10. Kencan Pertama Gue

83 42 3
                                    

Tokichi tetap baik ke gue selama awal semester ini. Naira dan Tokichi tidak dekat lagi, tapi hati gue masih ada yang mengganjal. Apa iya, Naira melepaskan Tokichi begitu saja? Hati seorang wanita itu tidak pernah salah menebak, ya, meskipun gue wanita yang seperti ini, sih, gue sadar diri. Tapi, gue yakin ada yang mereka berdua sembunyikan, karena menurut gue terlalu mudah bagi hubungan lama tiba-tiba lepas hanya karena Om Angga-pemilik yayasan sekolah gue. Gue yakin urusannya tidak sesederhana itu. Tapi disini gue, lah, tunangan sahnya dan bukan Naira. Kiranya gue memikirkan mereka, apakah gue merasa terancam atau hanya keegoisan gue semata yang seolah ingin memiliki Tokichi seutuhnya. Padahal gue masih sebiji jagung tapi pemikiran gue sudah di paksa dewasa. Gue tidak pernah sama sekali memikirkan hal-hal rumit, apalagi runyam di sekitar gue selama hidup gue. Baru kali ini saja, saat gue mengenal dunia perjodohan. Gue sebelumnya tidak pernah berpacaran apalagi berciuman, takut gue. Lagian bagaimana bisa, sih, orang hidup bukan suami istri mau-maunya berciuman dan di pamerkan pula. Gue, sih, ogah! Urat malu gue masih ada.

Saat malam Minggu, Tokichi mengajak kencan gue di bioskop kesayangan anda. Gue pun mengiyakan ajakannya. Kita memilih film thriller yang menurut gue cukup memicu emosional gue. Gue melihat Tokichi, tangannya perlahan mendekat ke arah gue, mata gue nggak buta, dan gue benar melihatnya. Gue yang memakai celana jeans itu segera menyingkirkan paha gue, tanganya tetap berusaha meraih dan mencari-cari. Mata gue semakin terbelalak melihat hal itu. Karena Tokichi berada di sisi kanan gue jadi, kaki kanan gue lipat ke sisi atas kaki kiri gue. Tangannya tetap berusaha meraih sesuatu. Gue yakin saat itu juga kalau Tokichi berusaha melakukan kesempatan dalam kesempitan ke gue. Dia pasti berusaha meraih paha kanan gue dan mau sentuh-sentuh gue, pikir gue. Gue terus melotot menatap tangannya sambil mengunyah berondong jagung pedas manis di sisi kiri gue yang sengaja gue jauhkan dari jangkauan Tokichi.

"Ar...." panggilan darinya dengan suara lirih. Gue tiba-tiba merinding disko.

"L-lu, lu-lu mau apa!" gue yang awalnya melihat tangan, sekarang menengok ke arahnya. Mata kecilnya terbuka lebar, ya, meskipun tetap kecil. Mau dia membelalakkan matanya, mata itu akan tetap kecil tidak bisa dipaksa untuk bulat besar.

"Popcorn, Ar..." timpal Tokichi yang memanyunkan bibir kecilnya.

"Astaga popcorn, ternyata?"

"Emangnya apa, Ar? Gue juga mau popcorn. Tadi mau beli dua katanya nggak boleh takut nggak abis?!"

"Hehe... Oh iya, ini popcorn. Hehe.." gue malu sejadi-jadinya dan cengengesan di depan si lembayung sawo matang ini. Bagaimana jika Tokichi tahu isi pikiran gue yang liar.

Setelah selesai menonton kita bermain bombom car sampai lupa waktu. Gue minta es krim padanya setelah selesai bermain. Gue seharian penuh ini melihatnya tertawa lepas, apalagi saat gue menceritakan isi pikiran gue saat di bioskop tadi. Dia semakin tertawa lepas dengan kekonyolan gue. Sosoknya berubah menjadi lelaki usia 20-an bukan lagi anak remaja. Dia sangat mengayomi, gue tiba-tiba merasa kalau daya pikatnya memang ampuh bahkan sampai bisa buat gue luluh. Apakah ini sosok calon pemimpin gue nanti?

"Ar."

"Hem," jawab gue sok cuek padahal nggak mampu.

"Gue bilang ke Om, dan Tante kalo mau bawa lu dari malam sampai ketemu Minggu pagi besok."

"Wah...gila lu, Tok. Kok bisa lu pamit begitu," kritik gue padahal senangnya minta ampun.

"Biar aja. Mereka juga setuju, kok."

Gue membisu. Sungguhkah, Ibu, Bapak gue...eh bukan, Papi dan Momi gue yang izinkan? Padahal kemarin seperti peduli dengan mental gue. Nah, lo! Sekarang, kok? Tapi, asik juga, sih...kira-kira habis ini gue mau main apa lagi, ya, atau jangan-jangan gue mau diajak kencan ke dermaga. Wah...pasti indah banget. Mengharap sekali, sih, gue. Gue bersukacita, namun tersadar saat sopirnya berdeham. Gue kembali fokus menikmati pemandangan kota di malam hari.

Ternyata malam itu dia mengajak bermain paralayang di Puncak-Bogor. Di jalan gue sampai ketiduran, tapi anehnya Tokichi tidak mengantuk sama sekali dalam mobil. By the way, Tokichi bukan yang menyetir mobil tapi ada seorang sopir pegawai di keluarganya yang mengantar kami, karena usia Tokichi yang masih dini tidak diperbolehkan mengendarai mobil. Sopir itu yang antar jemput sekolah Tokichi termasuk gue kemarin.

Gue dan Tokichi menikmati momentum tersebut dengan pengawasan penuh. Kita berdua remaja yang sadar diri dengan posisi masing-masing layaknya seorang pelajar. Liburan pun kita masih sesuai dengan norma-norma. Diharapkan agar tidak kebablasan saat bermain, karena di zaman ini banyak sekali yang kebablasan di usia muda. Kencan versi kami adalah seperti ini dengan restu orang tua satu sama lain.

"Ini kencan pertama gue sepanjang gue hidup." Tokichi hanya membalas dengan tersenyum. "Oh, iya...kita tidur di mana?"

"Hotel."

"Dua kamar, 'kan?"

"Satu."

"Oh, dua bed?"

"Hihihi...gue pikir lu bakal mikir kalo gue pesen satu bed. Padahal gue sudah nungguin ekspresi lu kalo terkejut."

"Wah, mulai nakal, ya, lu..." candaan gue ke dia dengan senyum tipis-tipis. Tokichi lagi-lagi senyam-senyum di hadapan gue, tapi perlahan gue mulai menerima itu semua. Gue kira dia orang yang aneh tapi kalau sudah dekat ternyata orangnya asik dan nyambung. Pantas saja Naira nyaman ke dia. Gue melihat, dia melirik ke arah gue dengan senyumnya lagi. Manis banget!

Omong-omong badanya mulai agak berisi berbeda dari sebelumnya. Kali ini gue juga membalas dengan senyuman terbaik gue yang paling manis.

"Hahahahah..." tawanya ke gue saat gue balas dengan senyuman. Gue tersipu malu dan bergegas menuju mobil untuk pergi ke hotel. Gue di sambut oleh sopirnya, dan di belakang gue sudah ada Tokichi. Kita masuk mobil dan gue memakai sabuk pengaman gue.

"Fix, kita akan sampai di rumah nggak mungkin pagi, nih," gerutuan gue.

"Terus kenapa? Yang penting, kan, lu sama gue," balas Tokichi. Gue melihat sopirnya melihat kami berdua dari rearview mirror (spion dalam). By the way, gue dan Tokichi duduk di belakang dan sopirnya sendiri di depan. Wajar jika dia melihat kita dari sana, mungkin untuk memastikan apakah kita melakukan hal senonoh atau tidak sebagai pasangan muda-mudi.

"Hem, ya, juga." Gue tersenyum ke arah sopirnya. Beliau sudah Bapak-Bapak, umurnya sekitar 50-an tahun. Rambutnya cepak dan ikal, badanya berisi, memiliki kumis seperti ayah Tokichi. Tapi umur mereka berbeda. Sepertinya sopir ini adalah, sopir pribadinya Tokichi seperti yang pernah dia sampaikan ke gue saat makan bakso depan sekolah. Jadi, gara-gara sopir ini gue harus bonceng Tokichi pakai motor.

Sesampainya di hotel Puncak gue mandi, lalu merebahkan punggung gue di kasur dan menyegerakan tidur. Gue melihat Tokichi yang akan mandi dan gue tidak memperdulikan itu, lalu gue tidur pulas.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang