36. Nikah? dan Baca Puisi?

20 7 0
                                    

Beberapa hari berikutnya sekolah damai dan tenang. Tokichi mulai paham bagaimana gue bekerja dan belajar di sekolah. Malam pernikahan gue tiba sesuai waktu yang ditentukan 02 Agustus 2024, gue menikah. Perasaan Mei kemarin, dia baru saja dapatkan sabuk hitamnya tapi? Hem...waktu berlalu cepat sekali, ya, semesta. Gue termenung di ruang keluarga gue, mata ini melihat pernikahan dini yang diam-diam itu, begitu sederhana, dan tanpa dihadiri banyak orang. Gue memakai gaun pemberian dari Om Angga. Gue lihat Tokichi dengan baju jas putih, dengan gaya dewasa. Dia menoleh ke arah gue dengan tatanan rambut, quiff. Penghulu pun telah bersiap di tempatnya.

Sah!

Acara pernikahan gue berlalu begitu saja, gue melihat foto-foto kami tadi, saat ini sudah pukul 23.23 WIB, gue tidak bisa tidur dan masih membelalakan mata di depan layar besi pipih gue sambil tiduran. Gue masih tak percaya jikalau gue telah menikah di usia yang baru saja menginjak 16 tahun. Tadi gue dan Tokichi sepakat buat menjadi teman kelas saja saat di sekolah tanpa mengatakan identitas kita yang sebenarnya. Gue mendengar ketukan pintu kamar gue, ternyata itu Momi.

Di dalam kamar yang tenang dengan wajah yang sudah bersih dari make up, gue duduk di atas kasur gue. Momi gue bertanya, mengapa gue terlihat murung setelah hari bahagia gue.

"Momi, Ari menikah di usia dini."

"Iya, sesuai perjodohan awal."

"Mom, Ari masih nggak mengerti."

"Kamu akan mengerti nanti Nak."

"Apa aku akan seranjang dengan Anggun?"

"Sudah pasti."

Tokichi bermalam di rumah gue pukul 01.00 WIB, dia masuk ke dalam kamar. Dia bilang mau bermalam sampai semester pertama selesai, lalu kita akan melanjutkan di rumah pribadi Tokichi. Dia bilang ingin gue menikmati masa-masa gue bersama keluarga gue sebelum dia membawa gue. Anjir, gue belum genap 17 tahun, gue antara percaya dan tidak, badan ini gemetaran saat seranjang dengan dia. Gue merasa waktu berjalanya cepat sekali padahal gue baru merasa kemarin naik kelasnya. Kami tidur dengan membuat pembatas, gue lihat Tokichi sudah tidur menghindari dari pandangan gue. Gue kira dia akan tidur dengan posisi terlentang atau menghadap gue. Gue yakin, dia juga pasti terpaksa, lalu kenapa dia ingin cepat menikah? Pikir gue,

"Ar, jangan kerja lagi, ya." Pinta dia tiba-tiba saja melihat ke arah gue saat mendengar gue mengambil air minum di meja rias gue.

"Iya..."

"Aku, kamu lagi, yuk. Jangan lu, gue, ya..."

"Ha...oh, iya. Aku, kamu kalo gue inget, ya," tawar gue.

"Iya..." balasan dia mirip dengan balasan gue sebelumnya tapi gue abaikan saja. Seolah seperti serangan balik. Gue dan dia selalu memberikan serangn balik dengan kata-kata. Entah bagaimana bisa gue tiba-tiba menurut begitu saja. Tokichi menyuruh gue fokus pada apa yang menjadi cita-cita gue.

"Lu kenapa menikahi gue, sedangkan lu menyuruh gue sekolah terus.''

"Bukanya enak, Ar?"

"Tapi gue merasa aneh saja."

"Gue serius, apa lu mau kita pacaran tanpa ikatan terus bla-bla-bla, lalu lu, gue tinggalin setelah gue enak sama lu, lu kerja sendiri, lu sekolah mengejar cita-cita lu, belum lu berbagi waktu buat pacar lu juga keluarga. Lu mau jadi orang bodoh seperti itu?"

"Berarti orang-orang di luar sana itu bodoh?"

"Aduh, lu pikirkan sendiri aja tapi yang jelas gue mengikat lu bukan karena paksaan lagi, bukan karena semata-mata perjodohan, bukan juga karena hutang, tapi ini karena ketulusan antara kita yang berjuang selama ini, dan gue nggak mau lu membagi waktu dalam semua hal jika tidak ada hasil."

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang