"Oh, astaga. Malang sekali ...."
Beberapa saat yang lalu, sekitar 3 jam setelah Baron pergi, pintu baja kembali dibuka. Sosok berpewarakan tinggi dan tegap dalam balutan jas formal itu menenggelamkan tubuhnya dalam gelita ruangan ini. Ia datang bersama dengan wangi maskulin yang spontan menyeruak ke sudut-sudut ruangan. Walau begitu, harumnya tak mampu mengalahkan bau anyir darah.
Langkah lebarnya mendekati Sarah yang duduk bersandar pada dinding usang. Kedua tangannya masih terikat sempurna, persis seperti perintahnya kepada Baron. Armand berlutut di hadapan wanita itu, dan ia terkekeh kala Sarah menunduk dalam karena tak punya cukup nyali untuk bertatapan dengannya.
Armand meraih sepasang baju yang tergeletak di samping Sarah. "Kenapa kau membangkang pada Baron, Sarah?"
Tak mendapat jawaban apa pun, Armand mengembuskan napas berat. Pria itu meraih dagu Sarah, dan mengarahkan wajah mungil itu untuk menghadapnya. Astaga, Armand rindu sekali sorot gusar yang terpancar melalui iris sejernih madu milik Sarah setiap kali dihadapkan dengan mata tajamnya. Armand cukup puas kala gadis itu menunjukkan ketakutannya walaupun sudah mati-matian disembunyikan.
"Seharusnya kau sudah cantik saat kutemui, Sarah. Tidak mengerikan seperti ini," bisik Armand, jemarinya menyelipkan beberapa helai rambut Sarah ke belakang telinganya.
Sarah hendak menjauhkan wajahnya, tapi Armand menahan tengkuknya kuat. "Kenapa, Sarah ...?" desisnya rendah.
Sarah memalingkan wajahnya dengan hati-hati. Ia tak sanggup terus bertatapan dengan mata Armand yang seperti mengulitinya. Lantas, ia berucap dengan gemetar, "A-aku menurut, aku tidak--"
"Lalu kenapa kau masih terlihat berantakan? Artinya kau melawan," potong Armand.
Sarah bungkam mendengar itu. Padahal, peristiwa tadi cukup mengguncang bagi Sarah. Wanita itu dipaksa untuk kembali mengenang luka lama. Namun, dengan tanpa sadar dirinya, Armand bicara demikian.
Di tengah lamunannya, pria itu mendorong bahu Sarah. Ia tersungkur nahas ke atas ubin yang dingin. Pipinya membentur cukup kuat. Ringisan perih tersuarakan melalui kerongkongannya yang tertahan.
Armand berlutut di samping Sarah. Ia membuka simpul yang mencekik pergelangan tangan wanita itu. Timbul bekas di sana. Merah kebiruan. Mungkin kini rasanya melegakan, karena taliannya sudah terlepas. Namun Armand pastikan, sensasi yang ditimbulkan setelah kelegaan singkat itu dapat mengganggu Sarah.
"Sakit?" tanya Armand, walau ia sudah tahu jelas jawabannya.
"Sakit," timpal Sarah, cicitannya nyaris tak terdengar.
Sebelah ujung bibir Armand terangkat. Dengan tenang ia berucap, "Syukurlah."
Armand meraih jemari lentik itu. Dingin sekali. Terasa sampai ke tulangnya. Gemetar tubuh Sarah disadari indranya. Lambat laun, tangan itu menjadi lembap. Armand membawa tubuh lemah Sarah untuk duduk bersandar pada dinding. Ketika melakukannya, rasanya ia seperti mendorong angin. Sangat ringan.
Genggamannya pada tangan Sarah mengerat, tapi tidak sampai membuat wanita itu kesakitan. Tak lama, jari manis Armand yang berbalut sebuah cincin mengusap lembut bekas lebam di pergelangan tangan Sarah. Dingin dari material emas putih itu sedikit menenangkan rasa sakitnya.
"Sayang sekali, Sarah. Kau dan aku bertemu lagi," ujar pria itu, nadanya rendah, tapi Sarah mampu merasakan tajamnya jarum di balik ucapannya.
"Setahun yang lalu, aku tidak pernah berharap kita akan hadir di tempat yang sama bukan karena rindu, melainkan sebagai penggugat dan tergugat," ucap Armand, ia terkekeh sinis di akhir kalimatnya.
Sarah mulai gundah. Sapuan lembut di pergelangan tangannya menjadi semakin intens. Pandangan Sarah sempat naik untuk memastikan Armand, tapi ia segera berpaling. Sorot itu menakutkan, mata Armand seakan menggelap.
"Dan di tahun ini, sempatkah kau menerka kita akan berjumpa lagi, Sarah?" lontarnya, lantas berbisik tepat di telinga Sarah, "Kali ini sebagai apa? Jelas bukan lagi suami istri. Orang yang dikurung dengan rantai pantas disebut sebagai apa? Tawanan?" desis lelaki itu, jemari kasarnya mencengkeram pergelangan tangan Sarah dengan kuat.
Sarah mengepal. Sakit. Luka lebamnya terasa kian parah. Sensasi sejuk dari cincin pria itu yang bertemu dengan kulitnya berubah menjadi sepanas api. Seolah sengaja menggoreskan luka baru melalui kubangan lava.
Sarah tidak pernah mengira bahwa cincin pernikahan mereka akan menjelma sebagai belati yang mampu menyakiti.
Sebelah tangan Sarah yang bebas mencoba mengurai genggaman ganas Armand. Namun, begitu ia berusaha untuk melepas jemari demi jemari besar itu, Armand hanya terkekeh rendah. Seperti tengah mengejek Sarah sepenuh jiwa. Lantas, ketika pegangannya nyaris terlepas, Armand selalu memulai dari awal. Ia mencengkeram kembali tangan kecil itu, bahkan kian mengetatkannya.
"Coba. Lepaskan lagi," cemooh Armand.
Sarah menggeleng sendu. "Hentikan, Armand," pintanya.
Wanita itu tak punya pilihan. Kembali ia kerahkan sisa-sisa tenaganya untuk melepas genggaman Armand. Namun, lagi-lagi ketika nyaris berhasil, Armand malah mengulang permainan. Membuat tangan Sarah terasa nyeri berkali-kali.
"Belum berhasil, Sarah. Ulanglah. Mulai kembali sampai tanganmu benar-benar mati rasa," lontar Armand dengan nadanya yang tenang, seolah pria itu tidak merasakan apa pun yang mengganggu emosinya.
Sarah berhenti. Ia kumpulkan secercah nyalinya yang memalukan untuk berani menatap Armand tepat di netra legamnya yang menyerupai gelita malam. Menyelaminya, Sarah nyaris tersesat. Antara takut dan tidak, tapi semua yang ia dapatkan adalah semu. Di tengah banyaknya teka-tika yang dilapisi tirai kelabu, mata itu menghunusnya dengan segudang benci yang nyata.
"Tanganku tidak akan mati rasa, Armand. Aku sadar bagaimana menyakitkannya. Maka lepaskanlah," timpal Sarah, suaranya berani di awal, tapi semakin akhir terdengar gemetar.
Sarah meringis kala penguasaan Armand kian ganas terhadapnya. Wanita itu menatap pilu tangannya yang terasa lebih menyakitkan daripada diikat. Armand memang tak mungkin menghiraukannya. Sebaliknya, pria itu terlihat murka dengan ucapannya.
"Kau ingin kulepaskan?" tanya Armand, nada bicaranya merendah, tapi rahangnya mengetat.
Mata Sarah sudah berkaca-kaca. Ia ketakutan. Bibirnya melengkung ke bawah dengan berat, mati-matian menahan tangis. Lantas dengan ragu bibirnya berucap, "Sakit."
"Baiklah, berikan jaminan," ujar Armand, membuat Sarah kian gundah. "Tapi kau tidak punya apa-apa selain kepala, Sarah. Maka, aku tidak akan meminta banyak kepadamu," lanjut pria itu.
Perlahan, cengkeramannya ia lepaskan dari Sarah. Sarah segera menyembunyikan tangannya di balik punggung, khawatir Armand akan kembali menyakitinya. Namun, pria itu hanya tersenyum miring melihat tingkah Sarah. Ia benar-benar tidak lagi melakukannya.
Armand berjalan mundur menjauhi Sarah yang berada di sudut ruangan. Pria itu membuka pintu baja, dan tindakan tersebut memberikan harapan baik bagi Sarah. Wanita itu pikir, artinya Armand akan segera pergi. Namun, nyatanya begitu Armand berpijak di ambang pintu, ia tidak melanjutkan perjalanannya. Sosok tinggi dan tegap itu hanya diam, menghunus Sarah dengan netra legamnya yang tidak terbaca.
"Ke mari, Sarah," lontarnya begitu tenang, dengan senyum tipis yang menyimpan banyak makna.
Sarah menggeleng kuat. "Tidak mungkin, rantainya akan menarikku."
"Tidak perlu khawatir. Setelah ini kau akan kulepaskan, Sarah. Ke marilah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cursed Love
RomanceSarah ditawan oleh mantan suaminya--Armand. Namun, sosok itu telah berubah. Ia tidak relevan dengan Armand yang dulu Sarah kenal. Kini, pria berperawakan tinggi dan tegap itu menjadi jelmaan iblis yang kejam dan berperilaku tak berperasaan, seperti...