3. Pathetic

15.5K 1.7K 119
                                        

Kartika memutar bola mata ketika mendapati pesan berisikan permintaan maaf di WhatsApp-nya siang ini. Vania mengabari bahwa kliennya—Adrianna, atau siapapun namanya—mendadak tidak bisa datang atau terlambat sekitar tiga puluh menit. Lidahnya berdecak pelan.  Jari jemarinya mengetik dengan cepat, menyatakan bahwa ia akan menunggu.

Sejak bergabung bersama perusahaan Adhyaksa, waktu adalah kemewahan paling mahal untuknya. Ia selalu sibuk bahkan hingga malam. Hari Sabtu ini adalah satu dari sekian hari lowong yang sebenarnya ingin Kartika gunakan untuk leyeh-leyeh atau pergi ke spa tetapi dikorbankannya demi bertemu dengan klien Vania tersebut. Kalau bukan karena jumlahnya yang fantastis untuk pembangungan Keiku, Kartika tidak akan sudi menggadaikan waktu berharganya.

Sejujurnya, berurusan dengan klien-klien dalam kategori sosialita untuk wedding organizer Vania ini sedikit banyak merepotkan. Mereka cenderung banyak mau, banyak menuntut, dan suka nyentrik. Tak banyak orang yang bisa mengatasi dan menangani mereka. Kartika jadi satu-satunya orang yang paling dicari lantaran terbiasa menangani dan mengerti apa yang mereka mau. 

Oh jelas, Kartika cukup sering dikenali. Ketika menangani salah satu pernikahan keluarga Gunawan, misalnya. Fitri Gunawan yang merupakan ibu dari calon mempelai kaget luar biasa melihat Kartika yang bekerja mengatur ini dan itu. Di saat seperti itu, biasanya Kartika hanya memberikan dua alasan: ingin membantu teman dan ingin memberikan yang terbaik pada kliennya dengan turun langsung—peduli setan dengan Vania yang mengamuk karena Kartika meng-klaim usaha itu sebagai miliknya.

Dan bukan satu dua kali juga kabar itu sampai di telinga Juwita—ibunya—hingga Kartika harus menulikan telinga lantaran si ibu terus mengomel, "Kamu itu kok ya, cari kerja yang bikin malu! Muka mama mau ditaruh di mana Kartika?"

Saat itu, Kartika selalu mengucapkan jawaban yang sama, "Tika kerja halal, bikin malu itu kalau kerjaannya nyolong!" 

Rasanya, kalau terus begini, Kartika bisa gila. Ia tidak tahu kapan semuanya berakhir. Ia ingin bebas, keluar dari kungkungan keluarganya yang menekan.

Demi membunuh waktu, Kartika mengambil buku catatannya. Sejak minggu kemarin, ia tengah menghitung pengeluaran untuk persiapan pembangunan Keiku. Kemarin, Dikta baru memberikan perhitungan baru.

"Di sini, Pak." Suara seorang pelayan perempuan diikuti sosok laki-laki dengan kemeja biru tua dan celana jins hitam membuat Kartika terlonjak ia buru-buru menutup buku catatannya. Dagunya mendongak dan secara tiba-tiba, matanya membulat ketika melihat lelaki di hadapannya.

Bibirnya bergetar. Lidahnya kelu. Seolah-olah, dunia berhenti berputar.

"Mas... Janu...?" Kartika terbata.

"Tika?"

Napas Kartika nyaris habis ketika lelaki itu menyebut namanya. Lelaki bernama Janu itu adalah teman masa kecilnya. Orangtuanya pemilik jaringan restoran khas Indonesia yang cukup terkemuka di Indonesia. Sejak dulu, di setiap pesta, lelaki itu akan jadi teman Kartika di saat Kartika merasa out of place padahal jarak umur mereka terpaut empat tahun.

Lelaki itu yang mengenalkannya pada dunia kuliner. Kartika kaget ketika tahu bahwa alih-alih mengambil kuliah dengan jurusan mainstream, lelak itu malah mengambil Le Grand Diplôme untuk jurusan cuisine di Le Cordon Bleu, walaupun setelahnya mengambil jurusan Bachelor of Business in International Restaurant Management di universitas yang sama.

kartika tak bisa berhenti kagum pada lelaki satu itu. Tetapi, lebih dari semua hal yang ada, lelaki yang sering dipanggil Janu olehnya itu adalah cinta pertamanya. Kartika lupa kapan pertama kali ia merasakan getaran aneh di dada dan lilitan di perutnya. Mungkin, ketika ia masih lima belas atau enam belas. 

Bahkan Kartika rela pergi kuliah ke Australia hanya agar bisa bertemu kembali dengan lelaki itu hanya untuk dipatahkan hatinya. Patah karena Kartika menemukan cinta pertamanya sudah punya pacar. Setelahnya, hubungan itu merenggang hingga pudar begitu saja.

Kini, ketika pandangan mereka bertemu, lagi-lagi, Kartika merasakan perutnya melilit. Ia mencoba meningkahi gugupnya, juga rasa berdebar antara canggung dan takut.

"Tunggu, klienku namanya Adrianna dan Kian..."

Lelaki itu mengangkat alis kirinya. "Aku Kian." Ia tersenyum, duduk di hadapan Kartika.

Oh, ya Tuhan! Pipi Kartika terasa memanas namun jantungnya berdegup kian kencang.

"Kianjanu. Dan aku selalu dipanggil Kian. Cuma kamu yang panggil aku Janu."

Seiring dengan suara berat yang keluar dari mulut Kian, ada suara robekan dan patah yang hanya bisa didengar oleh Kartika. Dari rasa yang membuncah, perasaan itu bermetamorfosis menjadi rasa perih dan sesak yang memenuhi dadanya.

"Dan, kenapa kamu bisa dipanggil Vania?" tanya Kian lagi.

Kartika buru-buru menggeleng, ia berusaha menjaga sikapnya. "Vania nama partnerku," jawabnya. "Kami bagi dua klien. Well, technically, aku udah nggak in-charge sih, tapi calon istrimu minta Vania untuk membuatkan pernikahan yang mirip dengan Mbak Atri."

"Dan, yang in-charge dalam pernikahan Atri kemarin, adalah kamu?" tebak Kian dengan senyum yang mampu membuat orkestra di hati Kartika.

Kartika mengangguk. "Yah, begitulah. Oh, congrats, ya. Akhirnya, Mas Janu akan menikah juga," ucapnya seolah menelan pil pahit.

"Belum, lah! Masih persiapan! Aku yang harusnya ngucapin selamat ke Atri. Waktu pernikahannya, aku lagi sibuk, sih. Jadi nggak keburu datang." Kian menggelengkan kepala. 

Kartika tersenyum tipis. Ia mencoba meningkahi gugup dengan menyeruput teh yang sudah dingin di atas meja. 

"How's life? Lagi sibuk apa sekarang?" tanya Kian lagi. "Aku dengar, kamu masuk ke Adhyaksa?"

Dagu Kartika terangguk. "Yah, begitu," ucapnya. "Mas Janu sendiri? Sibuk apa?"

Kian menarik napas. "Lagi ngurusin restoran aja."

"Oh, ya? Restoran apa?" Mata Kartika membelalak dengan binar penasaran.

"Just a casual slash semi fine dining french cuisine." Kian menjawab santai.

"Oh, it's your expertise, right?" Kartika berucap cepat. "Aku harus mampir kapan-kapan!"

Kian tertawa kecil. Tawa yang begitu candu.

"Lalu, bagaimana Mas Janu bisa ketemu dengan Mbak Adrianna? Pacaran sama aktris, wow!" Kartika buru-buru bertanya hal yang lain sekaligus menyadarkan diri bahwa lelaki di depannya tunangan orang.

"Aku ketemu di acara TV. Kebetulan aku jadi juri buat musim kedua dan ketiga Royal Chef," jelas Kian.

Kartika menyipit. "Juri? Di Royal Chef?" Ia diam sejenak. "Oh, yang acaranya Stefani itu! Aku udah nggak pernah nonton TV lagi, sih."

"Nah, itu!" Kian menunjuk Kartika dengan senyum lebar. "Stefani nawarin, ya udah, aku iyain."

"Ya, ya, ya," angguk Kartika. "Stefani juga nawarin, tapi aku nolak. Aku nggak pernah kerja di dapur profesional. Nggak merasa capable aja."

Kian memicingkan mata. "You are more than capable, Tika." Lelaki itu menyungging senyum tipis.

Senyum yang membuat Kartika canggung dengan perasaan campur aduk. Hatinya merasa berbunga tetapi otaknya langsung membakar perasaan itu begitu saja. Rasanya, tubuh Kartika bisa berhenti bekerja saat ini juga.

Mata Kartika memerhatikan Kian dengan saksama. Alih-alih tampak feminin, lelaki itu terlihat begitu sangar dengan rambut yang dikuncir man bun. Tubuh kekarnya dibalut kemeja biru tua yang kancingnya seolah memberontak untuk dilepaskan. Lengannya yang tergulung menampakan tato samar sebuah tulisan yang Kartika tahu dengan baik 'fluctuat nec mergitur'.

Seketika, Kartika memegang lehernya yang ditutupi plester dan foundation. Tulisan dan tato yang sama dengan milik Kartika.

Mereka membuatnya bersama. Mereka membuat tato yang sama. Tetapi, tak punya hubungan apa-apa. Pathetic.

Her love life is pathetic, right?

Flavors UnboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang