikta jadi mengerti mengapa Gayatri jatuh cinta setengah mati dengan suaminya. Mengenal Gayatri sejak kecil membuat Kian tahu, walaupun Gayatri sangat mudah jatuh cinta, buat wanita itu, cowok paling seksi kalau otaknya pintar. Bukan hanya pintar dalam intelegensi tetapi seimbang dalam emosi dan adversity-nya.

"Janu! Woy!" Suara besar membuat Kian terlonjak.

Seorang lelaki masuk begitu saja, ia mengangkat alis dengan ekspresi tidak habis pikir. "Gue bilang ditembak yang proper kenapa malah ngelamar?" Suaranya terdengar bernada tinggi.

"Apa sih, Ja?" Kian mengibaskan tangan sambil masih mengerjakan daftar pembelanjaan bahan baku di kantor kecil yang mirip kubikel itu.

"Gila, ya?" Reza masih mengumpat. "Lo emang udah samperin bokap nyokap-nya? Bilang mau ngambil anaknya, gitu?"

Kian memutar bola mata. "Gimana, ya?"

"Janu? Gila?"

"Emang jaman minta-minta orangtuanya dulu gitu, ya?" tanya Kian lagi.

Reza menghela napas. Ia menggelengkan kepala dengan frustasi. "Ya itu, kan—"

Belum selesai Reza berbicara, suara nada dering memutus pembicaraannya. Kian mengerutkan dahi ketika nomor Stefani menghubunginya. Baru satu jam yang lalu ia mengunggah fotonya bersama Kartika, Instagram-nya langsung ramai. Dan Kian yakin, ada hubungannya antara unggahannya barusan dan panggilan yang dilayangkan Stefani.

Lelaki itu menghela napas.

"Stef? Kenapa? Soal posting-an? Lo kemarin udah oke, kan?" Kian langsung berucap sebelum Stefani sempat mengucapkan 'halo'. "Kenapa lagi sih—"

Suara helaan napas terdengar keras dari seberang langsung memotong omongan Kian. "Heh, dengerin gue dulu kalau ngomong, jangan asal nyerocos aja!" hardik Stefani sebal. "Udah cek Instagram mantan lo, belum?"

"Ad?" Kian bertanya seperti orang bodoh.

"Siapa lagi? Michelle?" Stefani menyebut nama perempuan yang pernah jadi mantan pacar Kian yang lain yang dipacarinya lima tahun lalu ketika tinggal di Australia.

"Gue block si Ad. Kenapa?"

Suara helaan terdengar lagi. Kali ini, bernada frustasi. "Buka blokirannya dan saksikan sendiri. Mantan lo kayaknya perlu bantuan khusus, deh! Dia nge-posting foto dia pakai bunga terus nulis Thank you, J. Pakai emoji cincin!"

Flavors UnboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang