32. Cerita yang Tidak Gue Tahu

17 10 0
                                    

Tokichi setiap hari berlatih dari siang sehabis sekolah sampai sore. Karena tekadnya, dia sampai melepaskan ekstrakurikuler teater yang telah ditekuninya. Dia bilang jika menikah dengan gue lebih penting daripada adu drama. Saat hari Minggu, dia sempatkan main dengan gue selama seharian, kebetulan gue juga libur kerja. Dia menyempatkan untuk lebih tahu lagi tentang gue, gue pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengenal dia. Dulu, gue pernah salah saat mengenal dia, saat gue kira penilaian gue tentangnya benar, ternyata salah, namun, gue kini akan perbaiki kesalahan gue dalam analisa gue dengan lebih teliti untuk kenal dia lebih dekat. Kami juga belajar bersama tentang arti ketulusan dan kejujuran. Di sekolah Naira and the gang, juga telah masuk dan apesnya, mereka sekelas sama gue. Sesekali gue melirik ke arah Tokichi, ternyata dia bersungguh-sungguh dengan ucapan dia buat berubah. Gue yakin, Naira tak akan berhenti mengejar Tokichi, karena dia mengejar kekayaan dia. Gue paham isi otak wanita muda seperti gue juga tapi, gue berbeda. Itu sebab gue pilih bekerja di usia remaja.

Tiga bulan berlalu, kini tepat jatuh di bulan Mei–2024, total yang ditentukan tepat 6 bulan, setelah berlatih dari tahun sebelumnya. Tubuhnya ikut meninggi karena dia juga nge–gym saat luang. Gue pangling saat melihat dia membuka bajunya meskipun tubuhnya tambah hitam, anggap gue tutup mata dengan hal tersebut. Tokichi sempat bertanya ke gue di rumah, tahun baru kemarin gue kemana? Gue jawab kalau gue rebahan, waktu itu, kan, mental gue di hajar habis-habisan. Gue kehilangan teman gue—dia ternyata si ular, Papi, Momi gue sudah tidak seatap, Tokichi khianati gue, dan masih banyak hal di sekolah yang buat gue sakit. Mana bisa gue merayakan malam tahun baru, yang ada gue nangis sendirian, lalu tidur. Ya, tidur obat terbaik gue untuk charge energi.

"Pokoknya setelah nikah lu harus merawat tubuh gue. Gue hitam gara-gara lu," gerutuan darinya ke gue, mengalihkan pembicaraan seolah dia tidak ingin gue mengingat kembali ke masa itu. Gue harap dia tak kabur dari kesalahannya di kala itu. Lagi-lagi dia bisa membaca ekspresi gue, "iya...gue rawat lu dengan baik," balas gue yang hampir saja meneteskan air mata.

"Tapi gue sudah tinggi, kan, sekarang?"

"Kurang lah. Tinggian juga gue, lu masih setinggi kepala gue. Harus lebih tinggi lagi!" ungkap gue membenarkan seragam karatenya yang akan berlatih dengan gue di rumah.

"Apa gue ikut basket aja, ya?"

"Terus latihan karatenya gimana?"

"Setelah menikah sama lu, otomatis jadwal latihan gue akan menyesuaikan dengan jadwal di sekolah, 'kan?"

"Hem, ya, lalu?"

"Boleh dong gue ikut basket?"

"Iya juga sih...Tapi kulit lu?"

"Kan, ada lu?"

"Astaga!"

"Lu yang harus rawat tubuh gue sampai gue bersih kembali. Nggak mau tahu pokoknya!" Kata Tokichi dengan bersikap manja, baru kali ini gue lihat dia seperti kucing oren kalau lagi ngambek minta whiscash. "Iya," balas gue yang telah selesai perbaikan baju dan ikat sabuk hitam miliknya.

Gue berpikir kembali, bagaimana cara memutihkan tubuh yang menghitam? Namun, gue harus fokus berlatih dengan dia. Sehingga gue abaikan pikiran gue, atau, gue memilih suntik putih buat dia saja sampai menyamai vampire. Gue melihat dia yang kini telah berhadapan dengan gue sejauh 7 langkah. Matanya yang sipit menatap gue, "hahahaha," gue tak bisa menahan tawa melihat dia yang seperti anak-anak dan gue umak-nya dia.

Gue tetap bekerja paruh waktu meskipun telah penjurusan. Tokichi membantu gue belajar, dan bukan lagi Anton. Dunia berbalik ke arah gue dalam sekejap mata. Ini dia hasil perjuangan gue selama ini yang gue harap. Tak sia-sia begitu saja. Seringkali berpikir apakah ini, gue benar di dunia yang Tuhan kasih ke gue dalam jangka panjang? Atau setelah pelangi akan ada badai lagi. Kenapa ada badai lalu pelangi, lalu badai lagi, lalu pelangi lagi. Gue tidak suka lingkaran seperti ini.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang