Dua puluh menit Sarah bertumpah ruah di dada bidang itu. Menyecar kemeja Armand dengan air mata, lirihan, dan permohonan. Bercak genangan basah dan lengket melimpahi putih bersih itu. Namun, rasanya hanya Sarah-lah satu-satunya manusia bernyawa yang nyata di sana. Sarah merasa bahwa ia sedang berhadapan dengan sosok batu tak berhati.
Sedari awal hingga matanya bengkak sekalipun, tak ada tanggapan apa pun dari Armand. Jangankan melakukan hal-hal yang membuat dirinya sedikit repot, untuk bicara pun Armand tidak sudi. Ia hanya berperangai tak acuh kepada Sarah. Menegaskan bahwa hanya wanita itulah yang kini tengah tenggelam dalam lumpur kesengsaraan. Sementara Armand? Mengapa pula ia harus peduli.
Suara decakan membuat telinga Sarah terasa iritasi. "Kau mengotorinya."
Dari sekian banyak pilihan kalimat yang biasanya orang-orang waras lontarkan setelah melihat pemandangan pilu dengan mata telanjangnya, Armand justru mengabaikan semua itu. Pria itu malah berujar sinis dan menekankan bahwa dirinya merasa keberatan dan terganggu akan tingkah Sarah. Sama sekali tidak ada tanda-tanda yang mampu menunjukkan bahwa Armand menaruh peduli.
Setelah tersentak dengan kalimat tersebut, Sarah lantas menggigit bibirnya kuat. Ia berusaha menahan dobrakan di dadanya yang sebetulnya belum puas dirinya luruhkan dengan kacau. Mendengar penuturan Armand, ia merasa ... remeh sekali. Sarah menyesal sudah runtuh di hadapan seseorang yang ia anggap sebagai ancaman terbesar baginya. Karena mau bagaimanapun Armand bereaksi tentang hal itu, pilihannya adalah tak acuh, atau berperan dalam menggali lukanya kian dalam.
Armand menunduk ketika menyadari tak ada lagi bising tangisan yang nyaris membuat gendang telinganya membengkak. Wanita yang masih bersembunyi di kemejanya itu tampak serius menanggapi ucapannya. Kedua pipi Sarah yang sembap dan merona terlihat mengembung ketika wanita itu berusaha mengendalikan tubuhnya yang tersengguk-sengguk. Armand menangkap bagaimana Sarah menepuk dada sesaknya perlahan dan mengatur napasnya yang menderu. Namun di antara semua itu, gemetarnya tubuh Sarah, peluh yang banjir melewati pelipis dan leher wanita itu adalah bukti yang berbicara paling lantang.
Armand membawa tubuhnya mundur, menghapus ruang sembunyi bagi Sarah. Hal tersebut spontan membuat Sarah kelabakan dan berakhir menunduk dalam. Jika tidak, maka Armand akan menyaksikannya dalam keadaan kacau dan semakin merdeka menginjak-injak Sarah.
Armand membuang napas jengah. "Usahamu sia-sia sekali, Sarah."
Armand meraih dagu Sarah dengan telunjuknya, membawa wajah itu agar terus terang memerangi matanya. Armand tersenyum sinis ketika beberapa butir air mata masih berjatuhan melewati sisa-sisa sungai kecil yang tercetak di pipi itu.
"Tak ada bedanya bisu dan berisik, ketika hidangan utama ini masih tersaji di hadapanku," ujar Armand, suaranya merendah.
Pria itu meraih seuntai sapu tangan berwarna putih tulang dari saku kemejanya. Tangannya melayang di udara, tak terbaca oleh Sarah perlakuan bejat apa yang selanjutkan akan dilancarkan. Akankah ia menamparnya, atau mungkin memukulnya? Namun, Sarah lagi-lagi tertipu. Wanita itu seperti sebuah bongkahan es yang kaku ketika Armand menyeka jejak basah di kedua pipinya.
"Dan sekarang, siapa yang bertanggung jawab atas hal ini, Sarah? Gara-gara kau, sapu tanganku juga ternodai."
Armand terkekeh ketika Sarah tak menanggapi ucapan tajamnya. Namun, kristal yang berjatuhan lebih deras dari pelupuk wanita itu membuat Armand memahami pesan apa yang berusaha Sarah sampaikan tanpa membuat bibirnya bergerak sama sekali. Wanita itu benar-benar mengandalkan tangisannya atas semua hal yang membuat dirinya terluka. Seperti orang bodoh yang tak mampu memikirkan cara lain.
Armand menjauhkan tangannya ketika dirasa Sarah sudah mereda. Pria itu merapikan surai Sarah yang tampak tak karuan. Ia membuka sebelah tangan wanita itu yang mengepal lemah dan meletakkan sebuah sisir di sana. Sisir yang sebelumnya Armand gunakan untuk rambut Sarah.
"Kudengar kau memberontak karena Baron mengganti pakaianmu," ujar Armand, selagi tangannya kembali mengancingkan kemeja Sarah yang nyaris tanggal karena rencana kejinya.
Sarah menatap kosong pada sudut ruangan yang temaram. "Kau jahat."
Armand mendengus geli mendengar penuturan itu. Sarah selalu saja memberikan pernyataan yang sia-sia, ungkapan yang tak akan Armand acuhkan. Ia menjauhkan jemarinya ketika selesai mengancingkan kembali kemeja Sarah. Pria itu lantas melipat kedua tangannya di depan dada, lagi-lagi paras angkuh itu sungguh melekat dengan jiwa Armand.
"Bicaramu tidak valid. Kecuali jika posisimu sejajar denganku," sergah Armand, "Kau kan tawanan. Tawanan yang kupelihara," lanjutnya tajam dan ditutup dengan decihan rendah.
Sarah bungkam. Baru saja, baru saja Sarah mendapatkan tamparan besar yang mencabik-cabik jiwanya hingga merasa tak sudi lagi untuk hidup. Kini, kalimat menjijikan seperti itu yang harus Sarah telan melalui telinganya dan menyayat hatinya tanpa ampun. Apakah Armand belum juga puas atas semua ini? Tidakkah ia merasa muak, sama seperti Sarah yang selalu berharap salah satu di antara mereka untuk segera kalah. Karena dengan begitu, barulah labirin ini memiliki titik akhir.
Sarah bersyukur ketika Armand bangkit dari posisi berlututnya dan membawa tubuhnya untuk berdiri. Wanita itu pikir, pria dengan perawakan kokoh tersebut akan mengulang kejadian yang selama ini selalu dilakukannya. Ia akan pergi setelah puas menghujani Sarah dengan luka dan meninggalkannya sendirian dalam keadaan payah bersimbah peluh dan air mata. Malahan, Sarah berharap bahwa hal itu akan terjadi lagi. Ia membisikkan permohonan itu di dalam batinnya, meminta dengan bahasa yang bisu agar Armand segera hengkang dari jangkauannya.
Biarlah, biarlah nyeri yang Sarah derita di sekujur raga dan jiwanya menjadi urusannya sendiri, menjadi perihal yang akan Sarah telan paksa melalui kerongkongannya yang terus menolak. Namun, itu semua lebih baik daripada terus dihadapkan dengan Armand. Ditinggalkan dalam kubangan gelap tanpa ujung sendirian lebih baik daripada terbang bersama Armand menuju neraka dengan sayap-sayap yang sudah hangus.
Namun, sayangnya kesialan selalu menghinggapi Sarah. Ia merasakan tubuhnya melayang setelah tangan kokoh Armand melingkar di tengkuk dan belakang lututnya. Lantas, pria itu membawa Sarah dalam gendongannya. Perlakuan tersebut membuat pikiran Sarah tak berguna untuk beberapa waktu. Aksi itu membawa seluruh indra Sarah terkunci dalam keadaan mati suri. Sarah membeku, bahkan napasnya tertahan di tengah waktu yang tak pernah menunggunya.
"Kau ingat, Sarah, saat kau sejajar denganku?"
Bisikan tandus yang mengisyaratkan makna tajam itu menusuk gendang telinga Sarah. Membawa wanita itu untuk tenggelam dalam ketakutannya sementara Armand menunduk demi mengunci netra madu milik Sarah. Pria itu samar tersenyum, seraya menghitung setiap napas Sarah yang seketika berembus berat.
"Tidak, Sarah. Kau salah. Hari itu di altar, kau tidak sejajar denganku. Aku meninggikanmu jauh daripada posisiku berpijak. Aku memujamu," ujaran itu dibangun dari komposisi yang manis, tapi gertakan dari rahang tegas Armand membuat Sarah kehilangan nyalinya. Wanita itu tahu, Armand memiliki makna kejam yang berusaha ia sampaikan melalui setiap ungkapannya hanya demi menyengsarakan Sarah dalam-dalam.
Pria itu lantas terkekeh samar, kilatan amarah menyeruak di sela netra legamnya. "Namun, jika aku tahu akan seperti ini akhirnya. Harusnya kita kembali pada malam kita bertemu, dan akan kubungkam kau di bawah sepatuku sebelum aku jatuh memujamu."
Bibir Sarah gemetar ketika kuku-kuku tajam Armand mencengkeram kuat tengkuknya. Namun, Armand tampak puas menyaksikan air wajah Sarah yang ditimpa pias dan ketakutan. Pria itu kecanduan mendengar rintih nyeri Sarah yang merambat ke sudut-sudut ruangan.
"Tapi aku melakukannya walaupun mustahil untuk meraka ulang waktu, Sarah. Dan ini terasa jauh, jauh lebih memuaskan."
Alangkah kejamnya duri itu menerjang hati Sarah yang sudah terkoyak. Sampai untuk menanggapi satu kata saja rasanya mustahil bagi Sarah. Ia hanya menjadi penikmat derita yang disumbangkan dari segala tindakan dan ucapan Armand. Tak terlewat barang sekalipun, semua yang pria itu maksudkan untuknya selalu dibaluti bisa yang mampu membunuhnya kapan saja.
"Baron! Bukakan pintunya."
Selanjutnya, dalam dekapan yang menghanguskan kulit Sarah ini, wanita itu tak tahu akan menjadi apa ia nantinya. Tak terbayang akan dibawa ke mana ia akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cursed Love
RomanceSarah ditawan oleh mantan suaminya--Armand. Namun, sosok itu telah berubah. Ia tidak relevan dengan Armand yang dulu Sarah kenal. Kini, pria berperawakan tinggi dan tegap itu menjadi jelmaan iblis yang kejam dan berperilaku tak berperasaan, seperti...