3. Dia Ternyata Anak yang Deep Banget

136 62 14
                                    

Gue yang bosan menatap Tokichi, setiap momen bosan adalah kesempatan untuk penemuan. Tokichi terlihat bugar tanpa kelelahan sama sekali. Badan kecilnya itu anti badai.

"Tok, Tok," gue mencoba memanggilnya, tapi gue tidak mampu menahan tawa saat dia mulai menoleh ke arah gue. Dilain sisi gue merasa terhibur dengan julukannya. Tokichi membalas panggilan gue dengan nada lirihnya. Lu tahu nggak, sih, rasa dari sensasi berhadapan dengan lelaki remaja bersuara mendayu-dayu. Seperti pria setengah wanita, tapi dia masih waras dan masih menyukai selain jenis. Oh, lembayung... batin gue menyitir teringat lembayung senja. Sungguh, gue tak mampu menahan tawa saat melihat kulit gelapnya, tapi dia cukup populer hingga disebut Tokichi. Rasanya dia cocok dengan seribu julukan seperti, sawo matang, lembayung, tulang lunak, atau Tokichi. Hahaha...

"Ar, apa? Kok melamun? Kamu panggil aku, 'kan?"

"Suara lu lirih sekali, sih. Padahal saat bicara sama Pak Bandi tadi berwibawa lo!"

"Apa kamu mau aku juga seperti itu denganmu?''

"Weh...lu kayak telenovela aja. Nggak usah, kek gini aja udah, aneh gue dengernya."

"Ya."

Kami terus berlari dan berlari, Tokichi fokus menghitung putaran kami berdua, sedangkan gue mulai sempoyongan karena terkuras tenaganya. Gue memanggilnya dengan bernada lantang karena takut tidak terdengar akibat tenaga yang mulai habis. Dia menjawab dengan ekspresi datar dan dingin. Gue terkejut melihat perubahannya yang signifikan. "Hah...hah! Bentar, napas gue tersengal-sengal, nih." Gue beralasan setelah tahu ekspresinya. Dia hanya mengangguk. Kami berdua berlari kembali. Badan gue loyo, gue berlari kecil dengan mengibas-ngibaskan kedua tangan gue secara bergantian, sedangkan Tokichi berada di belakang gue sesekali juga mendahului gue. Dia juga berlari kecil agar tidak terlalu menguras banyak tenaga, katanya. Tidak berselang lama, mata gue melihat dia mencuri-curi pandang ke arah gue dengan berkali-kali senyum.

"Kok, lu senyam-senyum mulu. Jadi takut gue sama lu." Sindir gue ke arahnya, dan sepertinya ucapan gue tepat sasaran.

"Apa senyum itu jelek?"

"Bukan jelek tapi seperti orang idiot. Senyum boleh, tapi nggak perlu lebih-lebih. Bisa-bisa lu dikatain aneh. Mana gue lihat lu senyumnya ke arah gue lagi. Geli gue liatnya, Tok."

"Aneh? Sama kamu?"

"Sama semua orang, lah!" gue mulai geregetan ke dia yang kurang peka. Padahal sudah jelas sekali ucapan gue, tapi dia tidak merasa sama sekali. Gue jadi bertanya-tanya kenapa Dita bisa bertemu dengan lelaki seperti ini. Sungguh, jauh dari selera Dita yang gue kenal, meskipun hanya teman sekolah. Gue sangat mengenal dia, dan dia tidak mungkin berteman dengan orang seperti Tokichi. Sedari SD sampai SMP, sudah berapa orang ditolaknya untuk berteman dekat dengan dia, tapi dia tidak mau dan hanya mau berteman sama gue saja. Gue mulai merasakan perubahan Dita saat SMA ini. Apa mungkin masih ada hal yang gue tidak ketahui dari Dita?

"By the way, Tok. Lu kalo bicara sama gue jangan aku kamu dong. Aneh, ih, gue dengernya. Jadi, kayak telenovela."

"Masak...?"

"Iya. Mana suara lu lirih banget dan agak melambai pula. Belajar gih, lu...gue...gitu coba."

"Lu...gue."

"Nah, itu bagus, Tok. Eh, gue mau bicara serius, nih. Jangan tersinggung entar," tunjuk gue ke dia. Tokichi mengangguk. "Tapi lari kita sudah berapa putaran, ya?" tambah gue.

"Tujuh belas putaran."

"Oke, kurang tiga putaran lagi. Mana, nih, lapangan sekolah lebar amat. Kenapa nggak lapangan futsal atau basket aja, sih."

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang