37. One Down

8.4K 1K 22
                                        

Kian tak menyangka Erick Frasser, ayah dari Adrianna sekaligus partner dan mantan bosnya datang ke Indonesia lebih cepat dari yang seharusnya. Oh, tidak, seharusnya Kian sudah sadar. Adrianna pasti sudah mengadu pada ayahnya itu.

Dan kali ini, Kian duduk berhadapan dengan Erick di sebuah kafe di bilangan Senopati. Tak ada kata yang terucap dari bibir keduanya setelah sapaan dan memesan kopi untuk masing-masing. Rasanya, mereka menunggu untuk menjatuhkan bom untuk satu sama lain.

"Saya dengar, kamu keluar dari Eclat." Tanpa basa-basi, Erick akhirnya berucap.

Kian mengulum bibir, kembali menyesap cappucino-nya sebelum meletakan cangkir dan berdeham  pelan. "Ya, saya memutuskan untuk keluar."

Pasca pertengkarannya dengan Adrianna, Kian belum datang lagi ke restoran. Reza dengan sebalnya mengirimi pesan berkali-kali dengan sederet sumpah serapah. Kata Reza, Adrianna mengacau dengan tidak melakukan apapun.

Well, Adrianna memang tidak pernah melakukan apapun dan Kian lelah menjadi safety net untuk perempuan satu itu.

"Saya dengar, kamu juga... putus dengan Adrianna?" lanjut Erick lagi.

Kian tersenyum kecil. Ia mengambil napas. "Saya sejak awal sudah ingin putus dengan Adrianna. Bapak seharusnya paling tahu hal itu."

Dahi Erick berkerut. Ia bersikap pura-pura kaget.

"Saya ingin putus karena Adrianna selingkuh. Dan sebelum Bapak menuding saya sudah tidur dengan Adrianna, Adrianna sendiri sudah tidur dengan banyak laki-laki sebelum saya. Well, I didn't mind her past, sampai selingkuhannya datang dan berkata bahwa ia juga tidur dengan Adrianna." Kian melipat tangan di dada. "Adrianna mengaku hanya ciuman, dan saya pikir, saya bisa memaafkannya, tetapi kalau sampai melakukan hal seperti itu..."

Kian tak perlu melanjutkan omongannya. Ia bisa melihat wajah kaget Erick.

"Saya nggak tahu kebenarannya, saya juga nggak mau tahu, setelah saya pikir-pikir, saya merasa kepercayaan saya sudah hilang pada Adrianna. Rasanya tidak sama. Saya rasa, Bapak mengerti maksud saya, bukan? It's not feel the same way it used to be." Kian menerawang. "I was not like head over heels towards Ad. Perasaan saya lebih ke arah... care? Or maybe she just resembled someone that I know has the same issue." Lelaki itu memiringkan kepalanya. "Saya nggak mengerti bagaimana mendefinisikan perasaan saya itu. I'm sorry."

Erick mendengarkannya dengan saksama. Ia terlihat tenang dan Kian tidak tahu apakah lelaki di hadapannya itu benar-benar tenang atau hanya menjaga emosinya. Kian mengenal Erick sejak lama sebagai pimpinannya. Dan Erick memang selalu dikenal sebagai orang yang diam-diam menghanyutkan.

"Ketika Adrianna menghancurkan kepercayaan saya, saya merasa kehilangan alasan untuk bertahan. So, I decided break up this relationship, but your daughter did not make it easy for me, and the rest is history." Kian mengambil napas. " I cannot continue this kind of relationship with your daughter. I'm so sorry, but we are different in every single aspect possible. We don't share the same dreams or visions or anything. Every single second that we have been through seems to show me that we are not meant to be together."

Erick masih terlihat diam. Ia mengulum bibir.

"Saya sudah menjelaskan duduk perkara ini kepada orangtua saya. Mereka menghargai keputusan saya. Saya harap Bapak juga demikian. Saya nggak yakin bisa melanjutkan pertunangan atau rencana pernikahan ini karena sejak awal, perasaan itu sudah mati." Kian berucap pelan. "Saya minta maaf."

Erick diam. Ia memiringkan kepala. "Then, why you also quit on L'Eclat De Saveurs as well? I mean, right, you are having personal issue with Adrianna but you need to keep your professional ethic, right?"

Kian menarik napas. Ia berusaha untuk tetap tenang. "I do, but my partner don't." Kian mengulum bibir sejenak. "She has almost never shown up at the restaurant, always claiming to be busy with this and that. I back her up for every single job that is actually hers, from logistics and people management to marketing, the business side, and everything in between, all while juggling my own responsibilities in restaurant operations."

Raut Erick tampak kaget dan Kian sudah menduga itu terjadi. Yang Erick tahu, semua itu pekerjaan anaknya.

"The restaurant almost went bankrupt back then in its second year. If it weren't for my friend who offered me a job as a judge in Royal Chef, I don't think the restaurant would have survived this far." Kian melanjutkan. "Adrianna did nothing. She didn't even post about our restaurant on any of her social media. She said that her management advised her not to. Jadi, yah, saya rasa, saya sudah lelah bermain-main dengan semua ini. Sudah hampir empat tahun restoran ini berjalan, dan saya sudah nggak bisa mentoleransi semua ini."

Erick diam. Ia tampak berpikir. "Kalau memang masalahmu ada di Adrianna yang memang ternyata tidak becus menjalankan pekerjaannya, I could hire you professional management team." Erick mencoba membujuk. "Saya rasa, kamu tetap bisa melanjutkan restoran kita."

Restoran kita. Kian mengambil napas. Ia tersenyum getir. "Pak, Thank you, but I know from the start that this restaurant is actually yours, even though you gave me the freedom to make it whatever I want."

"I invested my money to you, so it's also yours as well, Kian."

Kian menggeleng. "I just work there as executive chef, I don't even get the profit sharing or whatever it is."

"Jadi, kamu mau pembagian laba?" tembak Erick begitu saja. "Bukankah perjanjian kita adalah kamu mendapatkan fix amount salary?"

Kian memiringkan kepala dan meringis sebelum menggeleng. "The fix amount salary indicates the terms of me working as your exectuive chef, right?" balasnya. "Lagipula, saya mau keluar. Saya benar-benar mau membuat restoran dari nol, ditambah dengan pekerjaan Adrianna yang ditumpakan ke saya, saya khawatir tidak bisa mengatur waktu untuk dua restoran sekaligus. Apalagi saya rasa, Bapak tahu kalau mengurus restoran baru itu tidak mudah."

Erick mendesah keras-keras. Kian adalah koki yang berbakat. Bukan hanya dalam bidang memasak tetapi juga dalam etos kerja dan kemampuan manajemennya. Erick tahu latar belakang keluarganya bukan sembarangan dan itu yang membuatnya menjadi lebih hebat. Tetapi, Erick tak menyangka bahwa Kian akan secepat ini lepas dari tangannya.

"I learned from you a lot and I am grateful for that, I really do. Tetapi, mungkin, ini saatnya saya keluar dari zona nyaman saya sendiri." Kian berkata lagi. "I want to chase my dream. Sesuatu yang saya sudah mimpikan sejak lama sekali."

"Mimpimu? Membangun restoran?"

Dagu Kian terangguk.

"Saya memberikan kamu uang untuk membangun restoran dan kamu menolak, lalu sekarang, kamu mau membangun restoran lagi. Saya nggak mengerti." Erick memicingkan mata.

Kian tersenyum kecil. Ia mengambil napas. "I want to build my own restaurant with someone I love the most and share the same dream with me," tegas Kian mantap. "The one that we can call our own."

Erick mendengkus kecil. Ia terlihat tidak terima, tetapi tidak bisa menolak juga. "Baik kalau begitu, tetapi, saya harap kamu bisa menunggu satu atau dua bulan lagi. Kami butuh cari penggantimu."

"Bapak bisa angkat Reza. He is more than capable to manage a restaurant and become executive chef," usul Kian.

Erick memejamkan mata sejenak sambil mengambil napas. "Masalahnya, Reza juga mengajukan surat pengunduran dirinya tadi pagi."

"Hah?"

Flavors UnboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang