Gue mandi kemudian membuka laptop untuk melihat sosial media. Gue melihat forum sekolah murid dan guru tentang berita hari ini. Dari kelas X sampai dengan kelas XII heboh dengan apa yang terjadi di X5 karena ulah gue kemarin. Gue mengunci diri, gue pantengin semua komentar-komentar dari kakak kelas termasuk Kak Sandi.
"Hahahahaha!" gue tertawa lepas melihat dukungan dan juga cercaan mereka. Sebagian ada yang mendukung gue tapi ada juga yang mencerca gue. Sedangkan para guru menutupi dan membatasi berita itu agar tidak tersebar luas sampai keluar sekolah kita. Tapi gue merasa lega, setidaknya gue bisa meluruskan berita burung itu. Gue bisa mengembalikan nama baik gue, bukan karena merebut pacar orang atau berita tentang gue yang menggunakan kesempatan menjadi tunangan Tokichi untuk membalas dendam sama mereka. Gue juga bilang tentang hasil pertunangan itu adalah perjodohan, gue tidak mengatakan yang sebenarnya guna menutup aib keluarga gue. Gue tahu, Tuhan menjaga aib keluarga gue jadi, gue juga harus menjaganya.
Pukul 01.00 WIB, gue turun ke dapur karena lapar. Niatnya mau makan mie instan. Gue lihat, Tokichi tidur di sofa ruang album foto yang berdekatan dengan dapur gue. Sepertinya dia tidak membuka hp dan melihat informasi yang gue lihat baru saja. Ruangan itu hanya disekat dengan pembatas kayu jati. Gue lanjut saja masak mie instan, keluarga gue sudah tidur semua, gue tak habis pikir bahwa cowok itu akan sekekeh itu buat nemui gue setelah semua yang dia lakuin ke gue. Gue mulai merebus mie gue, perlahan gue mendengar suara mendesis memanggil nama gue
"Ar..." gue semakin jelas mendengarnya. Naluri gue—menghindar—gue menoleh. Itu Tokichi sepertinya tubuh gue akan dipeluk dari belakang saat masak mie instan. Gue bisa tahu hanya dengan suara dari Tokichi yang lirih dan serak. Matanya masih terpejam, gue mampu menghindarinya. "Lu mau main drama kek di sinetron, huh!" seru gue ke dia. Dia masih terpejam dengan kondisi berjalan di tempat seperti zombie.
"Curr..." gue menghidupkan keran dan mencipratkan airnya ke wajah Tokichi. Tapi dia memang kebo, tidak bangun juga, padahal jelas-jelas dia sedang tidur sambil berjalan, itu bahaya. Gue yang tersadar jika dia ngelindur bukankah dia tidak bisa menyebut nama gue? Apa iya, gue hadir dalam mimpinya? Mimpi apa dia tentang gue sampai mau peluk gue segala.
"Tuk!" gue timpuk kepala dia sama centong yang gue buat mengaduk mie instan. Centong itu masih hangat karena habis gue gunakan. Posisi dia berdiri tanpa bergerak seperti patung anak sekolah di depan gerbang sekolah gue, bedanya dia merem kalau patungnya melek. Gue matikan kompor gue, dan gue pukul terus menerus dia memakai centong. "Melek nggak lu, melek nggak lu!"
"Ar, Ar, udah... gue buka mata, nih," Tokich membuka matanya juga pada akhirnya. Dia ketahuan sama gue karena berbohong. Dia gagal mau mengambil kesempatan dalam kesempitan, memang mesum. Untung gue bisa melindungi diri.
"Gue juga mau lu masakin."
"Jangan coba-coba sentuh gue!"
"Tapi, kan, sudah pelukan?" dia mengelak dengan memainkan kedua telunjuknya.
"Lu kira itu, imut? Kayak bocah, lu!"
"Ar, gue mau mie."
"Masak sendiri!"
Tokichi masak mie goreng instan sendiri. Gue menunggunya hingga matang. Di meja makan kita duduk makan bersama berhadapan. Gue tak tahu harus berbuat apa, gue terdiam menikmati makanan gue. "Mie goreng enak, ya?" katanya, gue diam. "Em, mau gue buatin susu?" tambahnya, gue tetap diam. "Ar, foto kecil lu gendut, ya?" gue masih diam.
"Ar."
"Gue bukan istri lu, jangan coba-coba menjelaskan apapun!" bentak gue, gue sengaja meninggalkan piring kotor di atas meja dan berlalu pergi.
Keesokan harinya gue berkemas untuk berangkat sekolah, gue lihat piring kotor gue sudah di cuci, mungkin itu Momi. Gue bertanya ke Momi katanya Tokichi yang mencucinya, gue tidak merespon. Momi gue menegur gue yang bolos kemarin, gue diam. Gue mencari Gendis yang ternyata sudah berada di dalam mobil keluarga Tokichi, gue tetap diam, menatap kosong. Gue mengeluarkan motor gue.
"Ayo berangkat bareng, Ar," bujuk Tokichi ke gue, gue tidak merespon. Momi gue membujuk gue, gue pun mau. Gue tidak mau berdebat. Hari masih pagi.
Di dalam mobil gue bertanya lirih ke Tokichi agar tidak terdengar oleh Gendis. "Kenapa bukan sama Naira saja."
"Kan, lu yang ada disini."
"Oh."
Gue benar-benar berangkat sekolah bersama dia lagi, dan dia lagi-lagi melemparkan senyuman ke arah gue seperti yang dulu. Dia berusaha mendekat pada Gendis hingga adik gue abai ke gue. Gendis masih kecil dan dia sangat polos, gue sungguh tak mau membawa dia di tengah hubungan rumit ini. Ikatan kami jelas, tapi hubunganya tak jelas. Tokichi pun tidak menjelaskan apapun ke gue. Gendis telah sampai di gedung sekolahnya, gue yang berada dalam mobil tiba-tiba saja overthinking tentang Papi dan Momi gue. Meskipun memiliki hutang tapi reputasi mereka tetap baik-baik saja dan Papi gue tetap bekerja menjadi jaksa agung.
Kenapa, sih, setiap berada di dekatnya gue overthinking? Gue melirik ke arahnya yang menatap jendela mobil. Gue kemudian melirik ke bawah dan melihat helm retro hitam milik gue yang sengaja gue bawa.
"Ar, kita sudah sampai."
"Iya."
Gue turun dari sisi kiri dan Tokichi turun dari sisi kanan. "Ar, lu ngapain!" seru Tokichi yang terkejut.
"Diem lu!" seru gue ketus.
"Tapi lu ngapain pakai helm?"
"Minggir."
Tokichi berjalan dengan gue yang memakai helm. Gue malu jika harus berangkat bersama dia setelah keributan besar. Bodohnya gue, kenapa gue tadi mau-maunya masuk ke mobilnya.
"Siapa? Siapa mereka, eh," suara bising anak-anak lain yang melihat kita. Tokichi menggunakan maskernya seperti awal bertemu dengan gue di kelas X5.
"Lu ngapain, sih!" sinis gue.
"Gue ngikutin lu."
"Lol!"
"Lu!" tolak dia.
"Lu!" ketus gue
"Lu, Ar!"
"Tokichi! Isotop!" seru kami berdua bersamaan dan saling tunjuk.
"O... lu mulai berani, ya, manggil gue isotop."
"Lu juga selalu manggil gue Tokichi!"
"Memang nama itu yang diperkenalkan ke gue saat pertama kali kita bertemu."
"Tapi, kan, lu sudah tau nama gue."
"Kok, lu ngotot, sih!" gue nggak mau kalah, apalagi mengalah.
"Lu, duluan!"
"Lu, lah!" tolak gue.
"Lu!"
"Lu."
"Anggun!" Seru seseorang dari arah belakang, kami pun menoleh dan ternyata itu Naira. Gue memilih kabur berlari menjauh dari mereka.
"AR!" gue mendengar teriakan Tokichi, tapi gue tidak menghiraukan dia. Setelah gue masuk kelas, gue tidak tahu lagi apa yang terjadi pada mereka.
Hari ini gue duduk lagi tanpa Dita. Rasanya sepi, padahal teman gue banyak tapi gue hanya mau Dita dan tidak mau yang lain. Jam pelajaran berlalu begitu saja, setelah kekacauan kemarin tidak ada anak-anak dari kelas X5 yang menyebarkan berita buruk tentang gue apalagi sampai seperti saat di ruang teater. Pakai alasan gara-gara buku tulis fisika pula, gaya mereka terlalu klasik. Padahal dibelakang menyebarkan berita yang tidak sesuai dengan kenyataan. Setelah kejadian itu mungkin Tokichi menjadi tahu segalanya terkait Naira and the gang yang memandang rendah gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
END|| Tori Romance || •Djaduk✔️
RomanceEvent Novel Kala Cinta Bersemi Oleh : Penerbitan Dicetakin Tema : Pernikahan Dini Nama Pena : Djaduk Penghargaan: Finalis/juara 5 •••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• ☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️ ••••••••••••••••••••...