4

424 26 0
                                    

Sudah berapa jam sejak terakhir kali pintu itu terbuka?

Dua jam? Tiga jam? Delapan jam? Atau 24 jam?

Sarah tidak tahu. Seluruh indra wanita itu seakan rusak. Ia bahkan sudah tak kenal waktu. Tubuh ringkihnya sedari tadi hanya beringsut menuju sudut ruangan. Sudah lama Sarah mencoba mencari cara untuk membuka penutup botol dengan kedua tangan yang diikat di belakang. Namun, hasilnya nihil. Sampai saat ini, botol kaca berisi air minum yang selama ini Sarah idam-idamkan itu tidak mampu dibuka.

Dengan sisa-sisa tenaga, Sarah berusaha membuka tutup botol itu menggunakan jemari kakinya. Ia menggigit bibir begitu kuat, dahaga yang luar biasa tak tertahankan. Kerongkongannya seperti tercekik. Pening di kepala kian menjadi, seiring dengan tubuhnya yang semakin kering.

Trang!

Botol itu pecah begitu terkena benturan dengan rantai yang melilit kakinya. Sarah mengepalkan tangannya. Marah. Ia sangat marah. Ingin rasanya Sarah memberontak. Namun, di situasi ini keberaniannya pun tak berguna, tak bisa diandalkan. Emosinya mengemis untuk disalurkan, kemarahannya memaksa untuk digelorakan, tapi yang kini Sarah lakukan hanya menangis dalam isak pilunya.

"Airnya tumpah," lirih wanita itu, merenungi kepayahannya.

Sarah beringsut mundur ketika genangan air membelai telapak kakinya. Wanita itu susah payah berusaha menjauhinya. Namun, di ruangan yang minim pencahayaan ini objek-objek akan sulit disadari. Ketika tubuhnya bergeser, sebuah serpihan kaca tak sengaja menggores perut Sarah.

"Akh!" rintih wanita itu, merasakan perutnya seperti ditusuk sesuatu.

Tak lama, anyir darah menusuk hidung Sarah. Ia merasakan baju yang dikenakannya basah di bagian perut, tapi Sarah yakin itu bukan genangan air. Sarah memejamkan matanya erat. Keningnya menimbulkan gelombang samar, menahan rasa nyeri. Wanita itu mau meminta bantuan, tapi semua harapannya dipatahkan oleh situasi. Dalam kondisi ini, memang akan ada seseorang yang berbaik hati membantunya? Sarah tak yakin.

Brak!

Sarah sedikit terkejut kala pintu baja yang sudah sekian lama ditutup itu akhirnya terbuka. Sesosok pria paruh baya yang tampak gagah dalam balutan jas hitam berdiri di balik pintu. Wajahnya terlihat sangar tanpa ekspresi, dengan goresan bekas luka yang membujur melalui matanya.

Sarah menatap was-was pada sosok menyeramkam itu. Pikirannya langsung dipenuhi oleh seribu pertanyaan. Pria itu semakin membuatnya takut seiring langkah kaki panjangnya yang mendekat pada Sarah. Bersamaan dengan itu, Sarah berusaha membawa tubuhnya mundur, menahan rasa sakit yang kian menjadi di perutnya.

Sosok itu menatap Sarah tajam. Ia menyadari bahwa Sarah berusaha menjauhinya. Dirinya tak banyak mengejar, tapi langsung berlutut dan meraih rantai yang tergeletak di atas ubin. Tangannya menggenggam benda itu kuat, tapi pandangannya menusuk pada Sarah.

Sarah menggeleng lemah dengan ancaman itu. "J-jangan ditarik," pinta wanita itu, perasaannya mulai dihantam rasa takut.

"Kenapa tidak boleh, Nona?" timpal sosok itu dengan wajah datarnya.

Sarah menggeleng kala sang pria menarik-narik kecil rantai dalam genggamannya. Sosok itu seakan memperlihatkan bahwa ucapannya tak main-main. Sarah diam menanggapinya. Dia sudah tak bergerak. Wanita itu benar-benar tak akan sanggup jika lagi-lagi pergelangan kakinya akan terluka.

"Armand melakukannya. Rasanya masih sakit," ujar Sarah.

"Saya tidak akan melakukannya, Nona. Hanya Tuan Armand," timpal sosok itu.

"Tapi kau harus memudahkan pekerjaanku. Jangan membuatku sulit. Kaupaham?" ucapnya serius, menatap Sarah dengan mata tajamnya.

Sarah mengangguk. Ia tunduk dengan ancaman itu. Sorot maranya menunjukkan ketakutan, dan Sarah tak pandai bermain peran. Begitu pun saat ini, tubuhnya gemetaran kala si pria berjalan ke arahnya dan berlutut tepat di samping Sarah.

Cursed LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang