[Aku double up, bisa cek part sebelumnya ya, mungkin belum kebaca]
Tika memutar bola mata. "Apa kata kamu?"
Aura semakin memanas. Tika bahkan beringsut beberapa sentimeter menjauh. Ia seolah tak ingin berada di dekat Kian.
Kian hanya mengulum senyum. Ia mengenal keluarga ini dengan baik untuk tahu apa-apa saja yang terjadi di balik penampang harmonis yang ditunjukan. Mereka memang saling menyayangi, hanya saja, caranya terlampau aneh.
Mengenal mereka semua juga membuat Kian sadar bahwa ada yang tak tampak dari permukaan. Semua orang melihat Gayatri adalah si pembangkang yang selalu membuat onar, lalu Kartika adalah si penurut yang pendiam, dan Ramdan adalah si paling easy-going yang manja. Tetapi, pada kenyataannya tidak demikian. Pasalnya, walaupun hubungan Aditya dan Gayatri terkesan seperti kucing dan tikus, hubungan Aditya dan Kartika seperti blok barat dan blok timur; perang dingin.
Kian sadar, sejak kecil, Kartika menganggap dirinya buangan. Ia merasa, orangtuanya tak ingin ia hadir.
Hidup dalam keluarga yang cukup patriarki, membuat semuanya berantakan. Lahirnya Gayatri yang seorang perempuan cukup membuat kecewa. Tetapi, kekecewaan itu berlipat kali ganda ketika menemukan bahwa anak keduanya alias Kartika juga perempuan.
Ketika Gayatri terus menerus diadu dengan Darma dan Ramdan dimanjakan dan diagungkan sebagai anak laki-laki bungsu yang akhirnya berhasil didapatkan lewat inseminasi buatan demi memenuhi ambisi, Kartika hanya sosok yang terasa janggal bersanding dalam keluarga itu. Dia pasif, tidak punya prestasi, tidak punya semangat, dan tidak punya gairah kehidupan.
Kian tidak tahu harus menyalahkan siapa. Ada yang bilang, rasa penolakan akan seorang anak sudah bisa dirasakan sejak dalam kandungan. Mungkin, orangtuanya yang secara tidak sadar menolak kehadirannya membuat Kartika jadi seperti itu. Entahlah!
Sebagaimanapun orangtua mereka menutupi ketidak adilan dalam keluarga itu, Kian masih bisa melihatnya dengan jelas. Saat orangtuanya membanggakan prestasi Gayatri dan Ramdan kepada seluruh tamu pesta, Kartika selalu terlewat. Tidak ada satu pun pujian yang pernah dilayangkan dari mulut mereka.
Jadi, Kian mengerti mengapa Kartika ingin keluar dari keluarganya. Dia tidak pernah dianggap, untuk apa juga memaksakan diri jadi bagian dari sana?
Dulu, ketika masih muda, Kian dengan berapi-api mendukung keputusan Kartika. Kini, ia rasa, ia tidak bisa berbuat demikian. He was immature and he admitted that it was a wrong-doing. Seharusnya, ia bisa membantu merekonsiliasi hubungan itu. Bukan malah melempar bensin dan membuat perang dingin itu jadi perang berapi-api.
"Papaku? Kamu bilang, apa?" Kartika mengulang pertanyaan.
Kian mengangkat tubuh menjadi tegak. Ia mencoba menetralkan emosi, membuat dirinya lebih tenang agar Kartika tidak tersinggung. "Tik... aku mau ngelamar kamu, masa aku nggak ijin sama Papamu?" Kian melipat tangan di dada.
"Kamu ngapain? Ngomong sama Papa?"
Kian mengangguk. "Aku minta nomor telepon Papamu, lalu karena Papamu ada di Singapura, jadi kami hanya bisa ngobrol via telepon. Aku bilang sama Papamu, aku mau lamar kamu, aku mau serius sama kamu." Lelaki itu berkata dengan tegas. Tidak ada keraguan di matanya.
"Mas?!" Kartika setengah memekik. Tidak, dia benar-benar memekik histeris.
"Aku nggak akan melamarmu kalau Papamu nggak setuju, Tika. So, it's a yes from him, but..." Kian menjeda ucapannya. Ia melihat reaksi Kartika.
"Let me guess, dia mau aku sekolah dulu?"
Kian menggeleng. "Nope," jawabnya yakin. "Nggak ada kata 'sekolah dulu' dalam pembicaraan kami."
"Lalu?"
"Dia menanyakan semua rencanaku. He demanded me to explain him what I want to do with my life and came up with all those plans on—and I quote—'cara menghidupi anak saya'. That how he referred it," kata Kian. "And I fully anticipated for it."
Ketika menghadap Aditya, Kian sudah meminta kisi-kisi dari Dikta. Sebuah cara agar tidak terjerembap ke lubang yang sama. Dari Dikta, Kian sedikit banyak tahu bahwa Aditya mencintai anak-anaknya terlepas bagaimanapun perlakuan yang ia tunjukan di luar. Dan Aditya akan selalu memastikan anaknya hidup baik-baik saja apapun yang terjadi; and Kartika includes.
"Dan semua pernyataan tadi, semua rencana tadi aku jabarkan ke Papamu. Well, he is such a good people to have a brainstorming session with, if I may added." Kian tersenyum lebar. "Like, a brainstorm buddy!"
Kartika memutar bola matanya. "Jadi kamu merundingkan rencana hidupmu sama Papa?"
"Boleh kubilang begitu," jawab Kian enteng. "The feasibility, potensi rencana, resiko, semuanya."
Kartika berdecak. Kian benar-benar bertindak di luar dugaan.
"Di sela pembicaraan itu, Om Adit nanya, apa aku pernah bertanya soal rencana hidupmu?"
Seketika, Kartika membeku.
"Dia bertanya, kira-kira, Kartika punya rencana hidup apa? Pernah di-intergrated, nggak? Dibicarain sama Tika? Dia menjabarkan soal statusmu yang sampai sekarang belum kuliah lagi, dia bilang soal kamu yang sepertinya nggak punya ambisi apapun selain Keiku. Mempertanyakan juga apa benar kamu memang passionate di Keiku atau cuma karena ingin melawan karena ketika dikasih kesempatan sekolah lagi di jurusan kuliner, kamu malah nolak." Kian mengulum bibir. "Dan aku juga jadi penasaran, apa rencana hidupmu?"
Kartika membeku. Ia kalut. Semuanya terasa runtuh.
Rencana hidup. Apa?
Apa rencana hidupnya?
"Alasan Papamu mengatur kamu lebih daripada anak-anak lain bukan karena kamu terlalu penurut tetapi karena kamu terasa nggak punya impian dan cita-cita. Mereka khawatir dan akhirnya menyiapkan segalanya buat kamu." Kian mencoba menjelaskan. "Dan kamu mengikutinya sampai kamu stress sendiri."
Kartika menggigit bibir bawahnya. Ia dari dulu tidak punya ambisi, makanya, ia mengikuti apa-apa saja yang ayah ibunya kehendaki.
Sejak dulu, Kartika tidak tahu mau dibawa ke mana tujuan hidupnya itu. Semuanya terasa gamang. Ia hanya mengikuti arus.
Ketika memutuskan untuk keluar dari Macquarie dan pindah haluan mengambil Diploma of Pattiserie di Le Cordon Bleu, sejujurnya, itu pertama kalinya ia memutuskan sesuatu yang besar dalam hidup. Dan sekarang, ketika ayahnya malah menyuruhnya kembali melanjutkan sekolah, Kartika malah menolak karena merasa seperti diatur-atur kembali.
"Tik, aku mau menikahi kamu, artinya, rencanaku harus sejalan dengan rencanamu. Aku harus tahu kamu mau berbuat apa dalam hidupmu." Kian berkata lembut. "Aku nggak mau jadi Papa Aditya 2.0. yang serta merta memaksamu buat melakukan ini itu."
"Mas, kamu bukan Papa."
"Ya, aku bukan Papamu, tapi aku bisa jadi Papamu versi kedua kalau kamu nggak tahu apa yang kamu mau." Kian mengulurkan tangan. Menyisikan rambut Kartika ke belakang telinga. "Sekarang, kamu merasa rencanaku bagus karena mungkin, kamu jatuh cinta dan sedang berbunga-bunga. Suatu hari nanti, ya, aku nggak tahu. Bisa saja kamu menyesal karena tetap mau menikah cepat dan nggak bisa melanjutkan sekolahmu. Atau menyesal karena kamu membuang perusahaan itu, atau..."
"Mas, kamu tahu aku nggak akan menyesal," potong Kartika. "Selama bersama kamu."
Kian menggeleng. "Kartika, jangan begitu." Ia berucap lembut. "Listen to me..." Lelaki itu memegang dua belah pundak Kartika. "I want you to come up with your life's plan. Apa yang kamu mau dalam hidup kamu, lalu kita diskusi sama-sama. I don't mind to wait if you want to continue your study, or if you want to marry me while still pursuing your study, or if you want to do this or that or whatsoever, aku cuma mau kita saling mengerti apa yang kita mau dan saling berkompromi. Aku nggak mau kamu cuma ikut rencanaku karena nanti akhirnya, aku cuma akan menyetir kamu. Dan kamu tahu apa yang terjadi setelahnya?"
Kartika mengerutkan dahi.
"Boom! You will get burnout and freak out, again." Kian menyungging senyum. "And that's the last thing I want it from you."
"For me to get burnout?"
"For you to leave me because of it."
KAMU SEDANG MEMBACA
Flavors Unbound
RomanceFLAVORS UNBOUND is noun phrase refer to an exploration of diverse tastes, free from conventional limits, embodying creativity and the unrestricted potential for unique experiences. ADHYAKSA SERIES NO. 3 * Biarpun terlihat menyerah karena akhirnya...