26. Us And Our Dream

8.1K 934 62
                                    

Katakan Kian mengambil kesempatan dalam kesempitan dan ia tidak peduli karena ia benar-benar melakukannya. Mengambil kesempatan untuk memeluk Kartika sedemikian rupa.

Sudah hampir satu bulan mereka pacaran—tiga minggu lebih, sebenarnya—dan Kian belum mampu untuk memberanikan diri memeluk kekasihnya itu.

Kenapa? Tidak tahu! Rasanya canggung, aneh, dan kikuk. Ia khawatir, apakah  ia terlalu cepat? Apakah ia terlalu lambat? Apakah yang harus ia lakukan? Semuanya jadi serba salah.

Dehaman Kartika membuat Kian mengurai pelukan itu perlahan. Matanya menatap wajah Kartika yang tak terlalu jauh dari wajahnya. Perempuan itu tampak menggigit bibirnya sendiri. Kebiasaan yang dilakukannya saat gugup.

Ya, Tuhan! Kian tahu bahwa itu semua lumrah. Tetapi, kenapa sekarang rasanya jadi menggoda iman begitu?

Kian menahan napas saat dada Kartika menyentuh dadanya. Ia mengulum bibir seraya menahan agar selangkangannya tidak berulah. Kian yakin, kekasihnya itu tidak sadar bahwa ia belum memakai bra pagi ini. Atau mungkin, Kartika sudah biasa dan tidak peduli mengingat ia juga melakukannya dulu sekali ketika mereka masih di Sydney?

Rasanya begitu pening. Dulu, melihat Kartika seperti itu membuat Kian menelan ludah. Sekarang, Kian butuh kekuatan ekstra untuk tidak mengintip ke baliknya.

"Oh, ya, Tik... Aku punya sesuatu." Kian buru-buru mundur. Ia harus menyampaikan hal yang penting terlebih  dahulu sebelum ia malah hilang fokus dan menyerang Kartika yang hanya mengenakan piyama tidurnya yang tipis itu.

"Huum?"

Kian merogoh saku celanannya, mengeluarkan dompet dan kemudian mengambil secarik kertas di dalamnya. "I'm sorry, I cannot help but peek on the paper on your desk. The business plan that Dikta gave you." Kian menyodorkan kertas itu. "Dan menurutku, hitungan Dikta banyak yang terlalu... over?"

Kartika mengerutkan dahi. Dikta memang membantunya membuat perencanaan untuk Keiku. Setelah berdiskusi panjang lebar, Dikta memberikan subyek-subyek dan hal apa saja yang jadi pengeluarannya.

"Salah di mana?"

Kian membimbing Kartika untuk duduk. Ia menyerahkan kertas itu. "Kalau kamu pakai formula ini, uangmu cukup." Kian berkata mantap. "Kamu nggak harus memulai semua dari besar. Kamu bisa memulai dari kecil. Buat apa beli oven besar-besar? Kamu belum butuh."

"Tapi kan, tanggung, Mas!" Kartika membela diri.

"Tapi, kalau kamu mau langsung besar, nggak akan jalan. Kamu harus mulai dari yang kecil dulu. Nggak apa-apa kalau mau beli tanah di sana. Tapi ya sudah, jangan semuanya kamu hajar, Tik." Kian bersikeras.

Kartika mendesis. Di hadapannya tampak rencana yang Kian tulis. Rencana itu lebih sederhana. Tetapi, lebih bisa ia jangkau.

"Dengan begini, tanpa uang bayaran Adrianna buat pernikahanku dan dia yang jelas-jelas batal—duh!—kamu masih bisa survive bahkan sisa banyak." Kian melanjutkan.

Kartika memutar bola mata. "Ya, karena kamu nggak jadi nikah, aku nggak jadi dapat uang."

Tawa Kian pecah. "Tapi, kamu dapet aku. Pilih uang atau aku?"

Lidah Kartika berdecak seraya ia mengibaskan tangannya. Tak mau menjawab pertanyaan Kian.

"Atau gini aja, gimana kalau, aku bayarin sebagian pengeluarannya?" Kian berucap lagi.

Mata Kartika membelalak. Ia menggeleng. "Mas! Apa-apaan, sih?" hardiknya. Wajahnya memerah karena marah. "Papa dan Mbak Atri aja aku tolak mentah-mentah. Ini kamu juga mau ikut-ikutan?"

"Dengerin dulu," kata Kian dengan nada lembut. Ia menghela napas, sambil memangku dagu.

Kartika menatap nyalang Kian. Matanya mengisyaratkan Kian bahwa lelaki itu hanya punya satu kesempatan untuk berbicara atau hidupnya akan habis dengan segera.

Flavors UnboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang