Lontaran itu bertindak sebagai jelaga yang disambar lahar panas. Meluluhlantakkan segala indra Sarah sampai nyerinya membuat wanita itu tak sanggup bertahan. Sedetik demi sedetik terbuang--menjelma taburan beling yang menusuk tulang rusuknya tanpa ampun. Atas semua kekacauan yang menimpa jasad dan sukmanya itu, tak ada ruang huni untuk berteduh, tak ada waktu untuk menepi.
"Jadi kau bermaksud membuatku hidup di dunia yang mati?" lirihnya, mengunci pekat dendam yang tenggelam di netra Armand.
"Apakah dunia yang mati sama dengan neraka? Jika iya, maka tentu," timpal Armand, rona ketenangan yang membalut selaput wajahnya membuat Sarah kian tersayat.
Bibir Sarah gemetar. "Jelaskan padaku, bagaimana ... bagaimana semua ini dapat berakhir?"
Armand mendengus geli mendengar tutur itu. "Apa yang berakhir? Neraka itu kekal, Sarah."
Armand terkekeh memandang wajah pias itu. Sebelah telapak tangannya menyelimuti leher Sarah, dan tanpa peringatan menarik leher wanita itu begitu saja. Sarah terbatuk karena sesak yang menenggelamkan paru-parunya. Ia yang tak siap dengan gerakan gesit dan mengejutkan itu merasakan tubuhnya sempat senjang, tapi Sarah segera menyesuaikan keseimbangan diri dan berusaha berdiri dengan kedua kakinya yang kian lemas.
Begitu Armand melepas cengkeraman di leher Sarah, wanita itu meraup napas dengan buas. Jemari lunglai Sarah mengusap kasar permukaan lehernya hingga menimbulkan kemerahan. Napasnya masih terasa berat, dan keterkejutan membuat wanita itu berakhir panik dan gagap.
"Ganti pakaianmu, Sarah."
Armand meraih paper bag yang dibawanya. Ia meraup isi dari benda tersebut dan melemparnya hingga menubruk wajah Sarah. Wanita itu membuang wajahnya ke lantai. Tidak berani menatap Armand.
Namun, benda yang baru saja melayang melewati wajahnya sungguh membuat Sarah kaget. Sebenarnya tidak ada masalah dengan setelan piama wanita berwarna hitam polos. Benar-benar definisi baju tidur secara harfiah. Namun, sesuatu yang lolos dari gumpalan pakaian itu membuat Sarah tak fokus.
Armand membawa ... dalaman? Dan haruskan berwarna merah menyala? Dan sepertinya Sarah kenal sekali dengan ukuran itu.
Sarah merasakan tubuhnya lumpuh ketika Armand membelai lehernya lembut, mengisyaratkan pesan sensual. Lantas pria itu mendekat, sengaja menyapu kulit pucat Sarah dengan deru napasnya yang hangat. Tanpa persetujuannya, jemari keji itu bergerak menanggalkan kancing kemeja teratas. Detik ketika Sarah menyerap kelam yang bercelak melalui iris itu, ia merasa bahwa benaknya berantakan.
Sarah seperti orang bodoh yang kehilangan akalnya secara total. Seluruh sendinya bak dipecahkan kala hidung pria itu menggesek ceruk lehernya. Betisnya mulai gemetar saaat sapuan yang hangat dan lembut mengecupnya rakus.
Sorotnya kosong. Daksanya lebur. Jiwanya pergi. Dan di antara semua itu, Armand merenggut semuanya.
Jangan bawa aku lagi, Armand.
Sarah tidak bisa bicara. Bagaimana caranya ia melawan ketika seluruh raganya membisu?
Bahkan tangan dan kakinya terasa kaku. Di situasi paling genting, ketika seharusnya Sarah bisa melayangkan tamparan sampai rahang pria itu terkoyak, Sarah gagal. Wanita itu tak sanggup. Yang ada ia malah merasa kalah.
Sarah merasa malu dengan irisnya yang gemetar. Sarah merasa malu dengan napasnya yang tertahan. Sarah merasa malu dengan setiap peluh dan air mata yang tak pernah ia minta. Sarah merasa malu atas setiap tindakan yang tak pernah ia harapkan. Namun, Sarah tak bisa melakukan apa pun ketika ia dihadapkan dengan keadaan ini.
Sarah benar-benar punya banyak kesempatan, ia sangat berpotensi dan sangat ingin melawan. Namun, semua kepingan dari tubuhnya tidak mampu.
Bukan tidak ingin. Sarah hanya tidak sanggup.
Bagaimana ini? Apa yang harus Sarah lakukan ketika wajah itu menatap Sarah dengan ekspresi yang begitu mengejek. Bahkan wanita itu tahu bahwa Armand telah usai membuka kancing kedua. Pria itu tampak sangat puas.
Entah apa yang membuatnya begitu bahagia. Sampai dengan tanpa bicara sepatah kata pun, Sarah bisa merasakan euforia yang membuncah dari benak Armand. Gelora yang seakan mengancamnya untuk terjun dari ujung tebing.
Wanita itu kembali merasakan pergerakan di kemejanya. Kini Armand mencoba membuka kancing ketiga. Sarah sudah bilang jika ia ingin melawan kan? Lantas, menerjang perang yang terjadi antara batin dan benaknya, tangan gemetar Sarah mencengkeram jemari Armand.
"A-aku ... tidak mengizinkanmu membukanya," ujar Sarah tanpa menatapnya, suaranya melirih takut.
Armand membiarkan Sarah mencekal tangannya. Ia pun berhenti dari aksinya. Menikmati lebih dulu bagimana telapak tangan yang banjir keringat itu menyalurkan rasa gemetarnya melalui pertautan tersebut.
Armand menunggu barangkali Sarah melanjutkan perlawanannya. Namun, tidak. Wanita itu hanya mencengkeram tangannya dengan kekuatan yang konsisten. Tergolong lemah, tapi memang itu sudah sepenuh tenaganya. Rasanya tidak lebih menyakitkan dari dikompres air panas.
Pria itu berdecak jengah. Ia menepis cekalan Sarah. Namun, belum sempat Armand meraih kancing ketiga, kedua telapak tangan Sarah lebih dulu menangkap jemari Armand yang masih melayang di udara. Tidak membiarkan hal itu terjadi lagi. Dan aksi tersebut sedikit mengagetkan Armand.
Wanita itu mendongak. Saat itu juga Sarah merasakan anak panah menusuk ususnya. Irisnya menatap Armand takut, sebelum ia mulai bertutur dengan suara selaras langkah semut, "Kau tidak boleh membukanya."
"Kau tidak bisa membatasiku, Sarah."
Armand mendorong tubuh Sarah ke sudut ruangan. Sarah yang tidak siap menerima serangan kasar itu ditambah dengan daksanya yang kian lemah, pada akhirnya tersungkur mengenaskan berhadapan dengan dinding usang. Bukan lagi berhadapan, lebih tepatnya ia mendapat benturan di keningnya untuk yang kesekian kali.
Ketika wanita itu mencoba berbalik, Armand lebih dulu menahan punggung sempit Sarah dengan sepatu kulitnya. Sarah memberontak, berusaha untuk kabur. Namun ketika Sarah mencoba membebaskan dirinya, Armand kian kuat menekan kakinya. Ia melakukannya sampai Sarah sadar bahwa perlawanan hanya akan membuatnya semakin sengsara. Pria itu konsisten dengan aksi kejamnya hingga yang bisa Sarah lakukan hanya merintih dan menurut.
Jejak sepatu yang bahkan tak usang oleh debu itu seperti mencetak luka yang membakar punggung Sarah. Memantik bara api dan mengumpulkan gumpalan nanah. Sarah tak pernah menyangka bahwa seseorang yang dahulu ia puja segenap jiwa bisa berlaku sedemikian keji terhadapnya.
Sarah menggigit bibirnya kuat. Paru-parunya seakan menyempit dan napasnya menjadi tak beraturan. Sarah mampu merasakan pantulan bening yang mengambang di masing-masing sudut matanya. Namun, Sarah mencoba bertahan sejauh yang ia bisa. Sarah tak ingin runtuh dalam situasi yang membuat Armand kian puas terhadapnya.
Sarah mematung kala ruas-ruas jemari kokoh Armand mengusap surai legamnya yang sudah lama tak terurus. Wanita itu kian membeku saat merasakan sesuatu yang tak asing menggaruk kulit kelapanya. Benda yang Sarah sadari sebagai sebuah sisir dan bergerak secara konsisten dari akar hingga ujung rambutnya.
Detik ketika Sarah selesai mencerna perlakuan Armand, wanita itu goyah. Ia tak lagi memikirkan strategi awalnya untuk berpegang teguh pada kata benaknya. Sarah tak mampu bertahan lagi. Dorongan dari sudut hatinya mengundang isak tangis yang bahkan tak kuasa Sarah kendalikan.
"Kau sengaja menipuku, Armand?" ujar wanita itu, suaranya gemetar.
Begitu Armand melepaskan kakinya dari punggung Sarah, wanita itu runtuh ke belakang. Namun, tepat sebelum ia menyentuh ubin dingin yang terasa begitu menusuk kulit, Armand meraih daksa itu. Membawa raga tak berdaya tersebut untuk bersandar di dada kokohnya.
Menjadikan tubuh pria itu sebagai benteng sembunyinya, Sarah bertumpah ruah di sana. Ia menenggelamkan wajahnya sampai jeritan yang mengudara dari sela bibirnya hanya menjelma sebagai bising yang teredam. Tak ada satu pun butir air mata yang bermuara di dagunya. Setitik demi setitik yang berjatuhan dari sudut mata Sarah seketika terserap pada kemeja yang pria itu kenakan.
"Armand, betapa aku membencimu. Betapa aku membencimu ...."

KAMU SEDANG MEMBACA
Cursed Love
RomanceSarah ditawan oleh mantan suaminya--Armand. Namun, sosok itu telah berubah. Ia tidak relevan dengan Armand yang dulu Sarah kenal. Kini, pria berperawakan tinggi dan tegap itu menjadi jelmaan iblis yang kejam dan berperilaku tak berperasaan, seperti...