"Freya, kamu sadar nggak sih, selama ujian ini kamu selalu satu ruangan sama Fisha. Itu aneh."
.
.
.
.
.
✧Deruan dari mesin motor Freya terhenti tepat di depan rumah Fisha. Sang gadis yang berada di depan memegang lembut tangan Fisha yang melingkar di perutnya, mengisyaratkan gadis itu untuk segera turun dari motor.
Fisha tak kunjung melepas pelukan tersebut, membuat guratan di dahi Freya tercipta begitu saja. Mengundang sebuah pertanyaan baru di benak Freya seketika, dengan tenang, ia bertanya, "Kamu ada masalah?"
Bukannya menjawab, Fisha mengeratkan pelukannya sambil meletakkan dagunya di atas bahu kanan Freya.
Lapisan seragam mereka mulai terasa sejuk akibat sentuhan hawa dingin malam yang menusuk. Kulit-kulit mereka mulai merespon hawa tersebut.
"Fisha ...,"
"Aku takut," desisnya lemah.
Diam, itu yang Freya lakukan. Bahunya merosot, ia membiarkan Fisha memeluknya sedikit lebih lama sambil memperhatikan langit gelap yang mulai bertabur ribuan bintang.
Sejujurnya, ia juga kebingungan ketika diletakkan di kondisi seperti sekarang. Freya tak berbohong bahwa pikirannya sangat berkecamuk. Sengaja memaksa dirinya berpikir berulang kali, apakah yang ia lakukan ini sudah benar.
Jika salah, apa yang harus Freya lakukan? Rasanya untuk tiba di fase ini pernah ia nanti-nanti. Dan sekarang, ia harus menerima semua fakta bahwa apa yang telah ia dapatkan ini salah.
Perasaan kecewa itu tentunya ada.
"Tolong janji, kita bakal baik-baik aja," pinta Fisha. Sekali lagi, Freya masih tetap diam membisu.
• • •
"Kamu gapapa?"
Sentuhan pada pundak Freya terasa sangat halus, membuat kepala Freya menoleh ke belakang dan mendapati sang kakak datang kepadanya.
"Maksudnya?" tanya Freya.
Ara, sosok yang memberi pertanyaan tersebut lantas mulai duduk di dekat Freya dan menunjukkan kerutan di dahinya. Pertanda gadis ini sedikit kesal dengan respon Freya.
"Kamu hari ini pulang larut dengan kondisi muka yang sama sekali nggak menunjukkan kamu baik-baik aja, Frey. Cerita." Mata Freya sukses membulat sejenak sebelum akhirnya ia menghela napasnya berat ke sekian kalinya.
Punggungnya disandarkan pada kursi dan kini sedikit membungkuk, kepalanya tertunduk dengan jemari yang bermain pada secarik kertas. Kertas kosong yang memang hanya dimainkan oleh Freya dari awal ia duduk di kursi belajarnya.
Otak Freya kosong. Ia tidak tahu harus memulai dari mana. Tatapan Ara mulai tampak lekat padanya, menunggu setiap patah kata darinya.
"Nanti aja, ya, Kak."
• • •
"Kamu kenapa, Fisha?"
Fisha tersentak kala merasa pundaknya ditepuk oleh Azizi yang duduk di sebelahnya sambil memegang sebuah buku.
Setelah mengetahui bahwa si pelaku merupakan kakaknya sendiri, Fisha menghela napasnya lega sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Ngga, aku gapapa, Kak," sambar Fisha cepat.
"Aku tau kamu ngga bakal bisa bohong sama aku, Fisha." Perkataan tersebut berhasil membuat netra Fisha beralih pada Azizi lagi.
Berdiri dari duduknya, Fisha bergerak mencengkram erat baju Azizi. Hal itu sontak membuat tubuh Azizi mundur hingga bersandar pada sofa. Ia menegak ludahnya seketika dan tersedak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Strategi dan Ambisi (FreFlo)
Teen Fiction[ Completed ] Cinta, Prestasi, dan Hobi. Tiga hal yang selalu terlibat dalam kehidupan manusia di fase remaja. Dari tiga di antaranya, hanya satu yang menurut mereka sangat layak untuk diperjuangkan, namanya adalah prestasi. Sekolah tentunya menjadi...