23. Di Balik Persahabatan Gue

30 18 4
                                    



Gue tidak mau buka mulut sama
sekali dengan bertahan di posisi yang sama.

Ini benar-benar drama, sih! Habis ini gue harus dapat penghargaan. Udah susah payah nggak dapet, fix, kacau!

Gue yang melihat kejadian ini masih di rekam, mencoba untuk tidak menjelaskan semuanya. Gue tidak mau Tokichi malu karena gue sebagai tunangan yang memiliki banyak hutang. Lebih tepatnya hutang terima kasih kepada Om Angga, hihihi. Dalam keadaan kek gini gue masih harus menahan tawa semampu gue. Gila aja, gue yang apa adanya dari dulu disuruh begini, fix, sih, gue cocok ikut ekskul teater.

Kelebihan orang pendiam mampu menahan sakit sendirian meskipun di keramaian, itu gue, dan selalu berkorban, itu gue. Gue bukan wanita penakut yang tidak bisa hidup tanpa teman, sebaliknya gue bisa sendiri setelah kehilangan.

"Wah...nggak bisa jawab, nih, yuhuu!" sorak-sorai dari teman-teman wanita Naira di sana.

"Anggun, apa lu lebih suka wanita-wanita berisik seperti mereka," sindir gue pedas bermaksud menyampaikan derajat Tokichi yang mengatakan dirinya dari keluarga terpandang. Gue ingin tahu jawaban dia.

"Daripada munafik seperti lu." ketusnya.

"Gue menahan diri, diam bukan munak."

"Makanya jangan diam, ngomong!" dia membentak gue berbarengan dengan gemuruh langit malam. Gue menatap langit, rembulan malam tak muncul begitu pula dengan bintang-bintang. Gue sempat berpikir, apa, iya, semesta ikut bermain drama di panggung malam ini dengan gue, kok, pas sekali momenya.

Tiba-tiba saja hujan turun. Semua orang berteduh, tapi saat gue dan Mas Galih akan meneduh mereka menghalangi. Mas Galih memberanikan diri buat mendekati gue karena ponsel mereka basah, sehingga berhenti merekam.

"Lu nggak diterima di sini." tunjuk Siska ke gue di dalam bangunan megah berwarna kuning gading itu. Dia berdiri tepat di teras yang luas sedangkan gue masih di outdoor, menginjak paving halaman rumah Tokichi.

"Teman-teman bukanya kita sekelas?" bujuk gue. Gue harap mereka bisa memilih gue dan melepaskan Naira, karena gue dapat memprediksi apa yang akan dilakukan Om dan Tante setelah ini ke mereka yang turut andil mencerca gue malam ini.

"Tapi kita nggak suka cewek munafik seperti lu." Gue mengabaikan cacian itu dan menunjuk Bagas si wakil ketua kelas. "Bagas...bagaimana dengan lu?"

"Gue, gue. Gue nggak bisa tanpa teman sebanyak ini."

"Oh, sekarang gue tahu, jika kelompok besar, maka akan dipandang dan diikuti. Namun jika sendiri maka akan dikucilkan, gitu? Lu, lu, lu, semua selama ini dekat ke gue sesungguhnya cuma ingin menyerang gue, kan, di waktu yang tepat. Kalian pikir gue bodoh! Sepertinya setelah malam ini kita akan buktikan siapa si bodoh itu! Lalu, Tokichi, di sini ada gue yang sendiri dan Naira dengan pendukung sebanyak itu. Lu mau yang mana. Berikan gue kepastian, dan pastikan pilihan lu tepat jika tidak mau menyesal!"

"Ari...gue-"

"Gas, sini makan kue." Panggil si ketua kelas, kami semua menoleh karena di saat suasana buruk dan sengit ada saja kelakuan ketua kelas kita yang memang sedari tadi dengan Raka sedang makan-makan. Bagas tidak mengabaikan panggilan Khoiril, so, gue memaafkan Bagas karena dia memilih tidak pilih diantara gue atau kelompok Naira.

"Ar," panggil Tokichi, gue kembali melihat Tokichi. "Asal lu tau Ar, Dita bilang kalo selama ini dia suka sama Kak Sandi, itulah sebabnya dia minta foto bertiga. Tapi Dita sakit hati karena Kak Sandi di rumah sakit itu demi lu dan bukan dia."

"Gak mungkin!" bantah gue, karena hal itu tak sesuai dengan kenyataan.

"Kalo lu nggak percaya biar gue screenshot percakapan grup kami yang nggak ada lu, sebagai bukti gue kirim sekarang, dan lu bisa baca nanti." Tokichi melakukannya sekarang juga, gue nggak bisa buka hp karena hujan dan nggak berteduh.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang