25. Not So New Life

8.3K 984 75
                                    

Kartika mengucek mata ketika ponselnya berdering. Ini masih terlalu pagi untuk Kartika walaupun matahari sudah lumayan tinggi. Rasanya ingin mengutuk siapapun yang menelepon sebelum kemudian senyum lebar tampak dari wajahnya. Hilang sudah semua kekesalannya ketika melihat nama penelepon di layar.

"Mas Janu?" panggil Kartika buru-buru. Ia mencoba meredam rasa gembiranya yang membuncah. 

"Kamu baru bangun? Aku di depan pintu apartemenmu." Suara itu begitu lembut seperti permen kapas yang meleleh di mulut. Tapi sialnya, Kartika nyaris jantungan mendengar kalimat yang terlontar itu.

"HAH?"

Kartika buru-buru melompat dari kasur. Ia menatap ke arah cermin, memerhatikan dirinya sendiri dengan  buru-buru. Ke kamar mandi, ia buru-buru menyikat gigi dan mengambil kunciran lalu menguncir rambut pendeknya asal sebelum berlari cepat ke depan pintu.

Dari lubang intip, ia bisa melihat Kian yang berdiri santai dengan paper bag di tangan. Apapun yang berada di dalam sana, Kartika bisa menebak bahwa isinya pasti menggiurkan.

Kartika membuka pintu dan mendapati Kian di baliknya. Wajah dengan senyum secerah mentari itu masih membuat Kartika berdegup kencang. Padahal mereka sudah mengenal lama. Mungkin, karena umur pacaran mereka baru tiga minggu—jalan empat.

Bersama Kian terasa aneh dan gamang. Rasanya seperti mendapatkan sesuatu yang sudah lama dinantikan. Menyenangkan namun juga menakutkan. Bagaimana kalau suatu hari Kian akan dibawa pergi lagi?

"Kamu bengongin apa sih, Sayang?"

Sayang.

Sayang.

Sayang.

Mendengarnya membuat Kartika menahan napas. Ia mengerjapkan mata. Tidak percaya bahwa lelaki bernama Kianjanu itu adalah pacarnya. 

Pacar! Ya, Tuhan. PACAR! Pacar yang memanggilnya dengan sebutan 'sayang'!

"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Kian lagi. Ia meletakan paper bag-nya di atas meja makan. "Bengong aja begitu?"

Kartika menggeleng pelan. Ia melirik ke arah jam dinding. Waktu mereka tak banyak. Sebagai chef yang bekerja di restoran, Kian harus bekerja nyaris setiap hari. Waktu kosongnya hanya pagi hari. Siang menjelang sore, ia sudah harus ke restoran untuk mengurusi segala persiapan lalu pulang malam hari sekitar jam sebelas atau dua belas. 

Dinamika itu menyebabkan perbedaan yang cukup signifikan. Kartika tak bisa berpacaran seperti orang normal lainnya. Apa itu pergi malam minggu? Malam minggu adalah waktu paling prime untuk restoran. Jangan harap Kartika bisa pergi dengan Kian untuk menonton film atau  seperti Dikta dan Gayatri yang bisa menghabiskan waktu mereka sepanjang akhir pekan di apartemen sambil maksiat.

Kartika ingat betul, dulu, Gayatri menempati unit seberangnya.  Apartemen ini adalah satu-satunya properti yang ia terima dari ayahnya walaupun ia berjanji akan membayar setiap bulan seperti menyewa pada umumnya—dan sampai detik ini masih membayarnya. Jadi, bisa dibayangkan bukan seperti apa rasanya melihat dua orang pacaran di depan matanya, kan? 

Kadang, Kartika suka memergoki Dikta telanjang dada dengan boxer mengambil antaran makanan di depan pintu. Kadang, kalau melewati lorong di akhir pekan, Kartika bisa mendengar suara teriakan Gayatri yang seperti diberi pengeras suara. Sampai Kartika berpikir, mereka yang mainnya seperti orang gila atau memang temboknya tipis, sih?

"Tika?" panggil Kian. "Kartika..."

Kartika menggeleng pelan. Ia buru-buru tersadar. Kakinya melangkah ke arah meja makan tersebut. "Kamu bawa makanan apa, Mas?"

Flavors UnboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang