L3 | tiga satu

8 3 6
                                    

typo adalah seni

HAPPY READING ALL!

.......

"Bro kapan kamu mau beri tahu Alzena tentang aku sama teman-teman aku?" tanya Bram yang tengah beada di sebelah Nathan.

Memang trio ghost dekat dengan Nathan, namun diantara mereka bertiga yang sangat dekat sekali dengan Nathan adalah Bram. 

Bram muncul saat Nathan berusia empat tahun. Wajah yang dimiliki Bram tidak se-menakutkan arwah-arwah yang lain, lebih ke manisnya rupa wajah Bram. Bram itu remaja SMA, meninggal karena kecelakaan yang dilakukan oleh musuh orang tuanya. Mayat Bram tidak ditemukan karena disembunyikan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Bram marah dan berakhir mencari orang-orang yang membuatnya tidak tenang.

Rumah Nathan terletak di gang sepi, dekat tempat kecelakaan yang menimpa Bram. Bram merasakan jika Nathan bisa melihatnya, karena beberapa kali memergoki Nathan yang takut dengan arwah-arwah mengerikan dan penuh darah, ia memutuskan untuk menjaga penampilannya agar tidak terlihat terlalu buruk. Alhasil Nathan menerimanya.

Nathan nggak takut hantu guys, inget ya, Nathan itu trauma darah. Sering melihat hantu yang dipenuhi darah membuat Nathan mau tak mau harus berdamai dengan traumanya, sakit memang. Berdamai dengan luka. Seorang diri. At least, dia tidak se-heboh dulu ketika melihat darah. Seperti ketika ia dibawa Alzena ke ruang rahasia, ia hanya menahan mual dan diam. Diam yang sangat tertekan.

***

"Semenjak gua sama Nathan, gua nggak pernah liat makhluk jelek itu lagi."

Sudah diajarkan banyak hal oleh Nathan, Alzena justru semakin terbiasa dengan bahasa gaul zaman sekarang. Dulu yang suka menggunakan bahasa formal sekarang sudah bisa menggunakan bahasa normal, dan itu semua berkat Nathan.

Tanpa Alzena sadari, Nathan berhasil mengubah hidup Alzena. Alzena tidak memiliki satu pun teman, namun Nathan bisa menjadi teman saat Alzena membutuhkan. Teman-teman Nathan juga bisa menjadi teman Alzena sebenarnya, namun Alzena belum bisa menerima kehadiran Jordan, apalagi Elga.

"Hati Gua keblabasan beneran," gumam Alzena. Alzena sangat ingat sekali, bagaimana dulunya ia menahan mati-matian untuk tidak melibatkan hati dalam sebuah hidup. Hati Alzena memang mati rasa dan Nathan yang menyembuhkan luka itu.

Alzena sangat yakin, tidak akan menjatuhkan hati kepada siapapun, termasuk Nathan sekalipun. Dan semesta, tidak mengizinkan keputusan yang dibuat oleh Alzena.

Ya, seperti biasa.

Alzena mempunyai harapan dan semesta mempunyai kenyataan.

Dan kenyataan yang diberikan semesta, tidak akan menyakiti salah satu penghuninya kecuali ada hikmah dibalik itu semua.

Alzena melirik ruang kerja yang kosong, biasanya selalu ada Jef di sana. Laki-laki itu merupakan pekerja yang baik juga amanat sekali kepada Alzena. Dan sekarang, ruangan itu sepi. Jef akan mulai bekerja lagi nanti malam, katanya. Alzena tiba-tiba merindukan tangan kanannya itu.

Jika dipikirkan kembali, Alzena hanya memiliki Jef disaat semua orang menjauhi dirinya.

Hanya Jef yang selalu ada, bahkan saat dirinya masih kecil dulu.

Hanya Jef yang bisa mengerti dirinya sebelum akhirnya Nathan muncul dalam jalan hidupnya.

"Pasti Jef berasal dari keluarga yang baik, karena dia sangat baik kepada saya. Apakah harus memberinya sebuah hadiah nanti?" Alzena kembali menggunakan bahasa formal ketika lidahnya menyebutkan nama Jef, tanpa ia sadari.

"Apakah saya harus memberikan hadiah pisau kepada Jef? Atau pistol?" Alzena mengetuk dagu. "Apa belati saja, ya?"

Bahu Alzena melemas. "Tetapi semua jenis pisau, pistol juga belati saya sudah punya. Milik Jef juga ada di sana." Di sana maksudnya Alzena adalah tempat favoritnya.

Karena tidak ingin membebani pikirannya yang sudah lelah, seharian ini otak Alzena dipaksa bekerja karena ulangan dadakan. Jika saja Alzena adalah murid yang tidak berakhlak, akan ia pastikan guru tersebut menjadi sasaran menyalurkan keinginannya.

Ingat Alzena, berjanji mengurangi kegiatan itu lagi.

***

"Gua kangen deh, Bram."

"Kangen kenapa, Bro?"

Pikiran Nathan berkelana, ia mengingat satu hal yang membuat keadaan menjadi indah seperti ini, mendapatkan Alzena.

"Kangen jahil sama Alzena." Tawa Nathan terdengar. Jika mengingat itu, Nathan pasti selalu tertawa. Dan jika saja Alzena mengetahuinya, dapat dipastikan mendapat bogeman maut dari sang empu.

Bram ikut tertawa. "Aku yang ngawasin dia aja kadang ketawa, Bro. Nggak nyangka manusia nyeremin kek dia takut makhluk sebangsa aku."

Bram sempat tidak menyukai Alzena karena dia adalah psychopath. Selalu membuat nyawa orang terancam, meskipun sebenarnya Alzena hanya membunuh orang yang mengganggunya.

Pikiran Bram saat itu buntu, Bro-nya terlihat sangat tulus sekali menyukai Alzena disaat gadis itu masih bersenang-senang dengan mayat-mayat di ruangan favoritnya. Sungguh, Bram sangat prihatin kala itu.

Karena tidak ingin membuat Bro-nya kecewa, sedih, lemah, letih, lesu, lunglai, galau atau apalah itu, Bram meyakinkan diri bahwa pilihan Nathan adalah yang terbaik.

Semua orang pasti memiliki kenangan atau masa lalu yang buruk. Dan semua orang pantas memiliki kesempatan untuk memperbaiki hidup. Dan Bram berharap, adanya Nathan bisa merubah hidup Alzena semakin baik untuk kedepannya.

"Dulu pinter banget, ya? Yang ngasih ide siapa, sih? Aku lupa deh."

"John nggak sih? Dia 'kan yang paling iseng di antara lo bertiga." Ingatan Nathan masih terus berkelana. Prinsip Nathan, orangnya dulu baru hatinya. Karena Nathan yakin, saat bisa membagi waktu bersama raga Alzena, dapat dipastikan hati Alzena akan mengikuti secara tak sengaja.

Dan itu, sudah Nathan dapatkan.

"Tapi, Bro bahagia 'kan setelah dapat Alzena?" tanya Bram perhatian. Hantu itu sangat menyayangi Nathan sebagai adeknya sekian lama. Maka dari itu, ia selalu mengharapkan yang terbaik untuk kehidupan Nathan.

"Gua bahagia, banget," jawab Nathan tersenyum tulus. Tanpa Bram, John juga Izone, ia tidak akan sampai pada titik ini. 

"Aku berharap semoga hubungan Bro hingga akhir hayat."

________________________

Tbc🌹

Sayang banget sama Bram🤧

Lika-liku LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang