Sepasang bongkahan madu milik Sarah menyorot pada kelamnya pekat rembulan seorang Armand. Mata itu yang selalu mengancamnya untuk mati. Mengisyaratkan benci yang tak mampu Sarah perkirakan bagaimana cara memaknainya. Namun kini, sirna sudah seonggok keji yang menyelami sorot Armand. Hitam pekat itu memudar, dihinggapi sedikit nyawa yang membawa senyum tipis terpatri di wajah rupawan itu.
Riuh di benak Sarah. Semakin gila ketika pria di hadapannya itu mengulurkan tangan kepadanya. Namun, Sarah hanya menatapnya tanpa balasan. Menerka lagi, pikirannya menggali lagi, dan setelah semua perjalanan perang yang ia alami di batinnya, keraguannya tetap merajai.
Semulia apa sosok Armand, sehingga daksanya harus ia pasrahkan pada janji pria itu?
Memori kembali berputar ke belakang, hampir membuat tengkoraknya pecah. Seseorang seperti Armand, yang mencoba berkali-kali untuk menghentikan laju napasnya, sosok yang berusaha keras menginjaknya dalam kepedihan, pantaskah ia menguasai Sarah sepenuhnya?
"Aku tidak akan," ujar wanita itu akhirnya, menikmati gundah yang ia telan sendirian.
Sepasang alis pria itu sempat terangkat, terkesiap. Dengan gerakan patah-patah, ia turunkan uluran tangannya. Hanya sedikit, ya, hanya sedikit dari bilik harga diri pria itu terasa goyah. Namun, belum sampai menimbulkan masalah. Armand masih memiliki energi untuk melayani Sarah yang terlalu banyak bertingkah.
"Kau yakin?" tanya pria itu, lengan kekarnya terlipat di depan dada.
"Aku ... tidak mau," timpal Sarah yang sebisa mungkin memupuk berani, tapi di sisi lain Armand menahan tawa karena sikap sombong wanita itu.
"Suaramu saja gemetar, Sarah," sindir Armand, kepalanya menggeleng kecil.
Sarah meneguk ludahnya mendengar pernyataan itu. Dominasi Armand terhadap dirinya kian membuat Sarah ciut. Semakin pria itu menyudutkannya, maka nyalinya pun kian lenyap.
"Padahal aku sampai mengulurkan tangan demi menyambutmu. Tapi kau tak menerima," ucap pria itu, topeng kecewa ia olah pada pahatan wajahnya.
Detik ketika panorama bulan sabit luntur dari ekspresi Armand, Sarah sadar bahwa fenomena itu adalah palsu. Tidak ada tulus yang nyata. Hanya bayang-bayang yang dihinggapi bumbu dusta. Lebih dari itu, selaput ramah yang terpatri sudah purna ditelan murka. Ketatnya rahang tegas Armand mengindikasikan emosi yang terjalin melalui banyak dendam.
Bertepatan dengan sepasang pantofel Armand yang maju satu langkah, gemerincing kembali terdengar. Dengan lapisan kulit seharga langit miliknya itu, Armand menginjak rantai yang tergeletak di atas ubin. Mengoyak benda itu sampai bisingnya membuat telinga Sarah terasa iritasi.
"Kau tidak menerima janjiku, kau menolak pertolonganku, maka beginilah kau yang gemar membangkang ...," desis Armand, seraya meregangkan rantai dengan menarik ujung sepatunya menjauh.
Sarah was-was mengintai Armand. Pria itu mulai dengan kuasanya yang membuat Sarah tak mampu banyak melawan. Ia gundah setiap kali Armand bermain-main dengan lilitan di kakinya. Walau tidak benar-benar menarik kuat, tapi Sarah yakin bahwa ia hanya membuang-buang waktu. Karena semua tentang Sarah bisa pria itu lakukan atas kehendak dan sesukanya, tanpa izin dan kapan pun.
"Armand, jangan kau--"
"Kenapa jangan?"
Sarah terkesiap dengan balasan itu. 'Kenapa jangan', katanya? Sungguh kalimat yang hanya bisa diucapkan oleh seorang kriminal yang sudah siap dengan alat perangnya.
"Sebenarnya, apa untungnya bagimu?" Sarah berpaling, suaranya mencicit.
Hening. Armand memusatkan atensinya kepada Sarah yang terlihat putus asa. Bahu lebarnya ia sandarkan pada kusen pintu baja, pun dengan kepalanya yang menyimpan suara gaduh. Ia belum mau menjawab, masih menunggu Sarah untuk membalas tatapannya lebih dulu. Maka ketika wajah lusuh tersebut dengan ragu terangkat ke arahnya, dan bongkahan madu yang kemerahan karena lelah itu mengunci tatapannya, Armand lantas mengetatkan kepalan tangannya. Benda itu masih ada padanya. Terasa dingin dan membelit jari manisnya. Tidak mengganjal, karena waktu membuat pria itu terbiasa menggunakannya.
"Bagaimana peranku di benakmu? Apa seperti seorang kriminal?" Suara berat itu memecah senyap yang semula menyekap.
Sarah sempat terkejut dengan tebakan Armand. Tepat sasaran. Sementara pria itu terkekeh sinis melihat Sarah yang kelabakan.
"Kelas kriminal, ya? Lalu di antara banyaknya kekejian yang mereka lakukan, apalagi yang akan kuperbuat padamu? Bagaimana menurutmu, Sarah?" ujar Armand. Wajahnya tetap tenang, napasnya sangat teratur, padahal dalam kerangkengnya, Sarah sudah hampir gila mendengar penuturannya.
"Aku ingin berbuat sesuatu yang menguntungkanku," tandas pria itu, suaranya terdengar tajam dan mengintimidasi.
Ia berlutut. Jemari kokohnya meraih rantai di atas ubin, merasakan material itu membelai kulitnya. Membayangkan bagaimana jika Sarah ia lukai lagi menggunakan benda ini.
Napas Sarah terasa berat ketika Armand menatapnya. Rantai di cengkeramannya menjadi salah satu pemicu ketakutannya. Namun lebih daripada itu, Armand. Pria itu sendiri yang selama ini membayang-bayangi Sarah dan mengalahkan seluruh nyalinya.
Sarah gemetar kala kakinya terasa sedikit tertarik. "Armand, k-kau tidak akan melakukannya," tutur wanita itu, suaranya nyaris disantap habis oleh rasa takut.
"Mau kau memohon di kakiku pun, jika aku ingin--"
Trang!
"Akh!"
Sarah terseret dari sudut ruangan hingga tersungkur mengenaskan tepat di hadapan sepatu pantofelnya. Armand meraih bahu sempit wanita itu dan mengarahkan tubuhnya untuk telentang. Dengan lembut, menyelipkan surai legam Sarah yang menutupi wajah lusuhnya. Sembap, dengan jejak air mata yang entah sejak kapan kembali terukir. Tak ada lagi rona kemerah-merahan yang semu di pipinya, hanya pucat yang menyelimuti cantik itu.
Dengan hati-hati, diraihnya kepala Sarah yang sempat terbentur ubin. Armand memberikan kedua pahanya untuk menjadi bantalan wanita itu. Butir-butir kristal di wajahnya Armand seka dengan jempol. Sebelah ujung bibirnya terangkat puas. "Aku suka tangisanmu, tapi simpanlah dulu. Kau begini belum cukup untuk menguntungkanku, Sarah."
"Geri, masuklah."
Tak lama setelah penuturan itu, Geri dengan setelan jas formalnya melangkah masuk dengan tunduk. Tak menatap Armand, tanpa melihat Sarah. Ia hanya berdiri sigap dan menunggu kalimat sang majikan selanjutnya.
"Anjing kecilku tak suka rantai ini. Isakannya sampai menghantuiku. Lepaskanlah," ujar pria itu, membelai lembut surai Sarah, menyeka rembesan keringat yang muncul dari pelipis wanita itu.
"Baik, Tuan."
Sarah merintih kala Geri melepaskan rantai itu. Tersenggol sedikit saja, rasanya sungguh nyeri. Lantas ketika benar-benar sudah selesai, dan tak ada lagi yang membelit pergelangan kakinya, tapi Sarah belum bisa bernapas lega. Walau begitu, rasa sakit masih merajai.
Sarah menyadari jemari kokoh membelai keningnya. Menyapu guratan-guratan halus yang terlukis di sana. Lembut dan hangat. Lalu ia mengangkat pandangan, dan wajah Armand-lah yang tentu didapatinya. Melihat ekspresi pria itu yang baik-baik saja, bahkan dengan memamerkan senyum tipisnya seolah tidak punya dosa, rasanya Sarah ingin meneriaki pria itu. Namun ... mustahil. Sarah kehilangan kemampuan yang dahulu ia miliki, bahkan untuk sekedar bersuara saja ia diliputi kegundahan.
Serangan pening hinggap di benaknya. Menyerang daksa ringkih itu yang kian lama kerap melemah. Pandangannya mulai memburam. Lambat laun menggelap, tapi sapuan lembut di keningnya menemani Sarah di tengah kelam itu. Sampai dunia yang dilihat Sarah benar-benar mati, tapi rasanya ia diyakinkan.
Percaya paling semu yang pernah Sarah berikan seumur hidupnya. Armand.
"Geri, bersihkan wanita ini."
Geri mengangguk patuh. "Baik, Tuan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Cursed Love
RomanceSarah ditawan oleh mantan suaminya--Armand. Namun, sosok itu telah berubah. Ia tidak relevan dengan Armand yang dulu Sarah kenal. Kini, pria berperawakan tinggi dan tegap itu menjadi jelmaan iblis yang kejam dan berperilaku tak berperasaan, seperti...