Chapter 35: Masalah Personal

5.1K 573 89
                                    

"Kamu apain Azizi?! Jawab aku!"
.
.
.
.
.






Pantulan bola basket menggema di dalam gedung latihan, membuat kebisingannya bertambah dengan suara pekikan dan seruan para siswa yang bermain tersebut.

Marshal duduk termenung di tribun sendirian, menggenggam kopi kaleng dingin yang baru saja ia beli dari kopsis, belum ada niat untuk meneguk minuman itu sama sekali.

Dirinya masih terbayang dengan apa yang ia saksikan kemarin.

Helaan napas lesu keluar dari mulut Marshal, ia menatap gerakan bola yang terlempar dari satu tangan ke tangan lain, seraya memperhatikan anak-anak di hadapannya bermain.

Membosankan.

Mengapa cintanya selalu berakhir tragis?

"Mikirin apa?"

Marshal menoleh ke sebelah kanan, Jastin sudah berada di dekatnya dan mendudukkan diri di sana. Lengkap dengan jersey basketnya, tampaknya Jastin merupakan salah satu pemain dari anak-anak yang berada di lapangan. Tubuhnya sedikit berkeringat, oh, apakah Marshal melewatkan permainan Jastin?

"Hellow?" sapa Jastin sekali lagi sambil melambaikan telapak tangannya di depan wajah Marshal. "Ah, iya, maaf." Marshal membalas sambil tersenyum tipis.

"Ada apa? Ini bukan Marshal yang aku kenal, deh." Jastin berucap demikian sembari meneguk air mineral yang berada di tangannya.

Entahlah, Marshal tampaknya tidak bisa berpikir dengan jernih saat ini, kepalanya sedikit terasa mengambang. Dia belum menjawab pertanyaan Jastin melainkan kembali merenung.

Melihat kelakuan yang tak wajar dari seniornya ini, Jastin menertawainya, hal ini sontak membuat atensi Marshal kembali kepadanya. Marshal mendelik kemudian ikut tertawa dan membuka suaranya, "Kenapa, Tin?"

"Hooo, seorang Marshal punya masalah, kelihatan serius ini," ledek Jastin, senyumnya semakin melebar membuat Marshal ikut melebarkan senyumannya sebentar. Keduanya tertawa.

Senyum Marshal perlahan mulai pudar dan kembali merenung seperti semula seolah-olah guyonan barusan memang benar. Nyatanya memang benar.

"Aku serius, Kak. Kenapa?"

"Sebelum itu, Tin. Boleh ngga kira-kira aku minta pendapat kamu?" tanya Marshal, nadanya terdengar penuh harap. Jastin mulai mengangguk tanpa ragu, mengulas senyum tipis menunggu beberapa patah yang akan dikeluarkan oleh Marshal.

"Menurut kamu, kenapa ada orang yang bisa cinta sesama jenis mereka sendiri?" Jastin terdiam sebentar, senyumannya memudar perlahan namun tidak sepenuhnya, hanya menyisakan senyum canggung yang membuat otot wajahnya tertahan.

Ia memalingkan wajahnya dari Marshal pelan-pelan kemudian ikut berpikir. "Ah, ini terlalu aneh? Aku cuma tanya pendapat kamu aja, Tin. Kalau nggak bisa dibales juga nggak apa-apa," sela Marshal merasa tak nyaman, ia mengusap tengkuknya halus kemudian tertawa canggung.

"Engga, engga, aku bisa jawab!" sosor Jastin buru-buru, takut Marshal kecewa padanya. Perlahan Jastin menarik napas, pikirannya mulai tertuju pada sang kakak, Ashel.

"Sebenarnya, cinta itu sifatnya universal dan juga alami, semua orang pasti bisa ngerasain itu. Cuma ... di beberapa orang, mungkin ada yang sedikit menyimpang. Menurutku, itu wajar terjadi sih, Kak. Walaupun tidak dibenarkan sama sekali, tapi kita nggak menutup kemungkinan bahwa pelaku kaya gitu memang banyak, tapi mereka ngga kelihatan aja," tutur Jastin secara lembut.

Marshal mengerutkan dahinya kemudian bertanya, "Apa mereka ngerasain cinta yang sama? Maksudku, kaya orang-orang normal ... pada umumnya,"

Jastin mengangguk. "Iya. Mereka juga ngerasain hal yang sama, layaknya cinta orang yang normal. Cuma ya bagian berbedanya cuma di jenis kelamin pasangan aja,"

Strategi dan Ambisi (FreFlo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang