Sarah memeluk tututnya erat. Bahu sempit itu bersandar tak berdaya pada dinding dingin berselimutkan debu. Sarah merasa sangat keliru. Matanya memberat, padahal ia tengah berada dalam situasi yang berbahaya. Apakah karena di titik ini Sarah berpikir bahwa ia didampingi?
Itu gila. Seharusnya Sarah tidak seperti ini. Kemeja milik Armand, dan wangi khas pria itu bertindak sebagai racun yang menyerang Sarah lewat cara paling bersahabat.
Namun, harus bagaimana lagi Sarah menyiasati labirin ini? Harus seperti apa Sarah lakukan agar dirinya bisa terbebas dari kerangkeng yang menyiksa dan membodohi segenap jiwanya. Sarah ingin menyerah. Harusnya sejak ia dan Armand berpisah, perjumpaannya dengan Armand tidak boleh terjadi.
Namun ketika pintu baja terbuka, dan pekatnya gemuruh langit yang hinggap di bola mata tajam itu menyorot dirinya--Sarah tidak bisa kabur. Bahkan kala langkah lebar sosok berperawakan gagah tersebut menjurus ke arahnya, lalu saat Armand merendahkan tubuhnya hingga percampuran wangi pria itu membelai hidungnya--Sarah tidak sedikit pun berkuasa untuk melawan.
Sarah hanya berusaha membaca bisikan yang Armand sampaikan melalui bisu matanya. Wajah itu tersenyum tenang tepat di hadapannya, tapi Sarah masih tidak mampu menafsirkan bahasa itu. Armand ... terlalu sulit untuk Sarah maknai.
"Aku berkunjung lagi, Sarah. Aku khawatir kaumati saat aku belum puas akan dirimu," ujar suara berat itu, air wajahnya mendingin dalam sekejap.
Jemari Armand membelai lembut rahang Sarah. Menangkup wajah mungil itu yang tampak was-was dalam perjalanan jantungnya yang berpacu cepat. Sarah hanya takut tiba-tiba Armand memukulnya, atau mengikatnya kembali dengan rantai. Karena, sekali lagi Sarah ungkapkan, bahwa Armand adalah teka-teki yang paling sulit Sarah pecahkan.
"Kian ke mari, kau semakin tidak sehat," ucap pria itu, menyadari beberapa luka lebam di wajah Sarah yang padahal adalah ulahnya sendiri.
Armand menyingkap surai legam Sarah ke balik telinganya. Ia membawa wajahnya mendekat pada wanita itu, lalu suara rendahnya membelai indra pendengar Sarah, "Aku berpikir, apa yang bisa membuatmu hidup dan bertahan lebih lama ...?"
Armand membuka paper bag yang dibawanya. Ia mengambil setangkai mawar merah segar yang tampak tengah berada pada usia paling memesona. Pria itu mengamati benda dalam genggamannya, begitu serius menelusuri setiap lekuk mawar itu. Lantas tak terduga, ia menekan jempolnya pada tangkai berduri itu. Menusuknya sampai menimbulkan rembesan darah.
"Armand!" jerit Sarah terkejut, hendak meraih bunga dalam genggaman Armand, tapi ia sudah menghindar lebih cepat.
Armand melepas selembar mahkota bunga dengan pigmen paling pekat dan memiliki rona seperti darahnya. Ia menyeka lukanya dengan lembar itu, sampai seluruh jejak kemerahan yang menyelimuti jempolnya raib tak bersisa.
Armand terkekeh menatap wajah Sarah. Wanita itu menangis tanpa isakan. Sudut matanya terus meneteskan butiran-butiran hujan yang hadir bahkan tanpa berkedip. Wanita itu menatap Armand tak percaya, sorot sendunya diselingi rintihan takut yang Sarah pendam di sudut hatinya.
"Kau cantik sekali di situasi semacam ini, Sarah ...," ungkap Armand dengan nada rendahnya, tangannya bergerak menangkap air mata Sarah menggunakan lembaran mahkota mawar yang sudah ternodai darah miliknya.
Armand membelai bibir ranum Sarah. Matanya mengunci objek itu, menelan skenario yang dirinya ciptakan melalui bayang-bayang jahat di benaknya. Sorot itu melayangkan pesan memuja sarat akan dahaga panjang yang sekian lama Armand harapkan.
Lantas sebelah bibirnya terangkat, dan jemarinya mencengkeram rahang Sarah begitu kuat. "Buka mulutmu."
Sarah membolakan matanya terkejut. Wanita itu menggeleng kuat. Ia berusaha melepaskan tangan Armand, tapi rasanya tenaganya tidak mampu. Pada akhirnya jeritannya mengudara semakin nyaring, diselingi rintih nyeri yang tidak pernah Armand pedulikan.
Sarah merasa mual kala Armand menyimpan kelopak mawar itu di atas lidahnya. Ia berusaha mendorong benda itu ke luar, tapi Armand segera membekap mulut Sarah begitu kuat. Sangat tidak terbantahkan hingga wanita itu hanya mampu menahan rasa anyir darah yang pekat di dinding mulutnya.
"Telan."
Sarah menggeleng. Suaranya teredam telapak tangan Armand yang ikut lembap karena butiran-butiran basah yang mencetak jejak dari pelupuk. Matanya membisikkan permohonan pada pria itu, tapi Armand tak sedikit pun merasa iba.
"Patuhi perintahku, Sarah ...," desis Armand, sorotnya menggelap.
Sarah tetap memaksa. Jemari gemetarnya mencoba menggenggam tangan Armand. Berusaha melepaskan jeratan sosok itu yang membuat Sarah merasa sempit akan napasnya sendiri. Namun, tepisan kasarlah yang diterimanya mentah-mentah--sebagai bentuk penegasan bahwa Sarah tak bisa melawan.
Sepasang gumpalan madu milik Sarah yang kian redup binarnya menyelami iris Armand. Lagi-lagi ia tidak tahu jalan mana yang perlu didengar untuk tahu isi benak Armand. Namun, di antara kelabu yang membingkai penerawangannya, mengapa sepertinya dendam begitu menonjol daripada semuanya?
"Terimalah Sarah, bukankah kau begitu menyukai mawar merah? Tidakkah kau mengharapkannya di setiap malam aku pulang?"
Di tengah kondisinya yang sangat malang itu, leher Sarah ditekan begitu dalam. Membuat wanita itu kian kehilangan daya di tubuhnya. Tak lagi bersuara, tak lagi merintih, bahkan bernapas pun menjadi kian mustahil. Padahal banyak cara untuk membunuh Sarah dengan jalan yang lebih cepat, mengapa Armand begitu bertele-tele perihal ini?
Ketika sudah habis energinya untuk bertahan dan melawan, terpaksa Sarah turuti perintah Armand. Membiarkan benda di mulutnya ditelan melalui kerongkongan. Anyir darah dan air mata tertanam khas di seluruh rongga mulut Sarah. Bayang-bayang rasa yang tak bisa diterima itu membuat perutnya bergejolak tak karuan.
Armand tersenyum puas menyaksikannya. Wajah sembap dengan rona kemerahan yang tercetak jelas sampai ke telinga. Selaput bening menghiasi netra madu Sarah yang membengkak. Juga bibirnya menjelma secantik delima. Belum lagi sorotnya yang menatap Armand nyalang, tapi tangan wanita itu yang gemetar dan berkeringat tak bisa menyangkal.
Armand membelai lembut kelopak mata Sarah. Jemarinya menyamarkan kerutan di dahi wanita itu. "Kau membuatku tersinggung dengan tatapan itu, Sarah," ujarnya, mengusap seluruh wajah Sarah dan membuat wanita itu berpejam untuk beberapa saat.
Sarah menatap Armand tak percaya. Apakah boleh Armand merasa tersinggung atas hal kecil itu? Pantaskah pria tersebut berkata demikian padahal ia, jiwanya, sekaligus sukmanya begitu kecanduan dan tega menyengsarakan Sarah. Tidakkah seharusnya Armand memikirkan sedikit tentang Sarah? Atau jika Sarah terlalu menjijikan untuk hinggap di benak Armand, setidaknya pertimbangkanlah perbuatannya sendiri yang sungguh keji ini.
"Aku ... aku juga terluka atas semua tindakanmu, apa kautahu?" cicit Sarah, ia menunduk dalam di sepanjang kalimatnya.
Armand sempat terkesiap dengan lontaran Sarah, tapi selanjutnya ia terkekeh sinis. "Aku tahu. Kenapa masih bertanya?"
Armand mendekat pada Sarah. Bibirnya menyentuh daun telinga wanita itu, membuat Sarah meremang dan segera bergerak menjauh. Namun sayangnya, ia kalah cepat dengan strategi Armand yang menyeret pinggangnya untuk mendekat. Sarah membeku kala napas hangat menggelitik tengkuknya, lantas sesuatu yang lembut mengulum telinganya.
"Hiduplah lebih lama, Sarah. Karena aku belum puas melukaimu ...."

KAMU SEDANG MEMBACA
Cursed Love
RomanceSarah ditawan oleh mantan suaminya--Armand. Namun, sosok itu telah berubah. Ia tidak relevan dengan Armand yang dulu Sarah kenal. Kini, pria berperawakan tinggi dan tegap itu menjadi jelmaan iblis yang kejam dan berperilaku tak berperasaan, seperti...