36. Pizza Talk

10.7K 962 15
                                        

[Ini sayang dibuang, tapi cuma ngomongin pizza haha]

Kian keluar dari kamar mandi dengan tubuh terbalut celana basket di atas lutut dan kaos usang. Handuk masih berada di atas kepalanya. Selepas insiden tumpahnya adonan tepung basah tadi, semuanya buyar. Mereka buru-buru membersihkan lantai dan setelahnya, Kartika pergi ke kamar lain di apartemen itu untuk mengambil pakaian dan celana ganti. Kata Kartika, milik Ramdan.

Kian tidak mengerti, kenapa Ramdan bisa menempati kamar di apartemen itu. Tetapi, ia tidak ingin banyak bertanya dan belum punya kesempatan bertanya akibat Kartika yang buru-buru membersihkan diri sesudahnya.

Suara telepon interkom membuat Kian terkesiap. Ia mengangkat gagang telepon itu dan menemukan suara lelaki berat dari seberang. "Permisi, ini ada antaran makanan untuk unit 12-C-3."

Kian menggumam pelan. "Oh, ya, sebentar, saya turun ke lobi."

Kartika sepertinya sudah memesan makanan via aplikasi, jadinya ia tinggal mengambil makanan di bawah. Lelaki itu menengok ke arah sebuah kertas struk usang di atas meja, mengambil bolpoin untuk menuliskan bahwa dirinya turun sebentar sebelum menjepit kertas itu dengan magnet kulkas.

Kian melangkah ke arah lift menuju lobi dan terkesiap melihat seorang pengantar menjinjing sekotak besar pizza dengan dua kotak pasta dan sebotol soda. Lelaki itu mengerenyit namun tetap menerimanya sebelum kembali ke unit dan mendapati Kartika yang membaca tulisannya.

Lelaki itu menelan ludah sejenak. Di hadapannya, tampak Kartika yang mengenakan tanktop satin warna gading dan celana pendek rumahan sepaha. Ya, Tuhan! Bisakah Kartika berhenti menggoda? Kian ingin menempeleng dirinya sendiri. Merasa otaknya begitu kotor dan gila. Dia seharusnya menghargai Kartika, bukan malah berpikir tidak senonoh begitu!

"Kamu old-school banget." Begitu tanggapan kartika sambil mengacungkan kertas yang ia ambil dari kulkas. "Padahal, kamu bisa chat aku loh."

Kian memutar bola mata. Ia berjalan ke arah meja makan sambil mencoba mengalihkan pikirannya. "Perlu aku ingetin nggak yah kalau aku ini lebih dekat ke empat puluh?" tanya Kian sambil meletakan kotak pizza-nya. "Atau memang kamu sengaja buat ngeledek?"

Tawa Kartika pecah. Ia memasang tampang iseng, menandakan bahwa dirinya memang sengaja ingin meledek Kian. "Oh ya, lupa!" balasnya.

Kian berdecak. Senyum miring tersungging di bibirnya. "Awas loh, ya. Jangan kebanyakan ngejek, nanti aku hukum," celetuknya asal.

"Ih, serem!" ledek Kartika makin menjadi sambil berjalan ke arah meja makan.

Demi apapun, sekarang, Kian ingin langsung mendorong Kartika ke kitchen counter dan melanjutkan aksinya yang terputus. Sadar, Kian, sadar! Lelaki itu berdeham pelan.

"Kamu beli banyak banget?" komentar Kian mencoba mengalihkan topik agar isi kepalanya tidak melulu memikirkan skenario bagaimana menggauli tunangannya.

Kartika memiringkan kepala. Ia sejenak menatap ke arah plastik namun sejurus kemudian, bukannya meneliti pesanannya, ia malah menatap ke arah Kian. Ketika tadi adonan itu tumpah, Kartika mau tak mau membongkar lemari milik Ramdan yang berada di kamar kosong yang tersedia. 

Sementara kamar kosong di tempat Gayatri sudah dijadikan ruang kerja, kamar di unit Kartika memang dibiarkan tanpa isi. Kartika tidak butuh ruang kerja karena saat itu ia mengelola Keiku. Beberapa bulan kemudian, Ramdan meminta ijin untuk mempergunakan kamar itu sebagai base camp untuk menginap kalau bertengkar dengan ayah mereka mengingat si bungsu satu itu adalah anak satu-satunya yang tidak diberikan rumah sendiri dan lebih senang tinggal di rumah utama.

Sepertinya tubuh Ramdan sedikit lebih kecil sehingga pakaian adiknya itu malah terlihat sedikit ketat di tubuh tunangannya. Kaos itu menampakan bisep Kian yang besar dengan tato yang baru Kartika lihat setelah lama tak bertemu di lengan lelaki itu.

Oh, he is so hot. Kenapa melihat Kian langsung membuatnya panas dingin begini? Padahal, laki-laki yang disodorkan Gayatri selama ini tidak kalah menarik. Memang isi kepalanya hanya Kian saja, ya? What a hopeless pathetic one!

"Kenapa kamu?"

"Hah?" Kartika buru-buru terlonjak. "Apa?" Ia tampak seperti maling ayam yang ketahuan.

"Kenapa kamu beli makanan sebanyak ini?" Kian mengulang pertanyaannya.

Kartika menelan ludah. Ia nyaris memukul kepalanya sendiri karena sudah berpikir bahwa Kian memergoki dirinya yang sedang berpikiran tidak-tidak.

"Oh, iya, itu, aku beli paketan aja, nggak tahu isinya ternyata banyak." Ia melihat ke arah dua kotak pasta di atas meja.

Kian terkekeh geli. Ia menyisikan pasta-pasta itu. "Ini bisa buat kamu besok pagi atau siang." Ia berucap lagi. "Tinggal dipanasin, kan?"

Kartika mengangguk seraya bergabung untuk duduk di hadapan Kian. Lelaki itu membuka kotak pizza, mencium wangi harum dari jamur dan daging yang dipanggang di atas roti dengan taburan mozarella yang sudah meleleh itu.

"I hate this type of pizza but at the same time I grew up with this type of pizza and I love this as if it is my frenemy," ucap Kian saat menarik sepotong pizza.

Kartika mengulum senyum. "It always be your frenemy, right?" 

Setelah menjalani pendidikan kuliner, Kartika ingat betapa Kian sebal karena pizza yang ada di Indonesia punya tekstur yang lebih mirip roti dan bukan seperti pizza Italia yang tipis. Ia juga pusing ketika melihat terlalu banyak keju yang dituangkan.

"The cheese is quiet excessive!" Begitu kata Kian. "Nggak proporsional."

"But I love how they put their cheese, I even would like to order extra cheese if I didn't remember that you will be grumbling all the way." Kartika mendesis sebal.

"Susah sih, yah, kalau mau jualan pizza di Indonesia. Pizza is mostly served as appetizer. mDimakan pakai tangan dan dibuat dalam crust yang tipis. Tetapi di Indonesia, dijadiin main course, rotinya tebal, kejunya banyak, dimakan pakai garpu dan pisau." Kian berkata sambil menghela napas.

"Here in Indonesia, orang maunya makan kenyang, Mas. Kalau rotinya tipis, harganya seratus ribu, siapa yang mau makan." Kartika mengangkat bahu. "Pizza Mozzano—one of the pizza chain yang baru kami bawa ke sini awal tahun kemarin—mau nggak mau meluncurkan thick crust version kuartal kemarin. Itupun setelah debat panjang dengan franchisor pusat. We will die if we keep stick on our idealism."

Kian tertawa. "Italian say that American pizza is quiet a trash, oh, wait until they see ours." Ia menjeda ucapannya.

"Nggak semenggelegar keju di atas chicago pizza, sih." Kartika masih mencoba membela. "So, ours is better."

"Chicago pizza is not a pizza!" Kian mengibaskan tangan. "It's a deep dish like I don't know, can it be called as Pizza?"

Kartika tertawa. Ia tidak menanggapi Kian yang masih mendumal dan sebagai gantinya menggigit roti bertabur keju mozarella leleh. Mozarella yang masih stretch itu membuat cheese pull yang tergantung di antara mulut dan rotinya.

God dammit! Kian buru-buru mengalihkan wajah. Lelaki itu harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa tadi, dia sudah dapat peringatan untuk tidak menggauli Kartika dengan adonan yang tiba-tiba tumpah. Seharusnya, itu sudah cukup jadi pertanda bahwa ia harus buru-buru mencuci otaknya dengan pemutih sampai bersih.

Dear Kartika, Can you give me back my sanity? Because right now, I am all over the place.

Flavors UnboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang