2

423 29 0
                                    

Kelopak mata bulat itu lambat laun terbuka. Sarah meringis kecil kala pusing menghantam kepalanya. Wanita itu mencoba memproses situasi. Pandangannya mengedar pada setiap sudut ruangan, dan hal itu membuat dada Sarah terasa sesak. Spontan, ia memeluk tubuh ringkihnya yang kedinginan karena hanya dibaringkan di atas ubin.

Tempat ini sungguh buruk. Pencahayaannya sangat minim. Hanya menggunakan sebuah lampu pijar dan seperangkat lentera di sudut ruangan yang memancarkan sinar kekuningan dan redup. Dindingnya hitam, hanya pekat yang begitu berdebu dan menakutkan. Selain itu, tak ada interior apa pun yang disimpan di ruangan ini, semuanya benar-benar kekosongan yang gelap.

"Aku ... harus pergi dari sini," lirih Sarah.

Dengan tubuh ringkihnya, wanita itu berusaha untuk berdiri. Nyaris saja ia ambruk, tapi syukurnya Sarah masih sempat bersandar pada dinding. Sambil memegangi kepalanya yang begitu berat, dengan tergopoh-gopoh ia berjalan mendekati sebuah pintu baja berwarna hitam.

Di tengah langkahnya, Sarah mengernyit bingung. Ia mendengar suara-suara peraduan material besi yang begitu mengganggu. Namun, ketika Sarah menghentikan langkahnya suara itu mati. Ia mengintai setiap sudut ruangan yang remang-remang ini, dan mata telanjangnya tak menemukan benda apa pun.

Maka, Sarah kembali melanjutkan langkah pincangnya. Rasanya, kakinya semakin sulit berjalan. Sesuatu seperti menahannya dan menariknya ke belakang. Lagi-lagi, suara bising itu muncul. Ketika Sarah nyaris menekan daun pintu, sebelah kakinya seperti tertarik ke belakang dan tubuh itu ambruk di atas lantai.

Ia merintih, mengusap pergelangan kakinya yang terasa nyeri. Namun, sesuatu yang berat dan dingin melingkar di sana. Di tengah pencahayaan yang memburam, wanita itu menerka apa benda tersebut. Dan ketika matanya cukup jelas menangkap, sekujur tubuh Sarah seperti membeku.

"R-rantai?"

Dalam beberapa detik saja, wajah itu berubah pucat. Seperti tengah kehabisan napas. Sarah menggeleng lemah, ia tidak percaya dengan perlakuan mengerikan seperti ini. Lantas, tangannya yang gemetar mencoba meraih rantai itu. Sarah berusaha mengoyaknya, tapi usaha tersebut tentu saja tak membuahkan hasil. Sebeliknya, kakinya malah semakin terluka. Terlihat rona kebiruan di sekitar pergelangannya.

Sarah mengepalkan tangannya. Wanita itu mengetuk pintu baja di hadapannya dengan kuat, sampai punggung tangannya benar-benar memerah. Air mata terurai melewati pipinya yang lusuh.

"B-buka ...!" jeritnya tertahan.

Beberapa lama hanya seperti itu, dan tidak ada siapa pun yang mendengar. Sarah rasa, sudah tidak ada harapan. Sarah tidak tahu ia ada di mana, dan apakah ia sendirian, atau apa hal yang akan dilakukan selanjutnya oleh Armand. Sarah benar-benar mengkhawatirkannya.

Mengingat nama tersebut, rasanya sekujur tubuh Sarah langsung ketakutan. Ia bahkan tidak sedang melihat sosoknya, tapi bayang-bayang pria bernetra hitam pekat yang tengah mengancamnya itu seakan menguliti raga Sarah.

"D-dia mau membunuhku, kan?" lirih wanita itu, entah pada siapa.

Sarah memeluk tubuhnya sendiri dengan erat. Bahunya gemetaran. Rasanya, di tempat ini Sarah tidak bisa berbuat apa-apa. Apakah Armand sengaja merancangnya agar Sarah dapat menunggu tanggal matinya di sini?

"Menakutkan sekali. Rantainya juga melukaiku."

Dan tentang rantai itu. Sarah bahkan merasa bahwa perlakuan itu tidak cocok untuk diimplementasikan pada manusia. Lantas, untuk apa rantai itu mengikat kakinya? Sarah tebak, pasti Armand sengaja melakukannya agar Sarah tetap terjebak di tempat ini. Menyakiti Sarah kan bagian kesukaan Armand.

"Sebenarnya, kenapa harus seperti ini?"

***

Sarah sempat terlelap, dan ia terbangun karena terkejut. Tiba-tiba saja, pintu baja itu didorong dari luar, sehingga Sarah yang sedang tidur di depannya terpental ke dekat dinding. Wanita itu mengusap keningnya yang tampak memar karena benturan kuat.

Tak lama, sebuah sepatu pantofel hitam berdiri tepat di hadapan mata Sarah. Sosok itu kembali datang. Armand merendahkan tubuhnya, berlutut di hadapan Sarah yang terkapar mengenaskan.

"Halo ... Sarah?"

Mendengar suara berat itu, Sarah spontan beringsut mundur. Wanita itu memeluk tubuhnya dengan erat. Mata bulatnya menatap waspada pada Armand.

"Kau lapar tidak?" ujar pria itu, terbesit kekejaman di balik nada lembutnya.

Sarah tak menjawab. Namun, kepalanya menggeleng kuat. Ia was-was terhadap seribu satu strategi kekejaman yang akan dilakukan Armand. Pria itu pasti tak ingin melihatnya dalam ketenangan.

"Aku kan tidak mengunjungimu lama. Masa tidak lapar? Memang kau tahu sekarang jam berapa?" lontar Armand, terdengar mengejek.

Sarah lagi-lagi tak menjawab. Ia rasa bibirnya begitu kelu hanya untuk mengucapkan sebuah kata. Hal itu senada dengan netra madunya yang menatap takut terhadap mata tajam Armand.

"Sekarang tengah malam, Sarah. Namun, bukan 24 jam. Ini sudah hari ketiga sejak aku nyaris membunuhmu."

Sarah terkejut mendengar fakta itu. Ternyata, sudah begitu lama Sarah terkunci di tempat ini. Bahkan saking lamanya, ia sampai tidak sadar dengan keberadaan waktu. Karena yang dilakukannya hanya melamun, tidur, dan terhanyut dalam bisu. Tanpa apa pun, tanpa makanan, minuman, interaksi, bahkan ia manahan kencing sampai perutnya terasa nyeri. Semua itu dilakukannya karena memang tidak ada hal lain di ruangan itu kecuali dirinya, rantai, sedikit udara, dan gelap.

Wanita itu memeluk perutnya erat. Rasa mual dari asam lambung yang meningkat, dan nyeri di perut bawahnya akibat menahan pipis sungguh mengganggu Sarah. Habis sudah seharian ia menahan semuanya. Dikurung di tempat yang mengerikan ini, dan tidak diberikan ruang untuk menjadi manusia yang seharusnya.

"L-lalu bagaimana dengan toko bungaku? Aku sudah membuat janji dengan pelangganku, Armand ...," lirih Sarah. Setitik air menembus dari matanya.

"Jam 9 pagi, harusnya aku siram bunga-bungaku dengan air beras ...."

"Jam 5 sore, harusnya aku berikan kucing-kucingku susu ...."

Sarah mendongak menatap Armand. Dan yang ia dapatkan setelah menangkap wajah pria itu adalah ... luka. Sebenarnya ada apa dengan dia? Apa maksud senyuman tipis di sela pahat wajahnya itu? Apakah Armand begitu suka dengan kesengsaraannya?

Lantas, wanita itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia menangis. Isakannya terdengar sangat pilu, walau Sarah mencoba untuk menahannya. Namun, sekuat apa pun Sarah berusaha, nyatanya ia selalu kalah. Pada akhirnya Sarah tak bisa berbuat hal yang berarti untuk melawan Armand, kan?

Semakin tangisnya kencang, nyeri di perutnya pun semakin menjadi. Sarah meringis kala ia sudah tidak mampu lagi menahannya. Tangannya menjadi gemetaran setelah rasa sakit itu kian parah.

"Jika kau ingin mendengar kenyatannya, akan kuceritakan. Begini, Sarah. Sebagai manusia, pasti pelangganmu kecewa karena kau berhutang janji. Lalu, bunga-bunga dan kucingmu akan mati. Sederhana, kan?" jelas Armand, semakin mempersulit kondisi Sarah.

Sarah membeku mendengar penuturan itu. "Lalu ... aku?"

Armand mengangkat sebelah alisnya, senyum iblisnya terukir kala Sarah menunggu jawabannya dengan wajah ketakutan. "Bagaimana akhir yang kau inginkan?"

"Aku ... aku ingin ... pergi."

Untuk beberapa detik, Armand mencerna jawaban itu. Namun, tak lama setelahnya bahak yang menggelegar terdengar. Setiap sudut ruangan tidak lagi sepi. Namun, sayangnya keramaian itu diciptakan dari rasa bahagia jelmaan iblis yang menakutkan.

"Sarah ... Sarah ... tidak ada pilihan pergi. Kau hanya boleh memilih kecewa seperti pelangganmu, atau mati seperti kucing dan bungamu," ujar Armand, dengan senyum sinis yang setia terukir.

"Jadi, kau pilih yang mana?" tanya Armand, dengan sikap kurang ajarnya.

Untuk beberapa saat, Sarah termenung. Entahlah, raganya terasa kosong. Namun, jika memang ucapan Armand sekejam kenyataan, maka hal apa yang akan Sarah lakukan kemudia hari? Akankah semua ini sesuai dengan prediksi pria itu? Tidakkah ada secercah harapan yang membebaskan Sarah dari situasi ini?

Aku ingin menjadi bunga.

Cursed LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang